Beragam masalah muncul saat dan selepas pemungutan suara Pemilihan Umum 2019. Mulai dari ketidaksiapan logistik di beberapa TPS hingga jatuhnya korban jiwa. Usulan merevisi aturan bermunculan sebagai respons.
Di tengah saling klaim kemenangan antara dua pasang calon presiden dan wakil presiden, jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang tewas dan sakit terus bertambah. Hingga Selasa, 30 April 2019 pukul 08.00 WIB tercatat 318 petugas KPPS meninggal dunia dan 2232 lainnya jatuh sakit.
Merespons hal tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia mengusulkan pemberian santunan sebesar Rp30-36 juta per orang bagi petugas KPPS yang meninggal. Usulan tersebut disambut Kementerian Keuangan dengan mengeluarkan surat bernomor S-316/Mk.02/2019.
Beleid yang diteken Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indarwati pada 25 April 2019 tersebut menetapkan santunan Rp 36 juta per orang untuk korban meninggal. Adapun korban cacat permanen mendapatkan santunan Rp 30,8 juta per orang, Rp 16,5 juta per orang untuk luka berat, dan Rp 8,25 juta per orang untuk luka sedang.
Rumitnya sistem penghitungan suara dituding jadi salah satu biang keladi jatuhnya korban. Tumpukan formulir harus disalin secara manual sehingga petugas KPPS mesti bekerja hingga lewat tengah malam.
“Bagian paling menyulitkan itu di sistem pelaporannya dan banyaknya formulir yang harus diisi,” ujar Farid Abdurrahman, Ketua KPPS TPS 42 Pasir Gunung Selatan, Kota Depok kepada Jaring.id, Kamis, 24 April 2019.
Komisioner KPU RI, Evi Novida Ginting menyebut rumitnya sistem pemungutan dan penghitungan tak bisa dihindari. Pasalnya, sistem proporsional terbuka membuat pemilih bebas mencoblos nama calon legislatif yang diusung partai. Padahal setiap partai bisa mengusung hingga dua belas nama calon.
Honor
Penerapan pemilu serentak bermula dari gugatan yang dimohonkan Effendi Gazali dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak. Mereka melihat beberapa masalah dalam pemisahan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) seperti kecenderungan partai mengutamakan koalisi taktis dan sesaat ketimbang strategis dan jangka panjang.
Selain itu, pemisahan pemilu juga dianggap tak senafas dengan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “… yang dimaksud pemilu itu adalah pemilu untuk DPR, pemilu untuk DPD, pemilu untuk presiden dan wakil presiden, dan DPRD. Pasal ini dimaknai pemilu sebagai satu rezim dengan lima kotak.
Gugatan tersebut dikabulkan Mahkamah Konstitusi pada Januari 2014 Lalu. Namun, putusan tersebut baru bisa dilaksanakan pada Pemilu 2019 karena tahapan Pemilu 2014 kadung dimulai.
Efisiensi anggaran juga menjadi salah satu alasan penyelengaraan pemilu serentak. Anggota KPU RI 2012-2017 Sigit Pamungkas, sebagaimana diberitakan kompas.com, menyebut anggaran bisa dihemat dengan menyatukan beberapa postur anggaran dapat disatukan. Salah satunya adalah honor anggota KPPS yang porsinya 60 persen dari total anggaran.
Besaran honor KPPS pada Pemilu 2019 ditetapkan melalui Surat Menteri Keuangan nomor S-118/MK.02/2016. Honor Ketua dan anggota KPPS hanya dinaikkan Rp150 ribu per orang dari nilai yang mereka terima saat Pemilu 2014.
Ketua KPPS mendapatkan honor sebesar Rp550 ribu pada Pemilu 2019. Adapun anggota KPPS dan tenaga pengamanan TPS masing-masing mendapatkan Rp500 ribu dan Rp400 ribu. Tak ada insentif lain dan dibebani potongan pajak 3 persen.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar menyebut jumlah petugas KPPS mencapai 8,3 juta jiwa, naik dua kali lipat dibandingkan dengan Pemilu 2014. Dengan kondisi tersebut, menurutnya, mencari orang dengan sistem kerelawanan bukan perkara mudah. Walhasil, proses perekrutan tidak mempertimbangkan kompetensi dan kondisi kesehatan.
Bahtiar menyebut bahwa Kemendagri sempat mengusulkan Pemilu Legislatif dilakukan dengan sistem terbuka tertutup saat proses legislasi UU Pemilu di Senayan. Kerumitan pemungutan dan penghitungan suara bisa diminimalisir karena pemilih dan penyelenggara Pemilu tidak dihadapkan pada banyaknya daftar calon.
Surat suara akan berisi gambar partai sehingga memudahkan teknis pemilih dan penyelenggara melakukan penghitungan suara. Selanjutnya, partai akan mengutus kadernya sesuai dengan daftar calon yang dibuka ke publik.
“Hanya saja DPR belum mengiyakan. Dianggap ada oligarki partai, orang hanya mencoblos gambar seperti mengambil kucing dalam karung,” katanya.
Usulan Revisi
Ketok palu UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu menjadi perhatian Nikmatul Huda, Ahli Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Pengesahan UU Pemilu tersebut dilakukan sehari sebelum tahapan pemilu dimulai pada 17 Agustus 2017. Akibatnya, KPU dan masyarakat sipil sulit mengkritisi pasal-pasal yang digodok DPR bersama pemerintah.
“Penyelenggara tidak dilibatkan. Tahu-tahu pembahasan UU molor terus karena tarik-menarik kepentingan di DPR, lalu disahkan menjelang pemilu,” katanya saat dihubungi Jaring.id, Selasa, 23 April 2019.
Walhasil, Pemilu 2019 dinilainya menuai banyak masalah. Mulai dari panjangnya masa kampanye hingga distribusi logistik yang tak merata. Nikmatul menyarankan agar UU Pemilu direvisi, utamanya terkait pemilihan serentak. Pemisahan antara pemilihan serentak nasional dan daerah, menurutnya, perlu dilakukan agar penyelenggara pemilu bisa melakukan evaluasi di tengah proses pemilihan.
Sementara itu, Komisioner KPU 2012-2017 Hadar Nafis Gumay mengingatkan agar KPU membedah persoalan secara rinci sebelum wacana pengubahan sistem Pemilu bergulir lebih jauh.
“Sebelum sampai sana, kita lihat dulu detail practical-nya apakah sudah beres? Karena kalau kita ubah sistem pun, jika penyelenggara (KPU) tidak mempersiapkan pasukannya dengan baik akan sama saja,” katanya. (Debora Blandina Sinambela/Abdus Somad)