“Momen Krusial”: Wahyu Dhyatmika soal Meningkatnya Ancaman dan Kemunduran Bisnis yang Dihadapi Jurnalisme Independen di Indonesia

Menyatakan bahwa kondisi media di Indonesia saat ini berada di bawah tekanan adalah sebuah pernyataan yang meremehkan. Menurunnya kebebasan pers dalam beberapa tahun terakhir, yang ditandai dengan meningkatnya ancaman dan kekerasan terhadap jurnalis, serta pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang berdampak pada ribuan pekerja media, telah mengejutkan dunia pers Indonesia.

Namun, bagi seorang jurnalis berpengalaman seperti Wahyu Dhyatmika, situasi yang penuh tantangan ini merupakan sebuah peringatan bagi media di Indonesia untuk kembali ke khittahnya untuk melayani publik. Wahyu, yang ditunjuk sebagai CEO Tempo Digital pada tahun 2021, percaya bahwa pasti ada hal positif di balik badai yang menghantam pers di Indonesia.

 

GIJN: Survei Dewan Pers Indonesia menyebut adanya tren penurunan indeks kebebasan pers selama dua tahun terakhir. Reporters Without Borders (RSF) juga menyoroti pola yang sama mengkhawatirkannya sejak tahun 2023. Bagaimana Anda melihat kebebasan pers di Indonesia saat ini? 

Wahyu Dhyatmika: Saya cenderung setuju dengan kedua indeks tersebut. Menurut saya, indikator terbaik untuk menilai bagaimana kondisi kebebasan pers telah menurun adalah peningkatan jumlah kasus kekerasan atau serangan pelecehan daring terhadap jurnalis dalam beberapa tahun terakhir

Indeks Kebebasan Pers Global RSF 2025 menurunkan peringkat Indonesia 16 peringkat dari tahun sebelumnya dan memasukkannya ke dalam kategori “sulit”. Gambar: Tangkapan layar, RSF

Karena sekarang mengurusi aspek bisnis, saya juga bisa menilai bagaimana ekosistem saat ini tidak benar-benar diatur untuk memastikan bahwa media massa memiliki kebebasan yang dibutuhkan. Sebagai contoh, saya sering membicarakan masalah ini, bagaimana model bisnis media di Indonesia tidak benar-benar sejalan dengan kebutuhan untuk bebas mengkritik pemerintah dan mengekspos kesalahan pejabat publik. Pasalnya, sebagian besar media bergantung pada (iklan) pemerintah agar bisnis mereka berkelanjutan (dengan mendapatkan pendapatan) dari iklan lokal. Tanpa adanya perubahan pada model bisnis, tanpa adanya perubahan pada ekosistem, kebebasan pers akan terus memburuk.

 

GIJN: Selain itu, apa faktor terbesar yang berkontribusi terhadap tren penurunan kebebasan pers di Indonesia?

WD: Saya pikir semua faktor itu saling terkait. Mengapa ada lebih banyak kekerasan terhadap jurnalis? Karena kurang adanya komitmen dari pemilik media atau perusahaan media untuk melindungi jurnalis mereka. Mereka cenderung mencari solusi yang lebih informal, seperti mencoba mendamaikan kasus dengan menuntut permintaan maaf alih-alih membawa kasus tersebut ke pengadilan. Jadi, tidak ada mekanisme hukum untuk memastikan hal ini tidak akan terjadi lagi.

Ada korelasi antara kurangnya media independen di Indonesia dengan menurunnya kebebasan pers. Kurangnya media independen di Indonesia disebabkan oleh krisis model bisnis, ketergantungan media pada satu sumber pemasukan, yaitu pemerintah.

 

GIJN: Dalam wawancara sebelumnya dengan GIJN, Anda menyebutkan bahwa salah satu tantangan dalam melakukan jurnalisme investigasi di Indonesia adalah mendapatkan data dan dokumen publik dari sumber-sumber resmi. Apakah ada kemajuan terkait hal tersebut?

