Di 2020, disinformasi di Amerika Serikat tak lagi datang dari Rusia—seperti 2016, melainkan berasal dari Gedung Putih. Pada Rabu, 4 November 2020, Donald Trump mengklaim kemenangannya sebagai Presiden Amerika Serikat, meski belum semua suara elektoral selesai dihitung. Ia mengumumkan klaim tersebut di East Room, Gedung Putih kepada para pendukung dan jurnalis. Sejumlah media menayangkan klaim kemenangan ini, meski beberapa media seperti Reuters menyebutnya sebagai “klaim yang salah.”
Di YouTube, video klaim kemenangan ini kemudian diunggah oleh sejumlah media massa dan ditonton ratusan ribu orang. Namun, sejumlah media kemudian memutuskan untuk menghapus tayangan tersebut, segera setelah platform media sosial Facebook dan Twitter menghapus unggahan Donald Trump dan para pendukungnya. Facebook dan Twitter bahkan melabeli unggahan tersebut dengan menyebutnya sebagai konten menyesatkan. Akun Twitter milik Facebook Newsroom (@fbnewsroom) pada Rabu, 4 November 2020 mengetweet:
“Begitu Presiden Trump mulai membuat klaim kemenangan yang prematur, kami akan membuat pemberitahuan di Facebook dan Instagram bahwa suara masih dihitung dan pemenang belum diproyeksikan. Kami juga secara otomatis melabeli unggahan dari kedua kandidat dengan informasi ini.”
Once President Trump began making premature claims of victory, we started running notifications on Facebook and Instagram that votes are still being counted and a winner is not projected. We’re also automatically applying labels to both candidates’ posts with this information. pic.twitter.com/tuGGLJkwcy
— Facebook Newsroom (@fbnewsroom) November 4, 2020
Twitter juga memblokir sejumlah pernyataan Trump lainnya yang menuding bahwa telah terjadi kecurangan dalam penghitungan suara. Total ada 13 cuitan Trump yang dihapus oleh Twitter sejak 3-6 November. Twitter juga menandai cuitan tersebut sebagai “konten yang masih dalam perdebatan dan berpotensi menyesatkan tentang pemilu dan proses sipil lainnya.”
Profesor jurnalisme dari George Washington University, Janet E. Steele menyebut tindakan yang dilakukan oleh media massa Amerika, Facebook, maupun Twitter dapat dibenarkan.
“Saat mengklaim kemenangan di Gedung Putih, Trump telah melangar dua hal. Pertama, menggunakan Gedung Putih untuk kampanye politik. Kedua, membohongi publik karena pengumuman dilakukan sebelum semua suara selesai dihitung,” kata Steele dalam wawancara dengan Jaring.id, Sabtu 7 November 2020.
Namun, agaknya Trump bergeming dengan keyakinannya. Bahkan saat lawan politiknya dari Partai Demokrat, Joseph R. Biden Jr. berhasil mengantongi suara elektoral sebesar 279 pada 7 November—melebihi target minimal 270 suara yang dibutuhkan untuk menang, Trump dalam cuitannya di Twitter masih menyemburkan kebohongan: “Saya memenangkan pemilihan dengan sangat banyak.”
Trump juga mencuit bahwa pemilu berlangsung curang karena para observer tidak diizinkan masuk ke ruang penghitungan suara dan bahwa jutaan surat suara yang dikirim via pos—di mana banyak pendukung Demokrat memilih lewat pos—telah dikirim ke alamat yang salah. Kedua tweet tersebut segera dilabeli Twitter sebagai tweet bermasalah. Meski demikian, kedua tweet tersebut masih bisa di-retweet ratusan ribu orang.
Steele dan sejumlah pengamat politik mengkhawatirkan bahwa kemenangan Biden tak cukup mengubur Trumpisme. Selisih sekitar 4 juta suara publik (popular vote) antara Biden dan Trump—Biden meraup sekitar 74 juta suara dan Trump sekitar 70 juta suara—menunjukkan Trumpisme tak bisa diabaikan.
Trumpisme
Trumpisme, menurut Steele, pada dasarnya berbasis pada ras.
“Trumpisme menjadi daya tarik untuk kelas pekerja kulit putih yang tak punya uang dan dalam situasi yang buruk,” terang Steele.
Trump membuat para kelas pekerja kulit putih ini secara tidak langsung, merasa bahwa mereka lah orang-orang Amerika yang sebenarnya, bukan orang Meksiko, bukan orang kulit hitam atau pun para imigran lainnya. Mereka melihat bahwa kemiskinan dan kesulitan hidup yang mereka alami akibat pekerjaan mereka diambil oleh para pendatang atau orang-orang kulit hitam atau kulit berwarna yang sebenarnya sudah menjadi warga Amerika.
