Aplikasi Sirekap (sistem informasi rekapitulasi elektronik) yang diunduh Ketua Kelompok Pemungutan Suara (KPPS) Kelurahan Depok Jaya, Depok, Eko Widjadso tak beroperasi dengan baik. Unggahan dokumen simulasi berupa foto formulir C Hasil KWK berkali-kali gagal tersimpan dalam sistem rekapitulasi suara digital pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020. Pada layar telepon pintar miliknya, muncul keterangan “gagal mengirim gambar” berkelir merah.
“Beberapa kali error dalam pengiriman data. Kemungkinan karena hujan menyebabkan sinyal data kurang stabil,” ujar Eko kepada Jaring.id, Senin, 23 November 2020.
Dalam catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kendala penggunaan aplikasi Sirekap yang dialami Eko tidak hanya terjadi di Depok, Jawa Barat. Dari 157 kabupaten/kota yang melakukan uji coba pada 21 November lalu, terdapat lebih dari 30 ribu tempat pemungutan suara (TPS) yang mengalami gangguan jaringan internet. Ribuan TPS tersebut tersebar di Jambi, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Sementara 4 ribu TPS di Kalimantan bermasalah dengan jaringan listrik. Selain faktor eksternal, menurut Komisioner Bawaslu, Muhammad Afifuddin, sistem operasi Sirekap juga masih bermasalah.
“Untuk mengunggah satu dokumen masih membutuhkan waktu sekitar 30 menit,” kata Afifuddin ketika dihubungi Jaring.id pada Selasa, 24 November 2020.
Kondisi tersebut, menurutnya, diperparah oleh rendahnya tingkat akurasi sistem pembacaan Sirekap terhadap formulir C Hasil KWK. Saat simulasi berlangsung di sejumlah daerah, angka 0 terbaca 8 (Kabupaten Labuhan Batu Selatan), angka 082 terbaca 200 (Kabupaten Lebong), angka 151 terbaca 351 (Sibolga), angka 9 terbaca 8 (Tanjung Balai), angka 198 terbaca 139 (Kabupaten Rokan Hilir), 252 terbaca 250 (Kabupaten Berau).
“Ketidaksesuaian data yang terbaca Sirekap sebagian besar karena jenis ponsel, kualitas foto formulir, cahaya, dan sudut pandang pengambilan gambar,” katanya.
Oleh sebab itu, Bawaslu meminta KPU untuk segera mengantisipasi kegagalan sistem dan memastikan KPPS untuk bekerja dengan baik. Afifuddin tidak ingin penerapan teknologi rekapitulasi digital malah dianggap sebagai beban. Pasalnya pada masa pandemi virus Corona, KPPS tidak hanya dituntut mengurus proses pemilihan melainkan juga protokol kesehatan di TPS.
Sebelum memberikan suara, petugas akan mengarahkan pemilih untuk mencuci tangan dan mengecek suhu tubuh. Bila terdapat pemilih yang suhu tubuhnya di atas 37,5 derajat celcius, maka pemilih akan diarahkan untuk mencoblos di bilik suara khusus. Selain itu, petugas KPPS juga dibebani untuk melakukan pelayanan terhadap pasien Covid-19 yang tengah melakukan isolasi mandiri.
***
Sebanyak 270 daerah akan menggelar pemilihan kepala daerah serentak pada 2020. Dari 270 daerah tersebut, sembilan diantaranya memilih Gubernur. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 100.359.152 pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT). Jumlah itu tersebar di 300 ribu lebih tempat pemungutan suara (TPS).
Berbeda dengan pemilihan sebelumnya, gelaran Pilkada yang dilakukan di tengah pandemi Covid-19 ini akan menyertakan Sirekap sebagai alat bantu publikasi suara. Sementara sistem penyalinan dan pelaporan manual akan tetap dijadikan acuan untuk menentukan pemenang Pilkada.
Hal ini sesuai dengan kesepakatan antara KPU dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 12 November lalu. Komisioner KPU, Evi Novida Ginting Manik mengatakan uji coba sistem digital akan dilakukan secara nasional di 304 ribu TPS yang tersebar di 270 daerah. Evi berharap dapat memeroleh gambaran utuh untuk membangun sistem digital Pemilu 2024 mendatang.
Merujuk Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, Pemilu 2024 akan berlangsung dengan 7 pemilihan dalam satu hari. Pemilih akan menentukan siapa presiden dan wakil presiden pengganti Joko Widodo-Maaruf Amin, lalu dilanjutkan dengan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, pemilihan bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota, pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Daerah (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat provinsi serta ditutup dengan pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota.
