Ramai-Ramai Melanggar Protokol Kesehatan

Mengendarai Vanderhall—mobil beroda tiga buatan Amerika Serikat—bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Karawang, Cellica Nurrachadiana dan Aep Saepuloh diarak ratusan simpatisan ketika hendak mendaftar sebagai peserta pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak Desember mendatang. Keduanya tampak mengabaikan protokol kesehatan terkait Covid-19 karena mengumpulkan massa di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Karawang, Jawa Barat pada Jumat, 4 September 2020. Hal itu yang membikin Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian geram. Ia sampai memberi teguran terhadap Bupati Karawang melalui surat yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik atas nama Mendagri Tito Karnavian.

“Hal tersebut bertentangan dengan upaya pemerintah dalam menanggulangi serta memutus mata rantai penularan wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID-19),” kata Mendagri dalam siaran persnya, pada Sabtu, 5 September 2020.

Selain Bupati Karawang, Mendagri juga menegur Bupati Muna Barat, Laode Muhammad Rajiun Tumada, Bupati Muna LM. Rusman Emba, serta Bupati Wakatobi, H. Arhawi. Sedikitnya ada 72 paslon petahana yang mendapat teguran karena melanggar protokol kesehatan Covid-19 ketika melakukan pendaftaran peserta Pilkada pada 4-6 September lalu.

Setali tiga uang, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menemukan 243 kasus pelanggaran protokol kesehatan. Menurut Anggota Bawaslu Jawa Barat, Lolly Suhenti, mayoritas pelanggaran protokol kesehatan terjadi di luar kantor KPU. Selain tidak mengenakan masker, para simpatisan juga tidak menerapkan jarak aman lebih dari satu meter. Padahal, menurut Lolly, pihaknya sudah mengingatkan para kontestan agar mematuhi protokol kesehatan selama melakukan pendaftaran Pilkada 2020.

Asal tahu saja, Bawaslu telah menerbitkan Peraturan Bawaslu nomor 4 tahun 2020 tentang Pengawasan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa. Dalam beleid tersebut, terdapat bab khusus yang mengatur pengawasan pelanggaran protokol kesehatan. Namun, kewenangan Bawaslu hanya dibatasi pada aspek pengawasan.

“Kita berkoordinasi dengan pihak kepolisian karena mereka yang berwenang membubarkan kerumunan,” katanya dalam diskusi Pilkada dan Klaster Baru Covid-19 pada Rabu, 9 September 2020.

Selain mengawasi, Bawaslu juga melakukan sosialisasi protokol Covid-19. Di Jawa Barat saja, 1210 pengawas partisipatif dikerahkan untuk melakukan hal tersebut.

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi pun menyesalkan kerumunan orang sepanjang pendaftaran kepala daerah lalu. Padahal, menurutnya, pihaknya sudah menerbitkan PKPU Nomor 10 Tahun 2020 terkait pelaksanaan pilkada di masa pademi. Dalam Pasal 49 dan 50, KPU hanya memperkenankan bakal pasangan calon, pengurus inti partai dan liaison officer (LO) kandidat yang melakukan pendaftaran. Sementara para simpatisan dapat memanfaatkan siaran langsung melalui kanal media sosial KPU di pelbagai daerah.

“Seluruh pelaksanaan kita mengacu pada standar pencegahan dan penularan Covid-19,” katanya.

Mengingat banyaknya pelanggaran protokol kesehatan lalu, Dewa mewanti-wanti kontestan agar tidak mengulangi pelanggaran pada masa kampanye nanti. Kampanye tatap muka seperti dialog terbatas hanya dapat dilakukan maksimal 50 orang. Sementara rapat umum hanya bisa dihadiri tidak lebih 100 orang dengan protokol kesehatan. Saat ini, menurutnya, KPU tengah merevisi aturan kampanye agar para kandidat dapat memaksimalkan kampanye daring maupun melalui media sosial.

Pada Pilkada serentak Desember 2020, KPU menerima 735 surat pendaftaran bakal pasangan calon. Dari jumlah tersebut, 60 orang dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan pemeriksaan usap (swab test). Bahkan satu paslon di Sidoarjo diketahui mendaftarkan diri secara langsung, meski dinyatakan Positif Covid-19. Dewa berharap para paslon, partai politik maupun simpatisan punya kesadaran tentang bahaya penularan Covid-19.

“Covid-19 tidak akan menggugurkan bakal pasangan calon dan pasangan calon. Tetapi situasi pandemi akan menyebabkan ada jadwal yang tidak bisa diikuti paslon (positif),” katanya.

