Beban Berlapis Pemilih Marjinal

Pemilu di tengah pandemi Covid-19 mengancam hak suara kelompok rentan. Penyelenggara pemilu mesti menyiapkan regulasi khusus guna melindungi hak pilih mereka.

 

Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA), Ariani Soekanwo mengkhawatirkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak Desember 2020. Menurutnya, penggunaan sarung tangan seperti tertera dalam protokol pencegahan Covid-19 tak ramah disabilitas, khususnya bagi mereka yang menyandang disabilitas netra.

“Yang lain mungkin bisa pakai sarung tangan, tetapi kalau kita (disabilitas netra) disuruh baca braille pakai sarung tangan tidak bisa,” kata Ariani ketika dihubungi Jaring.id pada Rabu, 19 Agustus 2020.

Penggunaan sarung tangan sekali pakai baik oleh pemilih maupun petugas pemungutan suara diatur dalam Pasal 74 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19.

Meski menyadari tujuan protokol itu baik, menurut Ariani, penggunaan sarung tangan akan menyulitkan disabilitas netra menggunakan alat bantu coblos. Alat bantu coblos pemilih disabilitas netra berbentuk huruf timbul braille yang dapat dibaca jika diraba dengan jari. Desainnya sama seperti surat suara, hanya saja terdapat titik-titik timbul dengan ketinggian minimal 0,5 milimeter.

“Kita pegang barang pakai sarung tangan saja kagok, apalagi suruh baca, ya susah. Mungkin cukup dikasih hand sanitizer saja supaya bisa baca,” ungkap pejuang hak politik disabilitas tersebut.

Di samping penggunaan sarung tangan, penerapan jaga jarak pun tak bisa dilakukan penyandang disabilitas. Menurut Ariani para penyandang disabilitas membutuhkan pendampingan seseorang ketika memilih. Terlebih TPS yang dibangun kerap mengabaikan aksesibilitas bagi disabilitas.

Pada pemilihan umum sebelumnya, kata dia, pendamping dari pemilih disabilitas biasanya berasal dari keluarga atau maupun petugas PPS yang dipercaya pemilih. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 71 PKPU Nomor 6/2020. Namun, aturan tersebut hanya berlaku bagi mereka yang memiliki suhu 37,3 derajat celcius.

Ariani menyarankan agar disabilitas didampingi oleh keluarga serumah. Adapun petugas PPS melakukan pengawasan. Bila tidak memiliki pendamping, maka petugas pemilihan bisa melayani pemungutan suara di rumah masing-masing. Hal ini perlu dilakukan agar kontak antara petugas dan pemilih bisa diminimalisir.

Sebagai informasi, pilkada 2020 bakal digelar di 270 wilayah di Indonesia yang meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Jumlah pemilih disabilitas yang bakal ikut memilih dalam helatan tersebut mencapai 137.247 orang.

Ariani menilai pendataan pemilih disabilitas masih dilakukan sembarangan. Salah satu yang ia soroti ialah penyatuan data pemilih disabilitas netra dan rungu ke dalam satu kategori, yakni data disabilitas sensorik. Harusnya, kata dia, data tersebut dipisah agar penyelenggara dapat menyiapkan alat bantu yang sesuai dengan kebutuhan pemilih.

“Yang satu tidak melihat dan satu tidak mendengar. Yang tidak melihat itu butuhnya alat yang bisa didengar, kalau yang tidak mendengar ya butuh alat yang bisa dilihat,” kata Ariani.

Anggota KPU, Viryan Aziz menyatakan bahwa pihaknya bertolok pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ketika mengategorikan data pemilih. UU tersebut membagi disabilitas dalam empat kategori, yakni penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas intelektual dan penyandang disabilitas mental, serta penyandang disabilitas sensorik.

“KPU bekerja sesuai UU yang ada. Kalau KPU bekerja tidak sesuai UU justru salah,” ujarnya kepada Jaring.id melalui pesan singkat pada Senin, 24 Agustus 2020.

