Petahana Bupati Indramayu Anna Sophanah kembali memenangkan pemilihan kepala daerah di wilayahnya, Desember 2015 lalu. Dengan masa jabatan kedua ini, akan genap 20 tahun Anna dan suaminya, Irianto MS Syafiuddin, menjadi penguasa Indramayu. Sayangnya, ada catatan buruk selama mereka memimpin: berembus indikasi anggaran daerah jadi ladang bersama untuk dibagi-bagi di antara para elite daerah.
DIREKTUR Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Kabupaten Indramayu, Oushj Dialambaqa, tampak kesal. Sejak akhir 2015 lalu, ia kerap ditelepon guru-guru di sejumlah sekolah tentang sebuah proyek pengadaan buku. Namun dia marah bukan karena ulah para guru itu, melainkan karena apa yang dilaporkan oleh guru dan kepala sekolah tersebut.
Pada Januari 2016, untuk mendapat jawaban atas kekesalannya, Oushj mendatangi Kepala Dinas Pendidikan Indramayu, Ali Hasan. Setelah menunggu beberapa jam, ia pun akhirnya ditemui di ruang kerja Ali. Tanpa basa basi, ia menjejerkan sejumlah buku dan salinan kuitansi pembelian buku itu di meja sang Kepala Dinas.
Ini yang ingin saya pertanyakan pada Bapak, katanya dengan nada tinggi. Dana dari pembelian buku ini diduga lari untuk kepentingan pilkada Indramayu, lanjutnya sambil menunjuk deretan buku-buku di hadapannya.
Oushj lalu bercerita bagaimana modus pengumpulan dana pilkada lewat penjualan buku-buku tersebut. Hampir semua buku itu merupakan buku Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dijual kepada seluruh siswa SD di Kabupaten Indramayu. Anehnya, buku itu tidak memiliki kode pengenal yang diakui (barcode) sebagaimana lazimnya buku lain. Bahkan nama penerbit pun tak ada. Yang aneh, hampir semua pembayaran untuk pengadaan buku-buku ini berasal dari pos dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), padahal pihak sekolah tidak pernah menyatakan ada kebutuhan untuk pengadaan buku semacam itu. Kalau tak butuh, kenapa sekolah-sekolah tetap membeli buku-buku itu?
Para Kepala Sekolah tak mampu menolak, karena si penjual selalu membawa nama organisasi tertentu di Indramayu yang dikenal sebagai organisasi anak penguasa di sini, kata Oushj. Selain menjual buku, organisasi yang dimaksud Oushj juga kerap menjual berbagai produk yang menggunakan lambang Kabupaten Indramayu Gagak Winangsih sebagai penandanya.
Oushj lalu memperlihatkan salinan kuitansi lain yang menunjukkan pembelian hiasan dinding berupa Gagak Winangsih bertuliskan Dharma Ayu Nagari di sekolah-sekolah. Harga hiasan itu Rp 300 ribu per buah, dan setiap sekolah setengah dipaksa untuk membelinya. Hampir semua lembaga pemerintah di Indramayu tak hanya sekolah– kini memasang hiasan dinding Gagak Winangsih itu. Saya menduga ini proyeknya orang dekat Bupati Indramayu, yang ujung-ujungnya untuk melanggengkan kekuasaan, tutur Oushj geram.
Sayangnya, kecurigaan Oushj berhenti sampai di situ. Dia kesulitan mencari kepala sekolah maupun pejabat publik lain di Indramayu yang mau secara terbuka menjelaskan ada apa di balik kebijakan pembelian buku LKS maupun hiasan dinding Gagak Winangsih. Walhasil, penelusuran lebih jauh mengenai organisasi yang konon memaksakan pengadaan buku LKS dan hiasan dinding itu pun menemui jalan buntu. Ketika dimintai konfirmasi soal ini, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu, Ali Hasan, hanya menjawab singkat. Soal buku, saya juga baru tahu ini. Terima kasih informasinya, kata Ali seraya berjanji menindaklanjuti laporan Oushj.