Para kandidat yang terbukti positif pada saat pendaftaran diwajibkan untuk melakukan karantina mandiri hingga diagnosa tes usapnya negatif. KPU akan melakukan penjadwalan ulang terhadap mereka yang belum dapat mengikuti tahapan lanjutan, seperti pemeriksaan kesehatan.

Minim Mitigasi Risiko

Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Aditya Perdana menyatakan bahwa gelaran pilkada di tengah pandemi sangat berisiko. Tahapan pendaftaran pasangan bakal calon menjadi bukti sulitnya menerapkan protokol pada massa politik. Selain itu, pemerintah, KPU, Bawaslu, dan aparat keamanan juga terlihat gagap menghadapi situasi yang harusnya sudah dapat dimitigasi dengan rinci.

“Ini ironi karena pemerintah, DPR, dan penyelenggara memutuskan dengan yakin Pilkada Desember 2020 dapat terwujud dengan protokol kesehatan ketat. Pada kenyataan kita melihat pelanggaran yang dilakukan para peserta terang benderang terutama kerumunan dan arak-arakan,” katanya.

Oleh sebab itu, Aditya menyarankan agar operator pemilu melakukan evaluasi maupun revisi terhadap seluruh panduan pilkada di tengah pandemi. Kata dia, regulasi harus dapat mencegah terjadinya pengumpulan massa yang kemungkinan besar terulang di tahapan pengumuman pasangan calon dan kampanye.

Regulasi juga harus disimulasikan pada setiap tahapan dengan mengundang aparat keamanan, serta satuan tugas pengendalian Covid-19 daerah. Aditya tidak ingin lembaga terkait pemilu justru saling melempar tanggung jawab ketika tidak dapat mengendalikan situasi di lapangan.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Pratama mengusulkan agar regulasi terkait penyelenggaraan pemilu memuat sanksi tegas. Menurutnya, penyelenggaran pemilu perlu mempertimbangkan sanksi berupa diskualifikasi terhadap pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan. Kewenangan untuk menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran protokol kesehatan bisa dilakukan Bawaslu bersama Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu).

“Kita mengapresiasi usulan sanksi berupa penundaan pelantikan yang disampaikan Kemendagri. Tapi itu masalahnya sudah di akhir, sementara yang dibutuhkan sanksi tegas ketika tahapan sedang berjalan supaya ada efek jera bagi yang melanggar,” katanya.

Heroik menambahkan, pemerintah, bersama KPU, Bawaslu maupun DPR harus dapat memastikan protokol kesehatan berjalan pada saat tahapan pilkada. Untuk mengurangi risiko penularan, penyelenggara pemilu perlu memaksimalkan ruang digital. Menurutnya, hal itu tidak mengurangi hak kandidat dalam pilkada 2020.

“Jika Pemerintah, KPU, Bawaslu, dan DPR tidak dapat memastikan protokol kesehatan secara ketat, tidak ada pilihan selain menunda tahapan pilkada dan mengevaluasi ulang protokol kesehatan,” tegasnya.

Kementerian Dalam Negeri mengusulkan penambahan pasal terkait pengerahan massa, konvoi, arak-arakan dan bakti sosial dalam PKPU 10 Tahun 2020. Namun, menurut Kabag Perundang-Undangan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Saydiman Marto, belum ada usulan mengenai penambahan sanksi. Sampai saat ini sanksi yang memenuhi aturan hanya berupa teguran.

“Sanksi awal masih berupa teguran keras. Selanjutnya, jika pelanggaran masih berulang masih dimungkinkan menempuh beragam regulasi,” katanya.

Menyikapi sejumlah persoalan selama pencalonan, Komisi II DPR RI bersama Mendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP telah melakukan rapat kerja pada Kamis 10 September 2020 lalu. Salah satu simpulan rapat yang mengemuka dalam pertemuan tersebut ialah penegakkan disiplin dan penerapan sanksi hukum lebih tegas pada tahapan pilkada. Aturan mengenai sanksi tersebut selambat-lambatnya selesai pada 14 September agar dapat menjamin keselamatan pemilih, kandidat maupun penyelenggara pemungutan suara.

Derita Ganda Perempuan dengan Kusta   

Bercak putih kemerahan sebesar uang koin Rp500 di kedua pipi menjadi awal perubahan dari kehidupan Sri. Sebelas tahun lalu usianya baru 21 tahun. Mula-mula, bercak

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.