Ambigu Sang Menteri di Hutan Perawan

BALIKPAPAN – Suparmi menghampiri seorang pemuda yang tengah bersila di pinggir waduk Wain di Hutan Lindung Sungai Wain, Balikpapan, Kalimantan Timur, suatu siang. Suparmin melihat tumpukan roti di sekeliling si pemuda.

“Umpannya pakai ini kah?” tanya Min, panggilan Suparmin.

“Ya. Roti,” balas sang pemuda.

“Berarti kamu bukan orang (sekitar Sungai Wain-Red) sini,” kata Min. Ia kemudian menghampiri pemancing lain dan bertanya dengan pertanyaan serupa.

Mereka yang hidup mengandalkan sungai Wain dianggap mengenal karakter ikan di dalamnya. Min bilang, memancing di perairan dalam hutan lindung itu biasanya dengan umpan lumut sungai-sungai di dalam hutan lindung. Umpan lumut membuat para pemancing lebih beruntung. Mereka bisa mendapat ikan nila seukuran lebih dari dua telapak tangannya.

Siang itu, Min menghampiri belasan pemancing lain yang nongkrong di tubir waduk. “Mereka ini bukan orang sini. Pendatang entah dari mana. Sudah tidak mengerti cara memancing, buta huruf pula. Tertulis plang itu ‘Dilarang Memancing’, juga peringatan ‘Area Berbahaya Ada Buaya Supit’,” kata Min.

Min lahir pada 1957, di sebuah gubuk kayu, tak jauh dari waduk. Orangtuanya dulu bertani. Hutan lindung itu menjadi area bermain sejak kecil, bahkan hingga jauh ke dalam. Itu sebabnya ia sangat mengenal seluk-beluk HLSW, dari aliran sungai hingga waduknya, jalan tikus, persimpangan, habitat hutan, hingga sejarah pembangunan waduk.

Kini, Min menjadi penjaga rimba ini, termasuk rutin mengawasi perbatasan hutan, juga sesekali hingga ke waduk Wain. Ikatan batin dengan kawasan itu begitu kuat sehingga bekerja menjaganya membuat hati Min senang.

Waduk Wain

Warga menyebutnya Waduk Wain, karena terletak di tapal batas Hutan Lindung Sungai Wain, dan airnya bersumber dari banyak sekali Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sub-DAS di dalam hutan itu. Waduk Wain ini memiliki sejarah panjang.

Perusahaan minyak BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) membangun waduk seluas 0,7 ha pada 1947. Pengelolaan waduk kemudian beralih ke perusahaan minyak Shell pada 1969. Berlanjut kemudian Pertamina mengambil alih pengelolaan waduk pada 1972 hingga kini.

Sejak diambil Pertamina, waduk diperluas dari 0,7 ha menjadi 3,1 ha dari 1973 hingga 1976. “Panjang lebar tak beraturan, kira-kira 500 meter kali 90 meter. Kedalamannya ada yang tiga meter,” kata Nasran Djuremi, mantan kepala pengawas pompa Pertamina di Waduk Wain.

Keberadaan waduk begitu vital bagi Pertamina. Hampir seluruh kebutuhan air bagi Pertamina dipasok dari waduk ini. “Terlalu berisiko menggantungkan kegiatan Pertamina pada waduk sekecil itu,” kata I Dewa Made Mudita, mantan Manager Operasional Renifery Unit V Pertamina.

Waduk yang masuk kawasan kelola Pertamina itu tak seketat kantor dan pabriknya. Penduduk bisa masuk dari celah-celah hutan, dan tepi batas hutan, mampir ke pinggir waduk, memancing, atau melakukan banyak aktivitas lain. “Belum yang masuk jauh ke dalam hutan,” kata Min.

Kondisi ini cukup merisaukan lantaran Pertamina memanfaatkan sepenuhnya Waduk Wain sebagai sumber air, untuk menyuplai kebutuhan pengolahan minyak dan kebutuhan sehari-hari hampir semua yang berdiri di lahan Pertamina di Balikpapan, terutama perumahan dan pabrik pengolah.

Pertamina begitu beruntung memiliki Waduk Wain itu. Mereka diperkirakan bisa berhemat puluhan miliaran rupiah tiap tahun, dan terbebas dari ongkos membayar air bersih. Rata-rata air waduk yang dimanfaatkan Pertamina 14.400 m3 per hari atau sekitar 5,3 juta m3 dalam satu tahun.