Jurnalis kawakan peraih penghargaan Wahyu Dhyatmika saat ini menjabat sebagai CEO Tempo Digital. Gambar: Screenshot, ICIJ

WD: Ketika Anda bertanya tentang aksesibilitas data, aksesibilitas informasi, saya pikir itu lebih bersifat teknis. Bahkan jika tidak bisa mendapatkan data resmi atau dokumen publik, sebagai jurnalis Anda bisa menyiasatinya. Anda bisa menggunakan jaringan dan bisa meyakinkan orang dalam untuk menjadi whistleblower.

Tiga faktor pertama yang saya sebutkan lebih mendasar. Tanpa salah satunya, Anda tidak bisa bekerja sebagai wartawan investigasi. Untungnya, di Indonesia, kita masih punya dukungan hukum dari undang-undang pers. Namun, terkait independensi dan model bisnis yang tepat, tak semua ruang redaksi memilikinya. Saya bangga mengatakan bahwa Tempo adalah salah satunya dan saya ingin melihat lebih banyak lagi media yang memiliki ketiga faktor tersebut.

 

GIJN: Sejak pemerintahan baru, beberapa kali pekerjaan jurnalis dihalangi. Presiden misalnya, menolak menjawab pertanyaan wartawan. Ada juga ancaman yang dilayangkan kepada wartawan seperti yang terjadi pada Tempo. Menurut Anda, apa yang harus dilakukan oleh wartawan dan media di Indonesia untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut?

WD: Kami telah mencoba beberapa metode yang berbeda sebagai strategi. Kami memulai kolaborasi melalui IndonesiaLeaks beberapa tahun yang lalu dan masih bertahan sampai sekarang. Ada lebih banyak jaringan kolaboratif saat ini jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Hal ini membantu mencegah atau setidaknya mengurangi potensi serangan. Jika melakukannya bersama-sama, maka akan ada lebih banyak mata untuk memeriksa celah-celah potensial, area-area yang mungkin digunakan orang untuk menyerang liputan Anda. Lebih banyak pengacara atau lebih banyak sumber daya juga didapat jika bekerja sama.

Wartawan Tempo menjadi sasaran kampanye intimidasi yang melibatkan pengiriman kepala babi ke kantor berita tersebut sebagai ancaman. Gambar: Tangkapan layar, Tempo

Menurut saya, yang kurang kita lakukan adalah mencoba menggalang dukungan publik untuk para jurnalis. Ketika teror kepala babi terjadi [yang ditujukan kepada wartawan Tempo], kami mendapat banyak dukungan. Kami menerima lebih dari selusin karangan bunga di kantor kami dan meletakkannya di depan kantor untuk menunjukkan bahwa publik mendukung kami. Dukungan tersebut sangat kami hargai karena menunjukkan bahwa kami tidak sendirian. Ini benar-benar memperkuat ruang redaksi, terutama bagi jurnalis yang mendapat ancaman.

Beberapa minggu setelah itu, kami memublikasikan berita perjudian daring dan menyebutkan nama seorang tokoh publik. Kali ini kami mendapat serangan DDoS yang hampir melumpuhkan situs web. Namun, kami tidak mendapatkan perhatian yang sama karena bukan serangan fisik. Lebih sulit bagi orang untuk melihat betapa traumatisnya serangan semacam itu.

 

GIJN: Banyak organisasi berita di Indonesia melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal belakangan ini. Bagaimana situasi ini mempengaruhi (industri) pers Indonesia dan kebebasan pers?

WD: Media sedang menghadapi salah satu kondisi terburuk dari segi bisnis, setelah pandemi. Sejujurnya, pemicu PHK massal ini terkait dengan kebijakan pemerintah mengurangi anggaran belanja media. Ini merupakan peringatan soal perlunya mendiversifikasi sumber pendapatan.

Jika pergi ke kabupaten atau provinsi manapun dan mengunjungi kantor-kantor media, Anda akan menemukan bahwa, menurut saya, rata-rata 80%-90% dari pendapatan mereka bersumber dari pengeluaran pemerintah daerah. Setiap kali mereka mulai mengkritik pemerintah daerah, walikota, bupati, atau gubernur, kontrak mereka akan segera diputus.

Pada dasarnya, Anda tidak bisa membiarkan satu pihak mengatakan,’jika Anda menerima uang iklan dari kami, Anda tidak bisa mengkritik kami.’ Itulah yang pada dasarnya terjadi pada belanja (iklan) pemerintah di Indonesia.

