Berkutat pada Jabatan Kades, Revisi UU Desa Kontraproduktif dengan Demokrasi

Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dinilai sarat kepentingan politik dan rentan dipolitisasi menjelang Pemilihan Umum 2024. Terlebih jumlah desa saat ini yang mencapai lebih dari 83.800 desa cukup menjanjikan, baik bagi politisi daerah maupun nasional.

Tuntutan perpanjangan masa jabatan kades sebelumnya mengemuka ketika kepala desa berunjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta, pertengahan Januari 2023 lalu. Mereka menilai jangka waktu 6 tahun terlampau singkat untuk membenahi desa. Terlebih masa kepemimpinan itu kerap diwarnai friksi pasca pemilihan kades.

Permintaan tersebut kemudian disambut baik sejumlah politisi, dan diterima dengan tangan terbuka oleh Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, Abdul Halim Iskandar. Meski begitu, menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman, revisi Undang-Undang Desa seharusnya tidak berpusat pada perpanjangan masa jabatan kades, melainkan pembenahan tata kelola pembangunan desa. Mulai dari perencanaan, penganggaran, sampai implementasi pembangunan. Apabila tidak, ia khawatir revisi UU Desa menjadi kontraproduktif dengan demokrasi desa. 

 


 

Bagaimana Anda melihat dorongan untuk merevisi UU Desa?

Pertama, ini kan wacananya muncul dari tahun kemarin. Disuarakan oleh Asosiasi Kepala Desa dan Perangkat Desa. Dari kacamata kami, banyak kepentingan yang bisa bermain dalam wacana ini. Secara momentum, revisi UU Desa dilihat belum ada yang krusial. Sebab, momentum ini bisa dimanfaatkan oleh kepentingan politik manapun, dan berdampak negatif dengan substansi-substansi yang akan direvisi. Jadi, kalau ini mau direvisi tunggu 2-3 tahun lagi setelah kita sudah kembali ke masa normal. Artinya setelah Pilkada dan Pilpres tahun depan.

Mengapa revisi UU Desa ini justru ingin dipercepat prosesnya di tahun politik?

Jumlah desa yang 70 ribuan, tentu suatu kekuatan politik yang luar biasa. Ini bisa dimanfaatkan oleh para politisi. Baik itu di level kabupaten, provinsi, sampai nasional. Ini yang akhirnya menjadi perhatian kami. Kalau revisi tahun ini, maka rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Jika sudah ada kepentingan politik, maka itu bisa dilakukan secepat mungkin. Nah ini yang sedang dilakukan dalam revisi UU Desa.

Perpanjangan masa jabatan kades disinyalir dari Jateng dan Jatim yang merupakan basis PDIP dan PKB. Belakangan, ada kades di daerah ini juga mendeklarasikan dukungan terbuka terhadap pencapresan Ganjar Pranowo. Bukankah ini bentuk transaksional?

Ini dilihat sebagai modal politik yang dihimpun dari kepala desa, beserta perangkat desa yang bisa dimanfaatkan dan dikapitalisasi untuk kepentingan politik tertentu. Jadi, sangat transaksional sekali. Dengan tuntutan kepala desa yang ingin menaikkan masa jabatannya, berarti kan dalam kepentingan politiknya mereka bisa memanfaatkan kepala-kepala desa ini untuk menggolkan kepentingan partai politik tertentu.

Memang boleh kades beserta perangkat desa ikut-ikutan politik praktis?

Sebenarnya jika dia masih menjabat kades seharusnya tidak partisan dengan parpol, karena itu bisa berdampak pada kualitas pelayanan publik.

Apakah akan menimbulkan iklim politik yang tidak sehat?

Kami lebih melihat dari sisi kualitas tata kelola kebijakannya. Jangan sampai karena tahun politik dan dorongan golongan tertentu, malah mengabaikan substansi kebijakannya. Karena UU Desa ini adalah UU yang luar biasa. Di mana ia menempatkan seluruh elemen dalam desa sebagai subjek pembangunan. Jadi jangan sampai proses pembahasan revisi mengaburkan soal posisi desa dalam pembangunan itu, baik di level desa maupun pembangunan nasional. Jadi dengan adanya revisi UU, ini bisa mengaburkan roh yang ada dalam UU desa itu.

Apa benar seperti yang diklaim bahwa permasalahan desa bisa selesai dengan memperpanjang masa jabatan?

Kita sebenarnya melihat dalam 4 pilar proses tata kelola; lingkungan, sosial, ekonomi, tata kelola, dan itu kan bisa dilihat dalam Indeks Desa Membangun (IDM) yang dikeluarkan oleh Kemendes setiap tahunnya. Dari ini semua, yang paling menentukan ialah tata kelola, karena berbicara soal perencanaan, kualitas penganggaran, kualitas pelayanan kebijakan. Itu yang menentukan, bukan masa jabatan. Masa jabatan tidak memiliki faktor determinan dalam tata kelola desa yang baik. Jadi, dengan adanya pembahasan revisi penambahan periode jabatan ini adalah ini adalah wacana yang mengada-ngada dan dimanfaatkan oleh kepentingan politik saja.

Bagaimana situasi tata kelola desa hari ini dan apa yang semestinya dievaluasi?

Pertama, kita berangkat dalam konteks banyaknya kepala desa yang terlibat kasus korupsi, berarti kan ada yang salah dalam seluruh proses perencanaan. Jika dilihat dalam kacamata good governance; partisipatif, akuntabel, dan transparan. Jadi yang harus diperhatikan dalam revisi UU Desa sekarang adalah; apakah peraturan turunannya itu menjamin prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.

Kemudian, jika kita lihat dalam struktur dan kelembagaan desa, ada satu dimensi lain yang mesti kita tonjolkan, yaitu Badan Permusyawaratan Desa (BPD). BPD semestinya jadi penyeimbang, serta mengawasi kepala desa. Tapi pada praktiknya, BPD ini sehari-hari malah menjadi “bawahan” dari kepala desa. Ini karena dalam proses pemilihan BPD, peran kepala desa besar. Ini yang kita harapkan dibereskan dalam proses revisi. Dan kita lihat, bahkan masa periode jabatan bukan menjadi faktor utama yang menentukan kualitas tata kelola itu.

Berarti sebetulnya sudah cukup 6 tahun kades menjabat?

Sudah. Jikalau kepala desa itu memiliki indikator kerja yang memuaskan, dan masyarakat desa percaya dengan kinerjanya, dia kan bisa dipercaya kembali untuk memimpin desa selama 6 tahun ke depan, bahkan bisa menjabat hingga 18 tahun.

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.