“Pengiriman air tidak boleh berhenti. Pompa beroperasi 24 jam,” kata Nasran.

Bila dikalkulasi dengan tarif air untuk industri sebesar Rp 8.250 per m3, dengan memanfaatkan air Waduk Wain, Pertamina mampu menghemat Rp 44 miliar per tahun. Perusahaan plat merah ini tak membayar pemanfaatan air. Meski begitu, Pertamina tetap harus membayar pajak air permukaan ke pemerintah daerah.

Air yang diambil dari waduk tidak langsung dimanfaatkan, melainkan harus dikirim ke divisi pemurnian di Gunung Pancur, dekat kilang, melalui tiga pipa berdiameter 16 inci sejauh 12 kilometer panjangnya. Air tidak langsung masuk ke pabrik pengolahan minyak. Divisi pemurnian air memisahkan endapan dari air bersih.

“Tidak semua air yang dikirim lewat pompa sampai ke Pertamina. Banyak kebocoran di tengah jalan, termasuk air diambil warga,” kata Nasran.

Divisi pemurnian air kemudian mendistribusi air bersih hasil pemurnian, sejumlah 250 meter kubik ke kilang sebagai bahan untuk menghasilkan uap bertekanan tinggi. Kelebihan air akan dialirkan ke perkantoran dan pemukiman.

Air bertekanan tinggi itu dimanfaatkan untuk berbagai macam kebutuhan, baik kegiatan pengolahan minyak, menghasilkan listrik, dan lain-lain. Sisa air kemudian dikembalikan ke Gunung Pancur untuk didistribusikan ke pemukiman dan perkantoran di sekitar pabrik Pertamina.

Mereka yang menikmati aliran air itu bukan hanya pemukiman karyawan Pertamina, tetapi juga hingga RS Pertamina, RS Tentara, Komplek TNI AD dan polisi, sekolah, perkantoran, rumah-rumah ibadah. Kebetulan semua itu berada di atas kawasan Pertamina.

“Termasuk listrik yang dibangkitkan oleh Pertamina, juga dialirkan ke semua tempat (pemukiman dan perkantoran-Red) itu. Airnya saja setara dengan 20 persen kebutuhan air bersih masyarakat Balikpapan,” kata Made.

Keputusan yang membingungkan

Hari itu hujan deras mengguyur Balikpapan, Kalimantan Timur. Nasran memperkirakan esok hari bakal air kecokelatan berasal dari DAS dan sub-DAS sungai Wain dalam hutan lindung masuk ke dalam waduk. Jumlahnya besar. Berbeda air dari DAS Bugis yang bening dan alirannya tenang.

“Itulah (gambaran) hulunya,” kata Nasran.

Hutan lindung yang secara administratif terletak di Kelurahan Karang Joang Kecamatan Balikpapan Utara dan Kelurahan Kariangau Kecamatan Balikpapan Barat Kota Balikpapan ini, dikenal sebagai “Hutan Tutupan”, istilah kerajaan Kutai untuk hutan lindung.

Hutan Tutupan itu pemberian sah Sultan Kutai pada 1934. Kesultanan Kutai yang dipimpin Aji Muhammad Parikesit waktu itu berharap, hutan kelak mampu menjaga pasokan air bersih untuk masyakarat.

Empat puluh sembilan tahun berlalu. Terbitlah Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 24/Kpts/Um/I/2013, yang dalam lampirannya terdapat peta kawasan hutan lindung Provinsi Kaltim, termasuk seluas 3.295 ha yang berada di Balikpapan. Luasan hutan yang masuk ke bagian kelompok hutan lindung itu adalah DAS Bugis, sedangkan sisanya termasuk hutan produksi yang dapat dikonservasi.

Gubernur Kalimantan Timur, Ardan, melihat DAS Wain di sebelah DAS Bugis masih terjaga baik. Ia pun menerbitkan Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kaltim Nomor 552.12/311/KLH-III/1988 dan diusulkanlah agar DAS Wain seluas 6.100 ha juga dimasukkan ke kelompok hutan lindung.

Gayung bersambut, terbitlah Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 118/Kpts-VII/1988 tentang Pembentukan Kelompok Hutan Lindung Sungai Wain dengan luas 6.100 ha, terletak di Balikpapan. Dua keputusan menteri itulah yang menjadi awal HLSW memiliki luas hingga total 10.025 ha.