Ada hikmah di balik hilangnya sumber pendapatan semacam itu. Mungkin ini adalah waktu bagi media untuk mulai melakukan jurnalisme dalam arti yang sebenarnya. Ini mungkin merupakan momen menentukan bagi media di Indonesia.

 

GIJN: Anda mengatakan bahwa salah satu masalah yang dihadapi industri media di Indonesia adalah masih sulitnya meraih keuntungan karena kurangnya model bisnis dan diversifikasi pendapatan. Apa yang dilakukan Tempo untuk menghadapi tantangan ini?

WD: Sejak awal, kami menyadari bahwa aset terbesar kami adalah jurnalisme yang kami praktikkan, liputan investigasi, berita-berita keras soal skandal dan hal-hal yang [mengungkap] kesalahan yang merugikan kepentingan publik. Itulah aset Tempo yang paling signifikan.

Secara bertahap, seiring dengan peningkatan teknologi, kami meningkatkan pengalaman pengguna, membangun kapasitas tim teknologi, dan dapat mulai memanen loyalitas tersebut dengan menjadikan langganan sebagai aliran pendapatan. Itulah yang telah dilakukan dalam lima tahun terakhir. Tempo terus membangun bisnis langganannya dan bisnis ini telah berkembang dalam dua tahun terakhir. Kami optimis bisa mencapai 100.000 pelanggan dalam waktu dekat.

Dengan setidaknya 100.000 pelanggan, kami akan dapat secara mandiri mendukung ruang redaksi kami. Dengan jumlah tersebut, Tempo tidak perlu bergantung pada iklan.

 

GIJN: Dengan perusahaan media yang berusaha menekan biaya produksi, apakah jurnalisme investigasi yang dianggap berbiaya tinggi, masih memiliki masa depan di Indonesia?

WD: Biaya tinggi tidak menjadi masalah jika punya pendapatan tinggi. Biaya tinggi hanya menjadi masalah jika tidak bisa memonetisasi, jika tidak memiliki model bisnis untuk mengubah produk menjadi uang. Jadi, itu bukan masalah. Apakah laporan investigasi itu mahal? Ya. Apakah itu membutuhkan banyak waktu? Ya. Butuh waktu lebih lama dari berita-berita lainnya. Namun, begitu memilikinya, begitu mempublikasikan liputan itu, dampak yang ditimbulkannya, lonjakan pelanggan cukup untuk mengimbangi semua waktu, biaya, uang, dan energi yang dicurahkan.

Ada banyak cara untuk membiayai sebuah cerita investigasi. Saat ini, ada banyak hibah tersedia. Media bisa bekerja sama dengan mitra yang tepat untuk mengurangi biaya, bisa berkolaborasi melintasi batas negara. Anda bisa bekerja dengan strategi berbeda apabila tidak memiliki dana yang cukup. Ada banyak cara untuk mengatasinya.

Yang paling penting untuk dimiliki adalah motivasi untuk melayani audiens, publik. Jika tidak ada yang mengawasi kekuasaan, bertindak sebagai mata dan telinga untuk publik, maka masyarakat akan menderita.

Tempo percaya: kami menghasilkan uang dengan menerbitkan berita. Kami mencari uang agar bisa menjaga independensi redaksi dan terus menerbitkan berita-berita investigasi. Itu sebabnya kami harus untung. Kami tidak membuat berita untuk mendapatkan uang, melainkan sebaliknya. Jadi, pola pikirnya harus benar.

 

GIJN: Perkembangan digital telah memaksa jurnalis untuk mengubah cara kerjanya agar tetap relevan. Keterampilan apa yang harus dikuasai oleh jurnalis Indonesia agar dapat bertahan di industri ini?

WD: Kemampuan untuk benar-benar terhubung dengan audiens, untuk benar-benar terlibat dengan audiens dengan menggunakan semua cara yang tersedia di era digital ini. Pasalnya, media tidak lagi menjadi entitas tanpa wajah, sekadar merek. Tempo adalah sebuah merek, sebuah nama, tetapi apa artinya tanpa orang-orang di belakangnya?

