Ambulans untuk Harimau Sumatera

Tak sulit mencari Sam (bukan nama sebenarnya). Sehari-harinya, pria yang tinggal di Sarolangun, Jambi ini bekerja sebagai petani kelapa sawit dan karet. Namun, dia punya bisnis sampingan yang tak kalah menggiurkan: berdagang produk turunan satwa liar hasil buruan.

Produk turunan ular, trenggiling, hingga macan ditadahnya. Sam punya jejaring pemasok dan pengepul yang tersebar di belasan wilayah di Sumatera Barat dan Jambi. Sepuluh tahun lebih menggeluti bisnis ini, berbagai trik dikembangkannya agar bisnis berjalan mulus.

Cara paling sederhana adalah turun langsung ke lapangan. Ia mengajak seorang sopir untuk berkeliling dan mengumpulkan barang dari para pemburu. Adakalanya, Sam meminta pedagang sayur untuk menjadi kurir. Gerobak pun dialihgunakan jadi wadah penyimpanan kulit harimau dan trenggiling.

Setelah terkumpul, barang dikirim ke Pelabuhan Kuala Tungkai, Jambi, dengan menggunakan mobil box atau ambulans. “Lebih aman, siapa yang mau curiga dan memeriksa ambulans,” ujarnya. 

Dari sana, dagangan Sam diseberangkan ke Batam. Rute ini dipilih lantaran lalu-lintas yang ramai membuat aparat kesulitan mengawasi setiap kapal. Ada juga jalur tikus yang bisa digunakan agar lolos dari pengawasan.

“Banyak dan aman sekali di jalur tikus,” kata Sam.

Di Batam, klien Sam tak cuma berasal dari dalam negeri, tetapi juga Malaysia dan Singapura. Agar aman dari pelacakan, transaksi hanya dilakukan secara tunai.

“Ada barang maka ada uang. Tidak pakai transfer-transferan,” terangnya.

Sam mengaku berhenti dari bisnis haramnya lantaran pandemi Covid-19 merebak. Permintaan seret hingga barang dagangan sempat menumpuk di gudang. Sisik trenggiling miliknya bahkan mesti dimusnahkan karena telah membusuk. 

Ketua Yayasan Lingkar Inisiatif, Iswadi menyebut barang-barang turunan satwa liar punya pasar yang beragam. Tulang, taring, dan trenggiling biasanya dipasarkan di luar negeri dan digunakan untuk kebutuhan medis. Beberapa negara yang dituju adalah Vietnam, Thailand, Korea Selatan, dan China. 

“Kulit cenderung larinya ke domestik. Barangnya untuk dibuat karpet, hiasan, atau kerajinan,” imbuhnya.

Berdasarkan riset yang mereka lakukan, pasokan barang-barang tersebut biasanya terkait dengan para pencari gaharu. Sembari mencari kayu yang terkenal dengan wanginya tersebut, mereka juga berburu atau mengumpulkan informasi mengenai satwa liar, termasuk Harimau Sumatera.

“Satu informasi, entah itu berupa sekadar lisan atau foto jejak, cakar, kotoran, bisa mereka tukar dengan uang ke pemburu,” kata Iswadi.

Iswadi menambahkan kalau jejaring perdagangan juga dipengaruhi jenis barang turunan Harimau Sumatera. Pencari gaharu misalnya, cenderung terhubung dengan penampung dan pembeli kulit harimau. Sementara itu, pemburu trenggiling cenderung terhubung dengan penampung atau pembeli taring dan tulang harimau. 

Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu-Lampung, Said Jauhari mengaku pihaknya terus melakukan sosialisasi untuk mencegah perburuan harimau. Ia mengaku tak lagi mendapatkan laporan mengenai adanya perburuan pada 2021.

“Belum ada lagi laporan, kalau ada dimana? Rata-rata perburuannya orang-orang itu saja, dan beberapa sudah mengaku bertobat. Kita gencar melakukan sosialisasi dan beberapa tim siaga di tempat seperti di Mukomuko dan TNKS. BKSDA juga bekerjasama dengan NGO untuk mengantisipasi perburuan ini,” terangnya.

Berdasarkan riset yang dilakukan di 33 bentang alam pada 2010, diketahui bahwa harimau hidup di 27 bentang alam. Hanya berselang enam tahun, tanda keberadaan harimau hanya tersisa di 23 bentang alam. 

Di tengah perburuan yang tak lagi sekerap dulu, ada faktor-faktor lain yang masih mengancam keberadaan Harimau Sumatera. Apa saja? Simak tulisan terakhir dari serial Penjagal Raja Rimba: Berpacu dengan Kepunahan.


*Liputan investigasi ini merupakan hasil kolaborasi dalam Program Bela Satwa Project yang diinisiasi oleh Garda Animalia dan Auriga Nusantara.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.