Berbeda dengan Pemilu 2019 lalu, KPU saat itu mengklasifikasikan pemilih disabilitas ke dalam lima kategori, yakni tunadaksa, tunanetra, tunarungu/wicara, tunagrahita dan disabilitas lainnya. Sementara pada pilkada serentak 2020, KPU mengubah kategori tersebut lewat PKPU Pemutakhiran Data dan Penyusunan Daftar Pemilih (Mutarlih) Pilkada.

 

Tak Hanya Indonesia

Indonesia bukan satu-satunya negara yang menggelar Pemilihan Umum (Pemilu) di masa pandemi Covid-19. Sedikitnya ada 45 negara lain yang menggelar pemilihan pada tahun ini. Di Asia, negara yang mesti melakukan pemungutan suara antara lain, Korea Selatan, Singapura, Sri Langka, Malaysia dan Burma.

Program Manager Asian Democratic Network, Soon Yoon Suh menyatakan bahwa Korea Selatan ialah negara yang terbilang berhasil menerapkan protokol kesehatan sekaligus mampu menjamin hak bersuara. Selain menyiapkan protokol kesehatan, Korea Selatan menyediakan pelbagai perangkat teknologi dan jaringan internet pada masa kampanye. Bahkan negara di Asia bagian timur ini tak segan menyediakan dana lebih besar untuk mempekerjakan lebih banyak petugas lapangan.

“Korea Selatan juga punya kemampuan mempekerjakan orang di TPS dan menyediakan alat pelindung pemilih,” kata Soon ketika dihubungi pada 26 Juni 2020.

Sedangkan sejauh 3400 kilometer lebih dari Korea Selatan, kelompok minoritas di Rakhine, Burma terancam tidak bisa turut serta dalam pemilihan umum pada 8 November 2020 mendatang. Pasalnya konflik antara pasukan militer pemerintah Myanmar dan kelompok etnis bersenjata kian buruk.

Direktur Eksekutif People Alliance for Credible Election (PACE) Myanmar, Sai Ye Kyaw Swar Mynt mengungkap kekhawatirannya terhadap wacana penundaan pemilu di Rakhine. Kata dia, penundaan tersebut berpotensi menghilangkan suara kelompok etnis minoritas di Myanmar. Pada pemilu sebelumnya, Sai mengatakan Rakhine manjadi lumbung suara partai berbasis etnis, Partai Nasional Arakan (ARP). Partai ARP merupakan penantang terkuat Partai Liga Nasional Demokrat (NLD) yang dikomandoi Kepala Pemerintah Myanmar, Aung San Suu Kyi.

“Rakhine satu-satunya wilayah di mana partai berbasis etnis mendapat suara mayoritas di 2015,” kata Sai dalam diskusi Strenghthening Voters Role in Election Amid Pandemic pada Selasa, 11 Agustus 2020.

Pemerintah Myanmar, menurut Sai, semestinya mampu menjamin keamanan dan keselamatan pemilih di Myanmar terutama bagi minoritas etnis. Sayangnya, pandemi membuat kinerja penyelenggara terlambat, bahkan revisi sejumlah aturan teknis pemilu belum terlaksana. Kata dia, regulasi terkait protokol kesehatan untuk melindungi pemilih dan penyelenggara pemilu tak kunjung dibahas.

“Situasi Covid-19 di Myanmar memang tidak begitu buruk, akan tetapi ada ketakutan gelombang kedua muncul dengan dibukanya jalur dari Thailand,” imbuh Sai.

Sementara itu, Program Manager International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Adhy Aman menilai bahwa pandemi Covid-19 memukul demokrasi, utamanya terkait pemilihan umum di sejumlah negara. Menurutnya, kelompok marjinal seperti disabilitas, perempuan, imigran, tahanan hingga minoritas etnis tidak mudah untuk memberikan suaranya.