INDIKASI bancakan proyek buku di atas hanya satu dari banyak kabar miring yang beredar soal berbagai upaya pasangan petahana, Anna Sophanah-Supendi melanggengkan kekuasaan mereka di Indramayu. Sebagai pasangan petahana, mereka memiliki akses pada penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebagaimana yang terjadi di banyak daerah lain, akses ini rawan disalahgunakan untuk memperkuat jejaring pendukung dan memupuk loyalitas pemilih para petahana menjelang pilkada.
Kecurigaan publik ini cukup beralasan karena ada sejumlah perubahan mencolok yang bisa terbaca dari data audit APBD Indramayu selama empat tahun terakhir (2012-2015). Kenaikan anggaran tampak signifikan pada pos belanja hibah dan dana bantuan keuangan. Untuk pos dana hibah misalnya. Pada 2012, Kabupaten Indramayu hanya mengalokasikan Rp1,4 miliar. Namun jumlah itu naik drastis setahun kemudian menjadi Rp19,075 miliar. Pada 2014, pos dana hibah kembali naik menjadi Rp22.858 miliar. Pada tahun pelaksanaan Pilkada di 2015, terjadi kenaikan signifikan di pos dana hibah menjadi Rp57,185 miliar atau 2,5 kali lipat dari setahun sebelumnya.
Kenaikan mencolok juga terjadi pada pos belanja Dana Bantuan Keuangan (DBK) untuk provinsi/kabupaten/kota, desa dan partai politik. Pada 2012, DBK di Indramayu hanya Rp57,231 miliar. Jumlah itu naik di tahun 2013 menjadi Rp63,606 miliar, lalu kembali naik di 2014 menjadi Rp71,722 miliar. Pada tahun pelaksanaan pilkada di 2015, kembali terjadi kenaikan signifikan menjadi Rp216,73 miliar atau hampir tiga kali lipatnya.
Kenaikan pos belanja DBK, membuat anggaran dana bantuan keuangan untuk partai politik otomatis naik. Di 2015, dana bantuan partai politik di Kabupaten Indramayu mencapai Rp971 juta, yang dibagikan untuk sembilan partai. Partai Hanura memperoleh Rp57,76 juta, lalu Gerindra Rp76,64 juta, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Rp67,517 juta, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Rp123,6 juta. Partai penguasa Golkar mendapat jatah Rp389,86 juta, PDI Perjuangan sebesar Rp152,229 juta, Demokrat Rp51,256 juta, dan Nasdem sebanyak Rp52 juta.
Pos DBK untuk partai politik ini selalu ada setiap tahunnya.
Pada APBD Indramayu 2014 misalnya, pos dana bantuan untuk partai politik dialokasikan sebesar Rp801 juta (sebelum perubahan), yang kemudian naik tipis di APBD perubahan menjadi Rp871 juta.
Selain partai politik, kenaikan signifikan di pos belanja DBK dinikmati pemerintahan desa. Pos DBK untuk desa di Kecamatan Losarang di APBD 2014 dialokasikan sebesar Rp2,4 miliar (sebelum perubahan) dan menjadi Rp 3,3 miliar setelah perubahan. Setahun kemudian, pada tahun pilkada 2015, alokasi itu naik drastis menjadi Rp 8,72 miliar atau melonjak hampir tiga kali lipat. Tren kenaikan signifikan ini terjadi di banyak desa lain. Desa-desa di Kecamatan Lelea mendapat alokasi bantuan desa sebesar Rp8,66 miliar pada 2015, atau naik hampir tiga kali lipat dari APBD 2014 yang hanya mengalokasikan dana Rp2,93 miliar.
Jika dirata-ratakan, maka pada 2015, setiap desa di Kabupaten Indramayu memperoleh sekitar Rp500 juta hingga Rp800 jutaan dari pos DBK, naik rata-rata tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Ini tentu mengundang tanda tanya. Terlebih, akuntabilitas penggunaan dana melimpah tersebut juga tak dipersiapkan dengan baik.
