Mendengar kabar orang tuanya meninggal di Banda Aceh, Muhammad Reza (33) buru-buru menggulung layar telepon genggamnya. Ia mencari informasi mengenai biaya pengujian terkait Covid-19. Mula-mula ia melakukan pemeriksaan cepat antibodi (rapid test). Dari dua kali pemeriksaan, Reza beroleh hasil reaktif. Guna memastikan diagnosa tersebut Reza berniat melakukan pemeriksaan terhadap paparan virus corona baru melalui metode usap polymerase chain reaction (PCR).

Betapa kagetnya ia ketika mengetahui ongkos yang harus dikeluarkan. Sejumlah rumah sakit dan laboratorium di Kota Bogor, Jawa Barat yang ia hubungi pada akhir Agustus 2020 lalu menawarkan harga mulai Rp 1,8 juta hingga Rp 2,5 juta. Sementara harga tes usap mandiri yang tertera dalam aplikasi pelayanan kesehatan halodoc mulai Rp 999 ribu – Rp 4 juta.

Rumah sakit yang menyediakan pelayanan pemeriksaan Covid-19 menjual waktu tunggu. Semakin mahal harga pengujian, maka pasien dapat memeroleh hasil lebih cepat. Hasil pemeriksaan paling cepat selesai dalam waktu 6 jam, sementara paling lama 7 hari. Di luar Jabodetabek, hasil pemeriksaan rata-rata selesai lebih lama, yakni 5 – 7 hari.

“Saya telepon (rumah sakit) satu per satu. Ada juga yang menawarkan Rp 5 juta untuk hasil delapan jam,” cerita Reza saat dihubungi Jaring.id pada Jumat, 4 September 2020.

Merasa terlalu mahal, Reza berusaha mencari alternatif pemeriksaan lain. Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso merupakan satu dari sejumlah rumah sakit di luar Bogor yang ia hubungi. Menurut Reza, biaya pemeriksaan mandiri di RS rujukan Covid-19 ini hanya Rp 390 ribu. Namun, ia mesti menunggu hingga 7 hari untuk beroleh hasil.

Lantaran waktu tunggu yang terlalu panjang, Reza memutuskan untuk mengambil paket tes usap PCR di salah satu laboratorium swasta di Jakarta Selatan dengan tarif Rp 1,2 juta. Dengan membayar uang sejumlah itu Reza dapat memeroleh hasil tidak lebih dari 2 hari.

“Saya tidak punya pilihan lain. Kasihan keluarga di kampung kalau saya memaksa pulang seandainya hasilnya positif (Covid-19),” ujar Reza.

Kenyataan serupa juga dialami Trinanti (34). Ia harus merogoh kocek hingga Rp 3,5 juta untuk mendapat hasil tes usap PCR dalam waktu enam jam. Hasil usap lendir tersebut dibutuhkan agar kakaknya, penyintas bipolar disorder, bisa segera mendapatkan perawatan di Sanatorium Dharmawangsa.

“Kalau pasien sakit jiwa harus cepat penanganannya karena bisa membahayakan orang lain dan berpotensi melukai dirinya sendiri. Obat sehari-hari sudah tidak mempan lagi, sehingga perlu segera dirawat,” katanya ketika dihubungi Jaring.id pada Jumat, 28 Agustus 2020.

Hasil pemeriksaan Covid-19 kilat tersebut diperoleh Trinanti dari Rumah Sakit Mayapada Jakarta Selatan. Rumah sakit yang dimiliki salah satu orang terkaya di Indonesia, Sri Tahir tersebut, menawarkan pelbagai paket pengujian lendir yang dapat selesai dalam hitungan jam. Bahkan, menurut Trinanti, hasil pemeriksaan Covid-19 yang dilakukan kakaknya bisa rampung dua jam lebih cepat dari yang dijanjikan. Meski begitu, Trinanti mengeluhkan tingginya harga untuk memeroleh selembar surat elektronik berisi keterangan hasil pengujian.

“Sebagai salah satu metode tes dan syarat perawatan, Rp 3,5 juta itu mahal banget,” keluh Trinanti.