“Ada elemen rasisme dan supremasi kulit putih,” tegas Steele.
Sentimen ras ini sebenarnya sudah muncul sejak era Barack Obama. Tidak sedikit orang Amerika yang mempersoalkan “keaslian” Amerika dari Obama. Saat Biden menggandeng Kamala Haris—perempuan keturunan Jamaika dan India—sebagai kandidat wakil presiden, pertanyaan tentang “keaslian” Amerika ini melesap kembali dalam kesadaran publik. “Dan Trump sukses memunculkan itu,” ujar Steele. Itu pula yang menjelaskan mengapa Trump memenangkan suara di wilayah dengan mayoritas penduduk miskin berkulit putih, meski ia tidak memiliki program layanan kesehatan yang baik.
“Mereka mendukung (Trump) atas dasar sentimen ras, bukan atas dasar kepentingan mereka,” ungkapnya.
Meminjam istilah Marxist, Steele menyebutnya sebagai false consciousness (kesadaran palsu). Sementara pemerhati budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, menyebutnya sebagai collective unconsciousness (ketidaksadaran kolektif).
Namun, baik Steele maupun Firman sepakat bahwa sentimen ras ini sebenarnya masih ada dan mengendap di benak masyarakat Amerika. Trump lah yang kemudian berhasil membangkitkan sentiment tersebut tanpa malu-malu sejak ia duduk sebagai orang nomor satu AS pada 2016.
“Perilaku Trump adalah perilaku (sebagian) masyarakat Amerika,” ujar Firman kepada Jaring.id pada Kamis, 5 November 2020.
Sentimen ras ini makin menguat dengan deklarasi perang Trump terhadap jurnalisme, bangkrutnya media lokal di Amerika dan propaganda yang disemburkan lewat media sosial. Trump dengan kekuatan twitternya, menurut Firman, adalah magnet yang kuat. Dengan 88 juta followers, Trump mampu membangun opini publik yang kini susah payah dilakukan oleh media konvensional. “Realitas media hari ini adalah realitas media sosial,” ujar Firman. Jejaring informasi yang terbangun lewat media sosial inilah, merujuk konsep Manuel Castells, yang kemudian membentuk identitas baru dan menjadi “oposisi” terhadap identitas Amerika.
“Trumpisme ini menguak akar rasisme terselubung sekelompok masyarakat Amerika dan itu merupakan resistensi terhadap nilai pluralisme dan demokrasi yang secara agung didengung-dengungkan sebagai nilai Amerika,” jelas Firman.
Para pendukung Trump membangun kepercayaan atas informasi yang mereka yakini dan mereka bagikan di jejaring mereka, tak peduli apakah informasi tersebut berbasis fakta atau tidak. Upaya yang dilakukan sejumlah pihak, terutama media dengan tim fact checker-nya, untuk meyakinkan mereka bahwa mereka telah menerima informasi yang salah juga akan diabaikan.
Cuitan Trump yang menakut-nakuti para pemilih AS dengan peningkatan jumlah pengungsi dari negara teroris jika Joe Biden menang di hari pemungutan suara, misalnya, adalah contoh bagaimana Trump “menyisipkan” pesan supremasi kulit putih dan diamini oleh para pengikutnya.
“Joe Biden akan meningkatkan pengungsi dari negara-negara teroris sebesar 700 persen. Rencananya akan membanjiri komunitas Anda dan mengubah Michigan, Minnesota, Wisconsin, dan seluruh Midwest menjadi kamp pengungsi. Saya melindungi keluarga Anda dan menjauhkan Teroris Islam Radikal dari Negara kita!” demikian cuitan yang telah di-retweet 34.000 kali tersebut.
Pengamat politik dari Nortwestern University, Jefrry Winters melihat bahwa infomasi palsu yang tersebar tanpa edit dan tanpa filter di internet secara tidak langsung telah meningkatkan jumlah komunitas yang mempercayai teori konspirasi dan kaum paranoid di Amerika Serikat.
“Kelompok (yang percaya teori) konspirasi dan paranoid sudah ada di Amerika sejak dulu, tapi tidak pernah semasif sekarang,” kata Winters dalam diskusi online yang digelar dua hari sebelum pemungutan suara di Amerika Serikat digelar.
Qanon adalah salah satu kelompok yang terlahir dengan keyakinan bahwa Amerika dijalankan oleh komplotan rahasia pedofil pemuja setan. Mereka memberikan dukungan pada Trump dan percaya Trump akan menghabisi komplotan rahasia tersebut.