Luas kawasan lindung itu tak bertahan lama. Kebijakan pemerintah berikutnya malah memberi tekanan pada hutan. HLSW terkoreksi 243 ha setelah terbit SK Menhut Nomor 416/kpts-II/1995 tentang revisi tata batas HLSW. Di situ tertulis luasan HLSW dari 10.025 ha menjadi 9.782 ha.

Tekanan sang menteri pada hutan lindung ini belum berhenti. Pada 2006, Menhut MS Kaban menerbitkan penunjukan lokasi bagi Kebun Raya Balikpapan seluas 290 ha di dalam HLSW. SK Menhut nomor 105/Menhut-II/2006 itu berisi kawasan hutan dengan tujuan khusus yaitu peruntukan sebagian kawasan HLSW sebagai KRB.

Sang menteri lagi-lagi memberi tekanan pada HLSW. Menhut Zulfikli Hasan menerbitkan SK Menhut Nomor 129/Menhut-II/2011 tentang hutan kemasyarakatan dengan luas 1.400 ha di kawasan hutan lindung.

Dari sekian kali pengurangan luasan itu, hutan lindung sudah berkurang sekitar 20 persen.

Para peneliti yang sudah malang melintang di hutan ini menyebut kebijakan pemerintah itu mengakibatkan kerusakan hebat karena melegalkan pembukaan kebun masyarakat dalam HKm dan pembukaan akses jalan maupun pendirian bangunan di KRB. Kerusakan terbesar terutama terjadi pada DAS.

“Kira-kira 25 persen DAS Wain mengalami kerusakan,” kata Graham Usher dari Yayasan Pro Natura. Yayasan ini berkecimpung dalam kegiatan pemeliharaan satwa, pengelolaan alam dan hutan, juga pusat pendidikan tentang satwa di Kalimantan Timur, Indonesia.

Graham mengenal HLSW berikut DAS di dalamnya. Ia pernah bekerja untuk kampanye lingkungan hidup bagi HLSW pada 2000 hingga 2006. Saat ini, kata Graham, beberapa bagian DAS Wain tidak berfungsi normal.

Pembangunan kebun buah warga di dalam HKm dianggap mengganggu hulu sungai. Pembangunan jalan dan fasilitas pendukung KRB juga dianggap mengganggu hulu DAS. Aliran air di daerah pembangunan itu diyakini jadi tidak berfungsi maksimal.

HLSW dulu dikenal sebagai penyimpan air yang baik. Sekalipun tanpa hujan dalam dua bulan, kata Graham, air tetap mengalir hingga ke waduk Wain. “Sekarang ini bisa kering saat musim kering. Saat ada hujan baru banjir mengalir air membawa pasir,” katanya.

Waduk Wain paling merasakan dampak kerusakan DAS. Pembangunan di hulu diyakini mengakibatkan pendangkalan waduk. “Pertamina sering mengeruk waduk,” kata Gabriella ‘Gebi’ Fredriksson, juga dari Pro Natura.

Graham dan Gebi bukan orang baru bagi HLSW. Graham spesialis pemetaan dan citra satelit. Sementara Gebi telah berkecimpung di HLSW sejak 1998, untuk mengkaji beruang madu, satwa paling special di hutan lindung ini.

Mereka mendirikan Pro Natura yayasan yang bekerja di bidang lingkungan, alam, dan pemeliharaan satwa. Graham bekerja sebagai pengawas di sana dan Gebi sebagai direktur. Pro Natura menjadi mitra Pemerintah Kota Balikpapan dalam mengawasi HLSW sebelum beralih ke Pemerintah Provinsi Kaltim sebagaimana amanat UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Keduanya mengaku prihatin. Pasalnya, hutan ini memiliki karakter sangat berbeda dengan banyak hutan dan DAS lain di Indonesia. HLSW dan DAS di dalamnya memiliki nilai keekonomian yang sangat tinggi, selain untuk ketahanan air bagi warga Balikpapan, juga mendukung kegiatan produksi Pertamina, industri migas yang menghidupi negeri ini.

Namun dalam perjalanannya, perhatian bagi hutan ini dianggap tidak serius. “Bayangkan kalau sampai DAS rusak dan tidak berfungsi baik, maka kerugian besar bagi negeri ini,” kata Gebi.