Ketika ditemui, seorang kuwu di Desa Kertasemaya misalnya, malah tidak ada di tempat pada hari kerja. Seorang staf desa itu menjelaskan kalau pos dana bantuan keuangan dari APBD Indramayu digunakan untuk perbaikan fisik bangunan kantor desa serta berbagai proyek pembangunan lainnya. Namun dia menolak memberikan laporan detail penggunaan anggaran desanya.
Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah Oushj Dialambaqa menilai peningkatan besaran Dana Bantuan Keuangan (DBK) menjelang pilkada memang sudah biasa terjadi di Indramayu. Biasanya anggaran-anggaran tersebut, kata dia, dimanfaatkan untuk menjaga suara di tingkat desa.
SEBELUM terpilih menjadi Bupati Indramayu, Anna Sophanah mendampingi suaminya, Irianto Ms Syafiuddin memimpin daerah kelahirannya selama dua periode (2000-2010). Yance, demikian Irianto disapa, sebelumnya adalah pejabat tinggi di Kementerian Agama di Jakarta.
Masa kepemimpinan Yance di Indramayu tidaklah mulus. Pada Desember 2014, Yance ditangkap petugas Kejaksaan Agung. Dia diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi dana pembebasan lahan untuk pembangunan PLTU Sumuradem. Baru pada Juni 2015, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung menyatakan Yance tidak terbukti bersalah dalam perkara itu. Kesaksian Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika itu amat meringankan Yance.
Pada masa jabatan Anna, yang menggantikan suaminya pada 2010, sejumlah kasus dugaan korupsi juga mencuat ke permukaan. Ada kasus penyelewengan rekening PDAM senilai Rp 9,3 miliar. Lalu dugaan korupsi dana CSR Pertamina tahun 2010 sebesar Rp 15 miliar, serta kasus ijazah palsu.
Dalam laporan auditnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah memberikan beberapa catatan dalam laporannya tahun 2013-2014. Soal dana bantuan Kabupaten Indramayu untuk desa-desa misalnya, BPK menemukan ada pelanggaran aturan. Pada periode 2013-2014 saja, ditemukan ada 23 desa yang menerima dana bantuan desa dan dana hibah besar selama tiga tahun berturut-turut, sesuatu yang dinilai menyalahi aturan. Selain itu, BPK juga menemukan ada aliran dana dari APBD Indramayu ke Yayasan GG sebesar Rp 2,8 miliar yang dinilai tidak tepat. Yayasan GG merupakan salah satu yayasan yang kerap menerima bantuan APBD Indramayu. Sayangnya penelusuran ke alamat Yayasan GG ini belum membuahkan hasil. Tak hanya itu. BPK juga menemukan ada masalah dalam deposito Pemerintah Kabupaten Indramayudi Bank PMT Cabang Jakarta sebesar Rp 5 miliar, yang kini tidak jelas keberadaannya.
***
PILKADA Indramayu yang digelar 9 Desember 2015, diikuti dua pasangan calon, yakni Anna Sophanah Supendi (Andi), bernomor urut satu dan Toto Sucartono Rasta Wiguna (Tora), bernomor urut dua. Keduanya akan memperebutkan 1.411.094 suara masyarakat Indramayu. Kami yakin menang, ujar Anna Sophanah, kepada wartawan pada hari-hari menjelang pencoblosan.
Hal yang sama diutarakan lawannya, Toto Sucartono. Ia optimistis bisa memenangkan Pilkada karena masyarakat menginginkan perubahan. Itulah mengapa ia menggunakan jargon Gerakan Perubahan untuk Indramayu Bangkit.
Jargon perubahan ini penting karena pasangan Anna Sophanah-Supendi memang jelas-jelas menyatakan diri sebagai kepanjangan tangan Bupati sebelumnya, yang notabene adalah suami Anna: Irianto Ms Ssyarifuddin. Bahkan visi misi mereka yakni Remaja (Relijius, Maju, Mandiri, Sejahtera) adalah visi misi yang diusung Irianto selama 10 tahun menjadi Bupati di sana.