“Pemilih dengan disabilitas dan pemilih pasien positif covid-19 dalam karantina atau di rumah sakit, tidak akan bisa memilih kecuali mereka disediakan akses memilih,” ujarnya.

Agar tiap negara bisa menjamin hak warga dalam pemungutan suara, desain pemilu mesti disesuaikan dengan protokol kesehatan pada masa pandemi. Menurutnya, penyelenggara pemilu dan pembuat undang-undang perlu memitigasi dampak buruk terhadap kelompok rentan. Jangan sampai mereka  kehilangan hak suara pada pesta demokrasi tahun ini.

Hal utama yang mesti dipertimbangkan untuk menjaga kesehatan kelompok rentan ialah penjadwalan ulang pemungutan suara di saat kurva penularan Covid-19 melandai. Sejumlah negara yang melakukan hal tersebut ialah Mongolia, Malaysia, Singapura, Jepang dan Sri Lanka. Di samping dapat mencegah penularan infeksi, hal ini juga dapat meningkatkan partisipasi pemilih.

Untuk menjaga hak pilih kelompok rentan, Adhy mengingatkan agar penyelenggara pemilu dan partai menyediakan informasi yang memadai. Informasi tersebut bisa berupa protokol kesehatan memilih dengan aman, akses ke TPS terdekat dan materi kampanye kandidat.

“Peyelenggara pemilu harus menerapkan tata cara memilih khusus terhadap kelompok rentan. Seperti pemungutan suara lewat pos, pemungutan suara lebih awal maupun TPS keliling,” katanya.

[irp posts=”7463″ name=”Timbang-Menimbang Pilkada Serentak”]

Di Sri Lanka, menurut Direktur Eksekutif The Asian Network for Free Elections Direktur (Anfrel), Chandanie Watawala, penyelenggara maupun partai politik mengandalkan media sosial untuk menjangkau pemilik suara. Baik itu melalui iklan kampanye di Facebook maupun Google. Peningkatan penggunaan media sosial ini, menurutnya, berhasil mempertahankan partisipasi pemilih di Sri Lanka yang digelar 8 Agustus lalu.

“Meski dilakukan di situasi pandemi, partisipasi pemilih cukup tinggi sekitar 75 persen. Mendekati partisipasi pemilih ketika di situasi pemilu parlemen normal,” katanya.

Sementara di wilayah yang belum tersedia internet, kampanye langsung dapat dilakukan dengan peserta terbatas. Jika kampanye dihadiri pimpinan partai, maka batas maksimal peserta hanya 500 orang. Sementara kampanye tanpa pimpinan partai dibatasi 300 orang.

Sistem alternatif pemberian suara seperti pemilihan dini juga sempat diusulkan penyelenggara pemilu Sri Lanka untuk pemilih di rumah sakit, orang tua, dan pemilih di luar negeri. Namun, usulan yang didorong penyelenggara pemilu dan masyarakat sipil tersebut dimentahkan oleh partai politik.

“Kita sudah melihat salah satu yang meningkatkan partisipasi pemilih adanya pemilihan dini seperti di Korea Selatan, tetapi di Sri Langka kami gagal melakukannya,” jelasnya.

Serupa dengan Sri Lanka, Indonesia pun tidak bisa menerapkan metode pemungutan suara lain pada masa pandemi. Pasalnya, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk Pilkada Serentak 2020 hanya mengatur jadwal pemilu di masa pendemi, sedangkan proses pemungutan suara tidak berubah. Pemilik suara mesti datang ke tempat pemungutan suara buat memberikan suara dengan cara mencoblos salah satu kandidat. Apabila penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) memaksakan penggunaan sejumlah alternatif pemungutan suara, maka menurut Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Peludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, penyelenggara pemilu rentan digugat ke pengadilan.

“Ini saatnya tidak hanya mengubah peraturan pemilu lokal, tetapi juga mengubah aturan pemilihan umum Indonesia yang tengah dalam proses revisi,” ungkapnya. (Debora Blandina Sinambela)

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.