Bagaimana Polarisasi Bisa Membunuh Jurnalisme?

Di beberapa negara, ancaman terhadap jurnalisme datang dari pemerintah, aparat hingga pelaku bisnis. Kini ancaman baru datang dari kelompok ekstrem hingga politisi yang sengaja membelah masyarakat untuk merongrong demokrasi lewat media sosial.

Lewat film dokumenter Active Measure yang rilis pada Agustus 2018, sutradara asal Amerika Jack Brian mengungkap tuduhan keterlibatan Rusia dalam kampanye pemenangan Donald Trump di Amerika Serikat pada 2016 lalu. Dimulai pada Pemilu Ukraina tahun 2004, Rusia dianggap memegang kendali dengan menciptakan polarisasi di beberapa negara termasuk Amerika, Estonia hingga Georgia.

Pemimpin Redaksi Malaysiakini.com Steven Gan merujuk film tersebut untuk menggambarkan bagaimana media sosial dimanfaatkan untuk menciptakan polarisasi dalam masyarakat. Pandangan ekstrem dipromosikan kepada kedua kelompok bertentangan melalui media sosial. Tak jarang bercampur dengan informasi bohong.

Menurut Steven, masyarakat yang terpecah sulit melindungi diri mereka dari informasi bohong. Ruang gema (echo chamber) yang menjadi karateristik media sosial memperburuk polarisasi. Media massa tak lagi jadi rujukan informasi terpercaya jika hal yang disuguhkan berbeda dengan kebenaran versi kelompok tertentu.

“Mereka menciptakan kebingungan dalam masyarakat. Masyarakat (yang) bingung adalah awal ketidakpercayaan kepada media,” kata Steven dalam wawancara khusus dengan Jaring.id di sela Konferensi Regional Tantangan Jurnalisme di Era Digital pada Selasa, 6 Agustus 2019 di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan.

Di era digital, Steven menilai ancaman terhadap jurnalisme berasal dari pihak yang sengaja membayar untuk produksi dan penyebaran informasi bohong, pasukan yang dibentuk untuk berkomentar diskriminatif (troll), dan perusahaan teknologi yang mendapat keuntungan besar dari internet.

Hasil survei Edelman Tust Barometer pada 2018 menunjukkan bahwa dari 28 negara yang disurvei, hanya 6 negara yang memiliki tingkat kepercayaan terhadap media massa di atas 50 persen. Sisanya, 22 negara mengalami tingkat kepercayaan terhadap media massa berada di bawah level 50 persen. Di Amerika Serikat, tingkat kepercayaan pada media hanya 42 persen.

Mengubah Model Pemberitaan

Posisi media sosial yang memperburuk polarisasi tidak boleh diulangi media massa. Media perlu meningkatkan perannya dengan menyatukan pihak yang bertentangan. Menurut Steven, caranya dengan memberi ruang kepada kedua kelompok yang bertentangan untuk menyampaikan opini mereka.

“Mungkin mereka tidak setuju, tetapi berikan wadah diskusi dan kita berharap akan tercipta kompromi,” katanya.

Apabila kompromi tidak tercapai setidaknya pembaca tahu ada kelompok lain yang punya pandangan berbeda. Dengan begitu masyarakat yang tidak setuju bisa mengorganisasi dirinya melawan opini berbeda.

Bagi Steven, kemenangan Trump adalah salah satu contoh pengabaian media arus utama Amerika Serikat yang cenderung liberal terhadap kelompok konservatif. Alhasil, kelompok konservatif tak mengacuhkan media arus utama karena bisa mengorganisasi diri dan mendiskusikan isu lewat media sosial.

“Kita tidak boleh mengabaikan mereka karena dengan begitu kita menulis realitas yang salah dan orang tidak tahu keberadaan yang lain,” katanya.

Selain itu, menurutnya, media massa harus terus menyampaikan pesan agar masyarakat mengecek setiap informasi yang diterima. Memeriksa kredibilitas sumber, memastikan alamat laman yang dicantumkan, dan tanggal penerbitan adalah hal paling sederhana yang bisa dilakukan.

Di beberapa negara, sekelompok jurnalis melakukan pengecekan kebenaran informasi yang dibantu Google. Laman yang tidak kredibel bisa digugat bahkan ditutup.

“Ini juga pelajaran yang kita terima sebagai jurnalis melakukan verifikasi dan mengecek sumbernya apakah kredibel atau tidak,” katanya.

Lebih Banyak Jurnalisme

Jurnalisme diperlukan karena demokrasi yang bagus mensyaratkan penentuan pilihan berdasarkan informasi yang ia terima. Hal itu terwujud apabila tersedia sumber terpercaya, faktual dan akurat.

Berbagai model jurnalisme menurut Steven penting dicoba. Jurnalis harus meningkatkan kemampuannya dengan menguasai data dan teknologi seperti belajar pengodean (coding), membuat grafis dan membuat peta.

“Tampak lebih sulit bagi jurnalis, tetapi kita tidak punya pilihan,” katanya.

Diperlukan liputan-liputan investigasi mengungkap cerita serupa Active Measure lain di berbagai negara. Organisasi media di berbagai belahan dunia harus bekerja sama agar media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Twitter dan Instagram bertanggung jawab menjamin platform mereka tidak diekspoitasi kelompok anti demokrasi.

“Sayangnya, diktator dan demagog hari ini menemukan cara mudah membunuh demokrasi. Mereka melakukannya dengan pertama sekali membunuh jurnalisme. Ini mengapa kita harus berkomitmen terhadap peran jurnalisme. Untuk demokrasi sebaiknya lebih banyak jurnalisme, bukan lebih sedikit,” katanya.

Derita Ganda Perempuan dengan Kusta   

Bercak putih kemerahan sebesar uang koin Rp500 di kedua pipi menjadi awal perubahan dari kehidupan Sri. Sebelas tahun lalu usianya baru 21 tahun. Mula-mula, bercak

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.