Head of Corporate Communication Mayapada Healthcare Group, Dewi Yuany menyebut harga pengujian sampel lendir Covid-19 di RS Mayapada setimpal dengan layanan yang diberikan. Di samping waktu tunggu yang singkat, pemeriksaan Covid-19 di RS Mayapada ditunjang makmal (laboratorium) yang memiliki level keselamatan biologi level 2 (BSL2).

Kata dia, modal membangun makmal level 2 tidak sedikit. Pada masa pandemi SAR-CoV-2 saat ini, pihak RS juga mesti menambah mesin pembaca reagen atau pereaksi kimia PCR agar dapat digunakan khusus pengujian sampel Covid-19.

“Kita punya dua alat PCR. Beda merek iya, kapasitasnya juga berbeda-beda,” ungkapnya.

Meski tidak menyebut secara rinci, Dewi menyatakan bahwa biaya yang telah digelontorkan RS Mayapada mencapai miliaran Rupiah. Ia menampik bila pihaknya dianggap mengambil untung  kelewat tinggi dari tiap pengujian sampel lendir secara mandiri.

“Ibaratnya ada harga ada barang. Ada faktor tenaga kesehatan juga. Kita menghargai nakesnya. Mereka sudah dilatih khusus. Salah swab itu, pasien bisa meninggal. Jadi, kita juga pastikan nakesnya yang benar-benar handal,” kilah Dewi.

Sementara itu, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Depok, Devi Mayori menjelaskan bahwa besarnya biaya pengujian sampel Covid-19 dihitung dari seluruh nilai investasi dan biaya operasional. Pihaknya menghitung penyediaan catridge, wadah sampel (virus transport medium), alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan, serta tarif dokter spesialis patologi.

Menurutnya, mesin tes cepat molekuler (TCM) yang saat ini beroperasi di RSUD Depok dibeli dengan harga Rp 600 juta. Mesin tersebut dapat memeriksa 16 sampel dalam sehari. Untuk membaca satu sampel lendir, pihak rumah sakit harus mengalokasikan biaya pembelian cartridge sebesar Rp 660 ribu. Menghitung biaya yang dibutuhkan, RSUD Depok mematok tarif Rp 1,5 juta untuk melakukan tes usap Covid-19.

“Kalau dihitung-hitung, marjinnya sedikit. Tidak bisa dijadikan investasi gimana-gimana. Akan tetapi kita harus tetap sediakan layanan itu (tes usap mandiri),” kata Devi ketika dihubungi Jaring.id pada Jumat, 5 September 2020.

Dengan mesin TCM, Devi menambahkan, waktu rata-rata pengujian sampel lendir hanya empat jam. Namun, RSUD Depok mematok waktu penyerahan hasil 1 – 3 hari kerja. Pasalnya, hasil pembacaan sampel oleh mesin TCM perlu dikonsultasikan dengan dokter patologi.

Penyeragaman Harga

Dalam rapat kerja dengan Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis, 3 September 2020, Ketua Satgas Covid-19, Doni Monardo menyoroti tingginya harga pemeriksaan spesimen PCR di sejumlah rumah sakit. Padahal, menurutnya, biaya yang di keluarkan untuk memeriksa satu kali spesimen tidak lebih dari Rp 500 ribu.

“Ada rumah sakit yang mematok harga tes PCR swab sampai di atas Rp 2,5 juta. Padahal, harga rutin atau harga yang bisa kita lihat sebenarnya tidak akan lebih dari Rp 500 ribu per unit atau per sekali pemeriksaan spesimen,” kata Doni Monardo dalam rapat di Komisi VIII DPR, Kamis, 3 September 2020.

Mendengar hal itu, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad meminta agar Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional turun tangan menindaklanjuti temuan tersebut.

“Tes merupakan hal yang sangat urgen bagi masyarakat dan kalau harganya masih terlalu mahal, menurut Ketua BNPB, seharusnya Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional bisa segera merespons hal tersebut,” kata Dasco kepada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta pada Jumat, 4 September 2020.

Legislator dari Fraksi Gerindra itu menyarankan pemerintah menetapkan batas atas dari harga pengujian sampel Covid-19.

“Sehingga kemahalan-kemahalan PCR atau perbedaan harga-harga PCR itu bisa disamakan atau minimal ada patokan harga, sehingga masyarakat yang akan melakukan tes PCR juga tidak terbebani secara berlebihan,” ujarnya sepert dikutip dari situs dpr.go.id.