Benar, Pertamina rutin mengeruk sedimentasi di waduk. Mereka selalu mengerahkan 30 warga Wain untuk ikut pengerukan 10.000 kubik pasir dan lumpur setiap tahunnya secara manual menggunakan cangkul dan sekop. “Bahkan ketika kebakaran 1998, kami meminta warga dan Pertamina untuk ikut membantu memadamkan api. Jawabannya, warga tidak bisa ikut memadamkan api karena diprioritaskan untuk mengeruk endapan di waduk dulu,” kata Gebi.

Pengerukan dilakukan utamanya menjaga level air tidak kurang dari 40 cm. Ketinggian air waduk Wain rata-rata 80 cm. Dengan level kurang dari 40 cm, air yang dikirim ke pemurnian air di Gunung Pancur akan membawa banyak lumpur.

Sedimentasi diperkirakan berasal dari bukaan di lahan HKm dan KRB. Nasran menilai, dulunya pengerukan tidak perlu sampai serutin sekarang, setahun sekali. “Seingat saya, kami hanya melakukan dua kali,” katanya.

Pengerukan sangat diperlukan. Mengingat, pernah pada 1985, level air hanya tinggal 25 cm. Air tidak mungkin disedot. Di waduk seperti muncul pulau-pulau endapan. Pompa pernah tidak berjalan normal pada 1982 dan 1980. Semua karena kemarau panjang.

Pembiaran Pendatang

Min lahir dan besar di Desa Wain. Desa ini terletak di pinggir HLSW. Ayahnya seorang petani yang memiliki pengaruh luas di antara para petani saat itu.

Tak lama setelah menjadi penjaga hutan, Pertamina mengelola Waduk Wain sebagai sumber air, untuk menyuplai kebutuhan pengolahan minyak dan kebutuhan sehari-hari kawasan perumahan dan pabrik Pertamina. Proyek pengembangan waduk wain berlangsung kurang lebih dua tahun, mulai 1972 hingga 1974.

“Bapak saya juga termasuk yang ikut membangun waduk itu saat itu,” kata Min.

Dalam rangka pembangunan itu, Pertamina sempat merelokasi 50 kepala keluarga komunitas etnis Paser yang tinggal di sepanjang bantaran DAS Bugis untuk keluar dari kampung mereka. Pertamina khawatir komunitas itu membuka hutan untuk berladang. Aktivitas ini bisa mengganggu ketersediaan sumber air waduk. Maka, 50 kepala keluarga tersebut dipindahkan ke kawasan lain yang jauh ke hilir DAS Bugis.

Berkembanglah kemudian Desa Wain, terletak di hilir Waduk Wain. Sebelumnya, di tahun 1974, warga Desa Wain dikeluarkan dari HLSW karena dianggap perambah hutan, dan mengancam proyek strategis pemerintah.

Min mengenang masa-masa itu. “Di gubuk kayu di sekitar pompa milik Pertamina yang sekarang itu saya lahir,” tuturnya. “Saat ini hanya tersisa kebunnya saja.”

Warga desa dijanjikan bisa membuka ladang yang kemudian menjadi hak milik. Dengan syarat, mereka tidak membuka ladang di hutan lindung yang terbentang di depan rumah mereka saat ini. Janji lain Pertamina juga adalah warga akan mendapat pasokan air bersih dari kelola waduk Wain itu.

Sayang, warga tidak benar-benar menikmati air dari hasil hutan yang mereka jaga siang malam itu. Air dari Waduk Wain boleh saja dimurnikan di Gunung Pancur. Tapi yang masuk ke perumahan warga di Desa Wain tidak termasuk yang dimurnikan sehingga air yang mengalir berwarna kekuningan dan terkadang bau.

Air ini baru keluar dari pipa sedot waduk, masuk ke pendorong air, mengalir ke warga Wain dan menuju ke pengolahan di Gunung Pancur. Ini semua menunjukkan ketidakberpihakan pada warga Wain itu.

Perasaan warga Wain makin terluka karena Menhut memberi izin pemanfaatan lahan seluas 1.400 ha HLSW untuk kepentingan hutan kemasyakatan (HKm). Kawasan hutan lindung terpaksa direlakan. Mereka yang datang menghuni kawasan lindung ini bukan transmigran, apalagi penduduk Kaltim. Mereka datang kemudian mendirikan bangunan, lalu berjualan dengan mendirikan toko sembari berkebun.