Jadi, kami perlu menempatkan wajah-wajah dalam cerita. Itulah sebabnya ketika membuat podcast Bocor Alus, kami mendapatkan banyak umpan balik positif. Orang-orang akhirnya bisa terhubung dengan kami dan bisa melihat wajah-wajah di balik Tempo. Hal itu menarik banyak orang muda, Gen Z, Milenial, audiens yang lebih muda.

Tempo tidak dilihat sebagai merek warisan, sebagai majalah tua yang hanya dibaca oleh ayah dan orang tua mereka. Mereka bisa melihat bahwa Tempo juga ada di media sosial, ada bersama kami dalam setiap cerita. Bocor Alus adalah sebuah inovasi yang lahir dari ruang redaksi karena kami membebaskan para reporter dan editor untuk bereksperimen.

Para jurnalis di Bandung melakukan unjuk rasa pada 2024 menentang usulan perubahan undang-undang pers di Indonesia. Gambar: Shutterstock

 

GIJN: Dengan meningkatnya ancaman dan kekerasan terhadap jurnalis, apa kiat bagi jurnalis Indonesia ketika hendak melakukan liputan investigasi?

WD: Ancaman dan kekerasan bisa terjadi dalam berbagai macam situasi. Sebagian besar kasus yang kita lihat akhir-akhir ini terjadi selama protes publik.

Namun, jika menginvestigasi seseorang atau sebuah kasus, ada banyak perencanaan diperlukan untuk memastikan keamanan. Komunikasi dengan editor dan kolega di lapangan itu penting, sepenting mengetahui siapa yang memiliki motif untuk mencelakakan Anda. Jadi, melakukan penilaian mitigasi risiko itu sangat penting.

Ada banyak modul pelatihan, [seperti yang] ada di GIJN dan juga di asosiasi lokal seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Mereka menyediakan semua informasi yang diperlukan yang mesti diketahui sebelum memublikasikan berita sensitif. Namun menurut saya, keterampilan yang paling penting untuk dimiliki adalah persiapan.

Anda harus selalu berasumsi bahwa liputan yang sensitif pasti disertai beberapa bahaya. Itu bukan asumsi paranoid. Pahami dengan baik pihak dengan risiko terbesar dari liputan yang Anda publikasikan.

 

GIJN: Apa harapan Anda untuk pers Indonesia di masa depan? Apakah berlebihan jika menyebut kalau kondisi pers Indonesia saat ini buruk atau mengerikan?

WD: Kita masih punya harapan bisa melihat kondisi yang lebih baik. Salah satu faktor yang menciptakan situasi ini adalah ketidakmampuan media untuk menemukan model bisnis yang tepat.

Situasi ini diperparah oleh pemotongan anggaran [pemerintah], kebijakan pemerintah untuk mengaitkan iklan dengan kebijakan editorial, sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan oleh pemerintah yang demokratis. Itu adalah kesalahan besar yang dilakukan pemerintah. Namun, media masih bisa bertahan jika memiliki audiens yang setia mendukung.

Audiens akan mendukung jika mereka percaya bahwa media mempraktikkan jurnalisme yang baik. Masalahnya, kami belum melakukan pekerjaan dengan baik dalam beberapa tahun terakhir. Bukan berarti semua media tidak melakukan tugas mereka sebagaimana mestinya. Media menggali kuburan sendiri dengan tidak benar-benar menempatkan kebutuhan audiens sebagai jantung dari aktivitasnya.

Kita membiarkan para manajer bisnis memutuskan model bisnis yang tepat, liputan yang digarap, dan tidak mendengarkan kebutuhan audiens dengan serius. Itu adalah hal pertama yang perlu dibenahi.

Kita perlu sebisa mungkin menghasilkan karya terbaik untuk audiens. Jika mereka mendukung, tidak ada mustahil dilakukan. Ada banyak contoh ketika publik bakal mendukung jurnalis dan media melakukan pekerjaannya dengan baik. Media cenderung lupa bahwa pemangku kepentingan terbesarnya adalah audiens. Kita lupa bahwa kepercayaan mereka harus dijaga.

 


 

Ramadani Saputra memulai karirnya di The Jakarta Post. Setelah itu, ia bekerja sebagai editor di Voice of America hingga awal tahun ini. Lahir dan besar di Bandung, Jawa Barat, ia lulus dari Universitas Pendidikan Indonesia (Universitas Pendidikan Indonesia).

 

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.