Dihubungi terpisah, Juru Bicara Satgas Covid-19, Wiku Adisasmito menyatakan bahwa belum ada keputusan final terkait harga pengujian sampel lendir melalui PCR.

“Satgas sedang melakukan kajian tentang harga tes PCR yang diselenggarakan berbagai pihak,” katanya kepada Jaring.id, Minggu, 6 September 2020.

Hingga saat ini, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan baru menetapkan batas tarif tertinggi untuk pengujian tes cepat atau rapid test antibodi, yakni Rp150 ribu. Aturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan, drg. Widyawati menyatakan pemerintah berencana mengatur batas atas tarif tes PCR Covid-19. Pasalnya biaya uji usap dianggap terlalu mahal, sehingga menyulitkan sebagian besar warga yang ingin melakukan pemeriksaan mandiri di rumah sakit maupun fasilitas kesehatan lain.

“Sedang dalam pembicaraan. Bila sudah ada hasil, kami akan infokan,” ujarnya kepada Jaring.id, Rabu, 2 September 2020.

Batas Bawah

Ketua Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Profesor Pratiwi Sudarmono menyatakan bahwa tarif pemeriksaan sampel lendir Covid-19 tidak bisa murah. Pasalnya, harga pembelian material yang mesti dikeluarkan laboratorium maupun rumah sakit terbilang tinggi.

Harga rata-rata mesin PCR, menurut Pratiwi, berkisar antara Rp 1 – 2 miliar sesuai dengan kapasitas mesin. Sedangkan harga reagen ada di kisaran Rp 400 – Rp 700 ribu. Rumah sakit dan laboratorium juga mesti mengeluarkan biaya untuk pembelian APD, alat usap, VTM, dan plasticware. Biaya pembuangan limbah dan biaya operasional, menurutnya, juga mesti dihitung.

Dengan dasar itu, Pratiwi menilai mustahil jika rumah sakit dan laboratorium diminta menekan biaya tes usap mandiri hingga Rp 500 ribu. Paling tidak, kata dia, harga wajar ada di angka Rp 1,1 juta.

“Kalau pemerintah memberikan plafon juga harus realistis gitu kan. Kecuali dengan Rp 500 ribu mereka (pemerintah) tanggung semuanya (APD, alat usap, VTM, plasticware, pembuangan limbah, sampai operasional). Atau setidaknya kalau Rp 500 ribu, ya reagennya dikasih pemerintah,” kata Pratiwi.

Laboratorium Mikrobiologi FK UI merupakan laboratorium rujukan 36 RS dan 8 puskesmas di Jakarta Pusat. Dengan kapasitas pemeriksaan 800-1000 sampel per hari, mereka mengalokasikan tes usap mandiri sebesar 10 persen dengan harga sekali tes usap Rp 1,2 juta untuk hasil 3 hari.

Pendapatan dari tes usap mandiri tersebut digunakan untuk mensubsidi silang pemeriksaan pasien rujukan Covid-19 dan hasil penelusuran kontak. Pasalnya, hingga saat ini pemerintah hanya menanggung biaya pembelian reagen untuk dua kategori tersebut. Adapun biaya untuk APD, alat usap, dan operasional pengerjaan tetap ditanggung rumah sakit dan laboratorium.

Sekretaris Asosiasi Rumah Sakit Swasta (ARSSI) Ichsan Hanafi mengatakan, penetapan biaya pengujian sampel Covid-19 perlu diputuskan bersama, baik oleh rumah sakit milik pemerintah maupun swasta. Terlebih saat ini kapasitas pemeriksaan Covid-19 di Indonesia belum memadai dan menjawab kebutuhan publik. Untuk beradaptasi dengan kebiasaan baru (new normal), ia mengklaim, masyarakat membutuhkan hasil pengujian lebih cepat ketimbang layanan pemeriksaan dari pemerintah. Hal ini bisa dibuktikan dengan tingginya permintaan pengujian sampel lendir di Jabodetabek.

“Dia minta cepat, tentunya ada supply dan permintaan. Tidak fair juga kalau disamaratakan harganya, kecuali labnya sudah banyak, sudah tersedia. Sekarangkan kapasitasnya beda-beda,” katanya.