Oleh sebab itu, KPU mendorong penggunaan teknologi digital pada Pemilu 2024 mendatang. Selain dapat mempercepat proses rekapitulasi, Komisioner KPU, Evi meyakinkan bahwa sistem digital dapat membuat tragedi Pemilu 2019 tidak terulang. Saat itu, sebanyak 894 petugas pemilihan meninggal dunia, serta 5.175 petugas lainnya sakit. Sebagian besar di antaranya mengalami kelelahan saat mengisi 548 lembar fomulir secara manual.
“Kita harapkan ini juga bisa membantu pasangan calon dan tim kampanye yang memiliki kepentingan dalam perolehan suara cepat,” begitu ujar Evi kepada Jaring.id pada Jumat, 20 November 2020..
Saat ini, KPU tengah fokus memperbaiki sistem operasi Sirekap. Evi mengklaim, fungsi pembacaan tanda (optical mark recognition) sudah valid. Sementara kendala dalam pembacaan karakter (optical character recognition) akan diperbaiki secara bertahap lewat simulasi di pelbagai daerah. Dalam waktu dekat, KPU akan kembali melakukan uji coba terhadap Sirekap pada 28-29 November nanti. Proses tersebut akan ditutup dengan simulasi yang digelar 5-7 Desember.
“Penilaian mitigasi ini perlu dilakukan termasuk dalam penggunaan aplikasi untuk mengetahui apa yang perlu dikembangkan dalam rangka persiapan teknologi informasi ke depan,” kata dia.
Dalam simulasi tahap pertama, KPU menemukan sekitar 17 ribu TPS mengalami kendala sinyal. Sumenep merupakan satu dari daerah yang membutuhkan waktu cukup lama, tidak kurang dari 24 jam untuk mengirimkan hasil rekapitulasi. Sementara di Banten proses mengunggah dokumen selesai dalam kurun waktu satu jam. Sebab itu, menurut Evi, KPU akan menunggu daerah yang terkendala jaringan internet sampai 24 jam setelah proses rekapitulasi selesai. Bila tetap tidak bisa, maka petugas pemilihan dapat mengirimkan dokumen secara luring lewat perangkat bluetooth.
‘’Kami tetap mendorong dan memastikan teman-teman di daerah menggunakan Sirekap. Ini wajib digunakan meski statusnya sebagai alat bantu dan uji coba,’’ katanya.
Sementara itu, anggota KPUD Kediri, Anwar Ansori mendukung penerapan teknologi digital pada Pilkada 2020. Sirekap diyakini Anwar dapat membikin proses rekapitulasi lebih efektif dan efisien. Hanya saja, KPU perlu segera melakukan simulasi hingga tingkat KPPS. Sebelumnya, uji coba tahap pertama di Kediri dilakukan terbatas di tingkat kecamatan.
“Ini yang mengerti masih ditataran KPU karena akses masih dibatasi,” ujarnya kepada Jaring.id pada Jumat, 20 November 2020.
Minimnya sosialisasi dan persiapan di masing-masing daerah itu lah yang menjadi salah satu dasar DPR menolak usulan KPU. Sebab lain ialah masalah jaringan internet. Menurut Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, aplikasi Sirekap yang dikembangkan KPU saat ini belum siap dijadikan dasar penghitungan suara Pilkada 2020. Namun ia mendukung penggunaan Sirekap sebagai alat bantu rekapitulasi pada 9 Desember nanti. Dengan begitu, KPU bisa mengidentifikasi pokok masalah di masing-masing daerah.
“KPU perlu memastikan penyelenggara pemilu di setiap tingkatan memahami penggunaan Sirekap. Dengan begitu kesalahan penghitungan dan rekapitulasi bisa diminimalisir,” katanya dalam rapat DPR, Kamis, 12 November 2020.
Peneliti dari lembaga pemantau pemilu, Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay setuju dengan keputusan DPR. Ia menilai sistem rekapitulasi digital KPU belum teruji. Terlebih sampai saat ini belum ada buku panduan maupun video tutorial penggunaan Sirekap.
“Karena ini sistem yang baru, maka perlu menguji cobanya secara menyeluruh sebelum memutuskan beralih dari manual ke Sirekap di Pemilu mendatang,” kata Hadar dalam wawancara Jumat, 21 November 2020.
Kurangnya sosialisasi penggunaan dan kedudukan Sirekap dalam Pilkada 2020, menurut mantan komisioner KPU ini, berpotensi menimbulkan kekacauan (chaos). Kata dia, petugas pemilihan, kandidat maupun masyarakat perlu tahu bahwa hasil hitung Sirekap berbeda dengan hasil penghitungan manual. Ia tidak ingin, penggunaan teknologi digital malah memunculkan masalah baru seperti polemik penghitungan suara pada Pemilu 2019. Saat itu, data yang terinput dalam sistem informasi penghitungan suara (Situng) diragukan lantaran tidak sesuai dengan hasil rekapitulasi suara konvensional.