Hari “Right To Know” (Hak untuk Tahu) se-Dunia yang jatuh pada 28 September kemarin, menjadi refleksi buruknya pelayanan informasi di Indonesia. Enam tahun disahkannya Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan dibentuknya Komisi Informasi (KI) ternyata belum membawa kemajuan signifikan dalam pelayanan informasi.
Pernyataan sikap ini disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) di Cikini, Rabu, 28 September 2016. Desiana Samosir dari Indonesia Parliamentary Center mengatakan terganjalnya pelayanan informasi karena infrastruktur keterbukaan informasi belum sepenuhnya berjalan.
Infrastruktur itu seperti adanya pejabat pengelola informasi dan dokumentasi, adanya SOP pelayanan informasi, daftar informasi publik yang dibuka secara berkala serta hadirnya Komisi Informasi. Namun hingga Agustus 2016, masih ada provinsi yang belum membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan Komisi Informasi.
“Itu hal dasar yang disyaratkan UU KIP. Namun sekarang sudah tahun ke enam UU berjalan, belum juga terbentuk,” kata Desi.
Data yang dihimpun FOINI, dua provinsi, yaitu Maluku Utara dan Kalimantan Utara, belum membentuk PPID. Sebanyak 131 Kabupaten belum membentuk PPID dari 416 Kabupaten, dan 13 kota belum membentuk PPID dari 98 kota. Di lima provinsi, komisi informasi juga belum dibentuk.
Demikian halnya dengan penyusunan daftar informasi publik yang merupakan fase penting untuk menentukan informasi mana saja yang dikecualikan dan informasi mana yang dapat diberikan pada publik. Di antara daerah dan lembaga yang telah memiliki PPID, proses ini tidak berjalan maksimal.
Misalnya di tingkat kementerian, 34 kementerian sudah punya PPID. Tetapi kehadiran PPID tidak menjamin kemudahan masyarakat untuk mendapat informasi. Kementerian Lingkungan Hidup paling banyak dipersoalkan mengenai ini. Data-data seperti perizinan dan AMDAL masih sulit didapat.
“Di sisi lain, persoalan kearsipan juga masih kendala. Mendokumentasikan arsip dalam bentuk digital belum menjadi budaya. Sehingga sangat bergantung pada dokumentasi atau pengarsipan konvensional,” kata Desi.
Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Dessy Eko Prayitno menyampaikan semangat keterbukaan informasi yang didorong lewat UU KIP juga terhalang regulasi pemerintah. Misalnya, Kementerian Sekretaris Negara menerbitkan Peraturan No 2 Tahun 2016 di mana aturan ini memungkinkan arsip biasa dan terbatas dapat ditetapkan sebagai arsip rahasia.
Implementasi UU KIP semestinya harmonis dengan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan yang diterbitkan pemerintah. Secara tidak langsung, hal ini akan mempengaruhi pandangan dunia internasional terhadap gerakan antikorupsi dan transparansi. Hal ini bisa dilihat dari indeks persepsi korupsi Indonesia yang stagnan di angka 0,1 – 0,2.
Menurunnya Kinerja Komisi Informasi
Konflik internal yang terjadi setahun belakangan di tubuh Komisi Informasi Pusat (KIP) membuat kinerja mereka memburuk. KIP yang diharapkan sebagai garda terdepan mengawal implementasi UU KIP, justru tidak bekerja maksimal membantu masyarakat mendapatkan informasi.
Dari sekitar 1000 sengketa informasi yang didaftarkan kepada KIP, hanya 400 sengketa yang memiliki salinan. Informasi jumlah sengketa yang diterima dan jumlah putusan juga berbeda. Jumlah file yang dimiliki dan berkas yang ada juga berbeda.
Dari ribuan sengketa yang masuk ke KIP, hanya satu mediasi dan satu ajudikasi yang bisa diputuskan sejak Januari-Juli 2016.
“Interest publik banyak, tetapi kasus-kasus yang tidak tertangani akan membuat publik malas mengajukan sengketa ke Komisi Informasi,” kata Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto.
Kondisi ini dikhawatirkan menjadi contoh buruk bagi Komisi Informasi di daerah. Agus mengatakan jika kondisi KIP tidak membaik, sebaiknya Komisi I DPR RI mempercepat seleksi komisioner.
Lambatnya penanganan sengketa informasi juga terjadi di daerah. Kasus yang diselesaikan lewat dari 100 hari kerja masih di atas 50 persen. Artinya, masyarakat yang membutuhkan data cepat belum bisa terpenuhi.
“Padahal bagaimana kalau data yang diminta urgen, dengan kinerja Komisi Informasi begitu masyarakat akan malas mengajukan sengketa,” ujarnya.
Tak hanya itu, tren sengketa seharusnya tidak lagi berkutat di data yang wajib dibuka kepada publik. Tetapi dari ribuan sengketa yang masuk sebagian besar masih mempersoalkan data yang seharusnya dibuka.
“Ukuran keberhasilan komisi informasi bukan dilihat dari banyaknya sengketa yang masuk, tetapi berapa banyak informasi yang diterima masyarakat tanpa adanya hambatan,” ujar Agus.
Pegiat PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) Rohmad Munawir berharap kondisi informasi di daerah tidak semakin memburuk dan menular kepada Komisi Informasi di daerah lain. Di Gorontalo misalnya, Komisi Informasi diangkat secara sepihak oleh kepala daerah tanpa melalui proses seleksi.
Meski demikian ada juga Komisi Informasi daerah yang kinerjanya patut dicontoh. Misalnya dari sisi sengketa yang diajukan, Komisi Informasi Aceh banyak menerima sengketa yang substansi seperti izin-izin pertambangan. Komisi Informasi Jawa Timur juga punya inisiatif menerjemahkan UU Desa ke dalam format yang mudah dipahami masyarakat.
Selain itu, mereka juga berinisiatif membuat kebijakan untuk sengketa yang sama dengan sengketa yang pernah diputus, maka diterapkan putusan yang sama tanpa harus mengulang proses sengketa. Dengan begitu, proses sengketa akan berjalan cepat.
“Seharusnya ini yang dilakukan oleh KIP, tetapi mereka masih sibuk dengan masalah internal,” kata Rohmad. (Debora B. Sinambela)