Merujuk data Satuan Tugas (satgas) Covid-19, saat ini terdapat 278 laboratorium dengan 320 mesin PCR se-Indonesia. Hingga 8 September 2020, ratusan mesin ini mampu menguji 32.643 per hari.

Alternatif

Direktur Center for Indonesia’s Strategic Development Initiative (CISDI), Olivia Herlinda menyebut rendahnya kapasitas pemeriksaan terkait Covid-19 menyebabkan tingginya angka penularan. Dengan populasi sebesar 270 juta, Indonesia paling tidak harus memeriksa 270 ribu orang tiap minggu atau setara dengan 38.500 orang per minggu.

Agar laju sebaran bisa diisolasi, Olivia mendorong agar pemerintah memperbanyak uji cepat antigen untuk menemukan kasus positif. Uji cepat antigen dengan metode usap, menurutnya, punya akurasi yang lebih baik ketimbang uji cepat antibodi. Apabila tes antigen reaktif, baru dilakukan uji usap PCR. Hal ini perlu dilakukan agar penggunaan reagen bisa diprioritaskan bagi yang paling membutuhkan.

“Daripada semua dites usap PCR, bisa dites usap dengan menangkap antigen dulu. Cuma di Indonesia masih sedikit tes antigen itu dan masih belum populer ketimbang uji cepat antibodi,” ujarnya.

Keberadaan alat tes diagnostik cepat (rapid diagnostic test) untuk COVID-19 di Indonesia saat ini, lanjutnya, justru menimbulkan kegelisahan baru di kalangan masyarakat. Tingkat akurasi hasil uji cepat antibodi yang rendah, bahkan pada orang dengan gejala, membuat masyarakat berlomba-lomba melakukan tes usap PCR.

Namun, sayangnya permintaan tersebut tidak berbanding lurus dengan ketersediaan komponen penting tes usap PCR seperti reagen. Walhasil, harga tes PCR di sejumlah rumah sakit terbawa arus pasar hingga lebih dari Rp 3 juta. Padahal, menurutnya, tarif sebesar Rp 1 – 1,5 juta harusnya sudah bisa mengembalikan biaya operasional tes usap.

Ini komersialisasinya memang parah. Ditambah pemerintah tidak menetapkan batasan harga maksimal seperti halnya pemeriksaan uji cepat antibodi. Makanya sekarang banyak yang mengkomersialisasikan dengan hasil lebih cepat, tapi ya harus bayar segini,” kata Olivia kepada Jaring.id, Rabu, 2 September 2020.

Anggota Ombudsman RI, Alvin Lie, pemerintah perlu mengatur standar pelayanan tes Covid-19, mulai dari pelayanan, kapasitas, waktu tunggu hasil, hingga mekanisme antrian sebelum menetapkan harga. Kalau tidak, maka jangan heran bila harga uji sampel Covid-19 tak dapat dikontrol.

“Antrian ini membuat hukum pasar berlaku, di mana demand lebih besar dari supply otomatis biaya itu meningkat,” ujarnya ketika dihubungi Jaring.id, Rabu, 2 September 2020.

Ia menyarankan pemerintah agar menyubsidi reagen atau menyiapkan sistem pinjaman lunak kepada rumah sakit yang ingin membeli mesin PCR. Selain itu, pemerataan distribusi  reagen dan mesin pembaca sampel PCR ke seluruh daerah juga perlu segera dilakukan. Saat ini, ketersediaan alat masih terpusat di Jakarta dan Pulau Jawa.

“Kalau harganya bisa turun tapi tetap dengan standar yang jelas, ini juga mendorong partisipasi masyarakat. Tidak usah menunggu program pemeriksaan pemerintah, masing-masing bisa mengambil inisiatif sendiri karena harganya terjangkau. Kalau sekarang ini kan berat,” ungkap Alvin.

Derita Ganda Perempuan dengan Kusta   

Bercak putih kemerahan sebesar uang koin Rp500 di kedua pipi menjadi awal perubahan dari kehidupan Sri. Sebelas tahun lalu usianya baru 21 tahun. Mula-mula, bercak

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.