“Dari jalan ke dalam sekitar 1,5 kilometer lebarnya,” kata Nasran.

Pemerintah seperti tak menggubris. Warga Desa Wainlah yang merasa terluka. Mereka terusir dari tanah nenek moyang, sementara pendatang diberi ruang mengelola hutan untuk masuk menggarap hutan lindung atas nama HKm.

“Sebelum HKm itu muncul, banyak sekali pencurian kayu hutan dari pendatang yang tinggal di kilometer 20-an itu. Saya sempat hampir dianaya waktu sering nguber-uber pencuri di hutan,” kata Nasrun.

Memburu Pemburu

Sejumlah 177 jerat penangkap babi hutan, rusa, kancil, dan kijang serta 15 bom untuk membunuh babi buruan dikumpulkan dari berbagai penjuru dalam hutan lindung. Para penjaga hutan mengumpulkan benda-benda itu sepanjang Januari hingga Mei 2016 lalu.

Mereka juga mendapatkan satu senapan angin, tiga lem dan tiga jaring penjebak burung. “(Tanda ada) perburuan satwa dalam hutan lindung,” kata Agusdin, Wakil Manajer Pengelola HLSW.

Jerat dan bom itu menunjukkan praktik perburuan ini sudah berlangsung lama di dalam hutan.

Separuh HLSW merupakan hutan kondisi primer. Hutan terdiri dari rawa terbuka, hutan rawa air, hutan sungai, dan hutan Dipterocappaceae. HLSW digadang sebagai salah satu hutan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, karena bisa didapati satwa dilindungi dan langka, seperti orangutan hasil introduksi, beruang madu, rusa sambar, hingga burung enggang.

Agusdin mengungkap kekhawatirannya kalau satwa dilindungi pun kena dampak dari perburuan liar ini. Temuan ratusan jerat dan bom pemburu sekaligus membuka lebar peluang mendapat satwa yang bisa diperdagangkan.

Yang dikhawatirkan adalah perburuan juga berdampak pada satwa dilindungi di dalamnya. “Perburuan ini gawat, karena ada banyak satwa dilindungi di sana,” katanya.

Ia mencontohkan adanya laporan temuan merak raja dari HLSW, rangkong atau enggang, hingga kukang dijual pedagang pinggir jalan di jalanan Balikpapan.

“Bulan lalu kami menemukan rusa yang sudah dipotong di dekat pinggir hutan,” kata Direktur Badan Pengelola HLSW, Purwanto.

Setelah tekanan akibat bukaan lahan di KRB dan HKm, kini perburuan satwa menambah tekanan pada hutan lindung ini. Seiring pembangunan di sekelilingnya, pertumbuhan pemukiman, dan kebun rakyat, di antaranya di sebelah selatan terjadi pembukaan Kawasan Industri Kariangau dan jalan penghubung Balikpapan dan Kabupaten Penajam Paser Utara.

Sementara itu pemukiman dan kebun rakyat juga mulai tumbuh di sebelah utara dan timur HLSW. Seperti, terdapat HPH Inhutani I dan usaha pertambangan batubara PT Singlurus Pratama Coal yang memiliki izin operasi sejak 1997. Pos jaga Singlurus hanya 800 meter dari batas hutan lindung sebelah utara.

Pemukiman sudah mulai tumbuh di batas utara ini. “Di dalam hutan dekat perbatasan dengan pemukiman paling banyak ditemukan bom pembunuh babi ini,” kata Agusdin.

Sepanjang lima bulan belakangan ini, petugas jaga pernah mendengar tiga suara ledakan dalam hutan dan delapan suara ledakan di pinggir hutan. “Bom babi itu jebakan yang dibuat dengan bau makanan kesukaan babi. Biasanya dimakan babi dan ketika meledak bisa memecahkan kepala babi,” kata Agus.

Wilayah hutan lindung ini memang terancam sejak dulu, sejak jalan poros Balikpapan-Samarinda terbuka, dan ancaman makin kuat saat kedua akses Jalan Kariangau dan izin tambang batubara diberikan.