Menurut Winters, media sosial seperti Facebook dan Twitter yang memiliki algoritma tersendiri telah berkontribusi pada masifnya kelompok ini. Itu sebabnya, dalam pemilu Amerika, Facebook dan Twitter sangat responsif untuk memastikan semburan dusta tak berlalu lalang di platform mereka.
Amerika sendiri punya banyak organisasi yang melakukan cek fakta. Namun, persoalannya menurut Steele, orang yang menyebarkan disinformasi bukanlah orang yang melihat situs pemeriksa fakta.
Media dan Reformasi Demokrasi
Namun, yang menarik, disinformasi Amerika telah mendorong organisasi media membangun siasat untuk melawannya. Salah satunya dengan “truth sandwich.” Seperti laiknya sandwich, jurnalis bisa tetap menyampaikan pernyataan bohong yang disampaikan para politisi—terutama Trump—tapi membungkusnya dengan fakta yang sebenarnya. Steele mencontohkan, jika Trump menyampaikan pernyataan bahwa Partai Demokrat telah mencuri suara tapi pada kenyataannya tidak terjadi pencurian suara, maka jurnalis dapat menuliskannya sebagai berikut:
“Dalam pemilu yang berlangsung secara jujur dan adil, Presiden Trump menyampaikan bahwa suara dicuri oleh Demokrat, tetapi tidak ada bukti yang mendukung pernyataan tersebut.”
Siasat ini, menurut Steele, dilakukan karena jurnalis tidak ingin terjebak atau turut memperkuat kebohongan tersebut. “Ini adalah perkembangan yang sangat positif bagaimana organisasi media menangani (pernyataan) bohong,” ungkap Steele. Ia berharap siasat yang dilakukan oleh media massa di Amerika ini bisa ditiru oleh media massa di negara lain, termasuk Indonesia. Namun Steele tetap mengkhawatirkan polarisasi di tengah masyarakat Amerika akan berlangsung lama.
“Polarisasi ini terkait dengan merosotnya media/surat kabar lokal dan juga terkait dengan pernyataan Trump bahwa media adalah pembohong,” ungkap Steele.
Bangkrutnya media lokal membuat warga Amerika beralih ke media nasional. Namun masalahnya media nasional telah terbelah dengan posisi politik masing-masing. Hal ini mempertajam polarisasi di kalangan masyarakat. Belum lagi merosotnya kepercayaan publik terhadap media gara-gara pernyataan Trump yang selalu menyebut media sebagai penyebar berita palsu (fake news). Masyarakat kemudian lari ke media sosial. Masalahnya media social memliki algoritma yang memungkinkan pengguna hanya akan terpapar dengan informasi yang serupa dengan minat mereka.
“Kami benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi tiga bulan ke depan. Jika kubu pendukung Trump melakukan mobilisasi (untuk menolak hasil pemilu), ini sangat mengerikan,” ungkap Steele.
Senator progresif dari Vermont, Bernie Sanders, dalam cuitannya tanggal 6 November menilai bahwa apa yang dilakukan Trump saat ini—dengan merongrong legitimasi pemilu—adalah ulah para demagog (penghasut) yang menghancurkan kepercayaan pada demokrasi dan menggerakkan masyarakat ke arah otoritarianisme.
Tugas Biden memang tak akan mudah. Dalam pidato kemenangannya, Biden sempat menyebut bahwa ia memahami ketidakpuasan para pendukung Trump. Namun ia mengajak semua pihak menurunkan ketegangan dan belajar mendengar satu sama lain. Ia juga menyatakan tekad untuk “membasmi rasisme sistemik” dan menyatukan Amerika.
“Saya berjani untuk menjadi presiden yang tidak memecah belah tapi menyatukan, yang tidak melihat negara bagian merah dan bagian biru, hanya melihat Amerika Serikat,” demikian Biden.
Sementara Winters sebelumnya mengatakan, siapapun yang memenangkan pemilu, harus ada reformasi demokrasi di Amerika Serikat. “Ini saatnya bagi Amerika untuk lebih berendah hati dan bersedia belajar dari dunia internasional bagaimana cara mereka mengadopsi demokrasi,” ungkapnya.
Winters menolak menyebut demokrasi Amerika Serikat telah gagal. Namun ia mengakui bahwa praktik demokrasi di Amerika Serikat selama ini bermasalah dan cenderung anti-demokrasi. Unsur keterwakilan warga masih kurang. Amerika, menurut Winters, harus melakukan reposisi di level internasional.
“Jangan lagi memberitahu setiap orang apa-apa yang harus dilakukan, tapi mulai belajar untuk melihat apa yang terjadi di negara lain,” demikian Winters. (Fransisca Ria Susanti)