Yang menarik, sejak menjadi Bupati Indramayu pada 2010, harta kekayaan Anna naik hampir 100 persen. Dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dikeluarkan KPU, 30 November 2015 lalu, Anna memiliki kekayaan sebesar Rp8.549.134.800, naik hampir Rp 5 miliar dari angka yang dia laporkan lima tahun sebelumnya. Namun, ketika dikonfimasi, Anna Sophanah menyatakan data tentang kekayaannya itu keliru. Ada sekitar empat mobil saya yang sudah dijual, ungkapnya.
Akibat mengusung dua tema kampanye yang bertentangan, kompetisi antara dua pasangan calon di Indramayu ini berjalan panas. Selama masa kampanye yang berlangsung sejak 27 Agustus 2015 hingga 5 Desember 2015, sejumlah gejolak sempat muncul ke permukaan. Berulangkali, kubu Tora melaporkan perilaku pesaingnya di kubu Anna Sophanah ke Panwaslu Kabupaten Indramayu.
Pada awal November 2015, Ketua Tim Advokasi Pasangan Tora, Afif Rahman melapor ke Panwaslu, menuding birokrat Indramayu tidak netral dalam pilkada. Dia menunjuk insiden pada pawai taaruf pembukaan MTQ tingkat Kabupaten Indramayu di Kecamatan Juntinyuat pada 2 November 2015. Dalam pawai itu terlihat ada sejumlah oknum PNS membawa poster bergambar pasangan calon Anna Sophanah dan Supendi.
Afif juga melaporkan peristiwa di Kecamatan Gabuswetan, Indramayu. Tim Tora menemukan adanya penggunaan fasilitas negara dan politik uang dalam pertemuan tokoh masyarakat, seluruh Kades di Gabuswetan, serta para kuwu.
Ketua Panwaslu Kabupaten Indramayu, Supandi mengklaim seluruh laporan pelanggaran selama pilkada sudah ditangani. Itu terbukti dengan pemanggilan berbagai pihak. Namun, karena kurang bukti, banyak laporan yang tidak berlanjut dengan pemberian sanksi.
Walhasil, setelah pilkada usai, pasangan petahana Anna Sophanah-Supendi menang. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indramayu menyebutkan Anna meraih suara sebesar 55,93 persen atau 452.032 suara, sementara itu lawannya Toto Sucartono-Rasta Wiguna (Tora) meraih 44,07 persen atau 356.166 suara.
Toto Sucartono tak serta merta menerima hasil rekapitulasi KPU. Menurutnya, ada sedikitnnya 70 pelanggaran dalam proses pilkada Indramayu, yang meliputi politik uang, ketidaknetralan birokrasi, penggelembungan suara, hingga pidana petahana.
Dia lalu menunjuk kasus di Kecamatan Indramayu. Di sana dilaporkan ada beberapa warga yang tidak mendapatkan undangan pencoblosan. Orang-orang tersebut berasal dari profesi yang berbeda yakni PNS dan pegawai swasta. Beberapa jam menjelang pemilihan, petugas desa menyampaikan undangan pencoblosan. Namun yang dapat hanya yang PNS, sedangkan kami yang pegawai swasta tidak mendapatkan undangan sehingga tidak bisa mencoblos, tutur seorang warga.
Semua bukti dari berbagai pelanggaran tersebut kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun dalam putusan sidang, MK menolak gugatan pasangan Tora. Berdasarkan putusan itu, KPU Indramayu menetapkan pasangan Anna Sophanah-Supendi menjadi pemenang Pilkada. Semua indikasi bagi-bagi anggaran di kabupaten itu kini tak lagi jadi pembicaraan publik. Semua menguap seiring dengan kembali terpilihnya Anna Sophanah menjadi Bupati Indramayu.
(*)