Pencuri Kayu

Selain perburuan hewan, pencurian kayu masih saja terjadi. Akhir Juni 2016 lalu, empat warga ditangkap karena mengambil pohon roboh di kawasan penyangga hutan lindung. Lokasi penangkapan tepat di pinggir kawasan penyangga yang berbatasan dengan bukaan lahan yang akan dibangun sebagai jalan penghubung Balikpapan ke Kabupaten Penajam Pasir Utara.

Lahan yang dibuka itu memiliki lebar yang diperkirakan 100 meter, dengan medan sulit, berpasir, dan lumpur.

Gabungan aparat ini menemukan setidaknya lima titik penumpukan dengan jumlah 2 hingga 4 kubik kayu potong tiap tumpukan. Dari kejauhan terdengar suara gergaji mesin. Setibanya di tempat asal suara gergaji mesin, polisi mendapati empat orang sedang memotong-motong pohon yang sudah rebah.

Mereka sedang memotong batang kayu balok menjadi papan dengan ketebalan 1 inci dan kayu balok ukuran 8×8 cm. Masing-masing panjang 4 meter.

“Kita merazia setelah mendengar pengaduan warga ada penebangan liar dekat HLSW. Kita cari kita dapati ini,” kata Aiptu Wagino, polisi perbantuan di HLSW.

Pemerintah memang sedang getol membangun jalan menuju PPU. Jalan itu termasuk jembatan.

Para pencuri ini mengaku kayu bukan untuk dijual. Kayu didapat dari gelondongan pohon yang tumbang karena pembukaan jalan, lalu dipotong bentuk papan dan balok. “Bukan dibawa keluar. Ini betulan untuk bangun pondok,” kata Halim, satu dari empat orang yang ditangkap polisi.

Polisi tetap menangkap keempatnya karena tidak menyertakan izin pemanfaatan kayu limbah. Namun, mereka dilepas setelah menandatangani pernyataan tidak mengulangi perbuatan serupa.

Sebelumnya, lima orang yang sedang mencuri pohon jenis kayu gaharu pada akhir Februari 2016 juga tertangkap. Lima orang itu asal Kabupaten Tanah Bumbu Kaimantan Selatan. Mereka bahkan mencuri tepat di blok inti HLSW dan bisa membuat pondok-pondok di dalam sana.

Melebarkan Hutan

Berat beban mempertahankan hutan lindung Balikpapan. Selain tekanan karena terbukanya kawasan sejak muncul sejumlah SK Menhut, hutan lindung juga didera ancaman dari pembalakan liar, perburuan, hingga pertumbuhan penduduk di sekitar pembangunan jalan.

Air yang diproduksi hutan itu menjadi ukuran betapa hutan terus mendapat tekanan. Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Wain memperjuangkan 4.231 hektare sebagai penambahan areal hutan.

“Untuk semakin memperkuat ketahanan hutan lindung dari ancaman dan tekanan,” kata Purwanto, Direktur BPHLSW.

Hingga kini baru 1.373 hektare yang telah disetujui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Rencana penambahan itu merupakan upaya badan pengelola untuk membuat pertahanan bagi hutan lindung tersebut karena dikelilingi tambang batu bara. Penambahan lahan hutan itu berada di kawasan kelola Inhutani dan lokasinya bersebelahan dengan HLSW. Hutan itu pula berbatasan dengan Kukar.

Hutan Lindung Sungai Wain merupakan kebanggaan Balikpapan karena kaya akan keanekaragaman hayatinya. Satwa endemik, seperti orangutan dan beruang madu hidup di sana. Hutan juga menyimpan aliran sungai hingga bisa memasok kegiatan bisnis Pertamina sebagai tulang punggung ekonomi negeri ini.

Tulisan ini telah diterbitkan di Cahayakaltim.com, 4 Oktober 2016, dan diedit untuk dimuat kembali di Jaring.id.

Ekspansi Pertambangan Nikel Picu Deforestasi

Penambangan nikel di Halmahera Tengah tak hanya mengakibatkan deforestasi. Ia membikin aliran air sungai menjadi keruh, banjir bandang, hingga merampas kehidupan warga yang selama ini

Yang Rusak karena Tambang Nikel Halmahera

Aliran sungai di Halmahera Tengah tercemar akibat deforestasi penambangan nikel. Air sungai terkontaminasi, sehingga tidak lagi bisa dikonsumsi maupun untuk menjalankan ritual keagamaan. Oktaviana Kristin

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.