Mata Bintatar Sinaga berkaca-kaca saat menceritakan penetapannya sebagai tersangka pencemaran nama pada 3 November 2023 lalu. Pensiunan dosen pidana Universitas Pakuan (UNPAK) Bogor, Jawa Barat ini dijerat pasal berlapis, antara lain Pasal 310, 311, 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Meski begitu, Bintatar mengaku tak pernah menerima surat penetapan tersangka dari Bareskrim Polri hingga saat ini. Penetapan status tersebut didengarnya melalui telepon dari seseorang yang mengaku penyidik Mabes Polri. Lelaki berusia 70 tahun ini kemudian diminta untuk datang ke lantai 15 gedung Bareskrim untuk menjalani pemeriksaan.
Pada Senin, 6 November 2023, Bintatar menyambangi Bareskrim didampingi kuasa hukumnya, Imson Sinaga. Kepada penyidik ia menerangkan ihwal video demonstrasi yang dijadikan barang bukti. Dalam video terlihat Bintatar yang berada persis di depan pengunjukrasa mengungkapkan bahwa Yenti kualat karena telah berbuat tidak baik kepada orangtua. “Saya hanya mengatakan itu. Video itu kemudian viral,” kata Bintatar saat ditemui di rumahnya di wilayah Depok, Jawa Barat, Rabu, 20 Desember 2023.
Bintatar menegaskan tidak pernah merekam, apalagi menyebarkan video unjuk rasa. Karenanya ia menyangsikan dasar hukum polisi menetapkannya sebagai tersangka. “Hentikan ini pak. Ini tak akan masuk 310. Sebab perbuatan yang disangkakan tidak benar dilakukan. Sedangkan saya tidak menunjukkan perbuatan. Hanya mengeluarkan kata-kata, anak kualat. Bagi saya itu tidak termasuk. Percuma ke mana pun dibawa. Saya 40 tahun membina di Pakuan. Saya tahu,” jelas Bintatar ke penyidik.
Menurut Bintatar, penyidik mengakui tidak punya alasan yang cukup untuk meneruskan pemeriksaan. Pun terhadap 14 dosen UNPAK lain. “Jadi mengambanglah sampai satu tahun lebih,” ucapnya. Namun secara tiba-tiba, pada Jumat, 3 November 2023, Bintatar ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan laporan kedua, tanpa pernah diundang diundang terlebih dahulu oleh Bareskrim Polri untuk memberikan klarifikasi.
Penetapan tersangka terhadap Bintatar tak lepas dari pelaporan yang dibuat Yenti pada April 2022 lalu. Saat itu, mantan Ketua Panitia Seleksi Pemilihan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini melaporkan 14 dosen Fakultas Hukum UNPAK ke Bareskrim Polri. Menurut Bintatar, pelaporan belasan dosen diawali keputusan Rektor UNPAK yang mengangkat Yenti sebagai dekan fakultas hukum. Padahal, kata dia, Yenti tidak memenuhi syarat menduduki jabatan tersebut lantaran belum genap lima tahun bekerja di UNPAK. Terhitung baru setahun Yenti berada di UNPAK sejak 2021. “Walaupun tidak memenuhi syarat diangkatlah. Menjabatlah dia sebagai dekan pada 2022. Saya tidak ucapkan selamat atas itu. Saya diam,” ujar Bintatar.
Bintatar menduga pengangkatan Yenti sebagai dekan dipengaruhi oleh popularitasnya sebagai ahli tindak pidana pencucian uang (TPPU) pertama di Indonesia. “Saya tahu dia. Bekas mahasiswa saya, bimbingan saya. Pernah menjadi asisten saya sebelum pindah ke Universitas Trisakti. Saya tahu persis dari A-Z. Ada hal yang kurang berkenan beliau jadi pimpinan. Bukan hanya soal gelar, maupun masalah kepintaran, tapi ini masalah moral” tegasnya.
Salah satu masalah yang membuat Bintatar kecewa adalah ketika Yenti mengambil mata kuliah pidana yang biasa ia emban selama 40 tahun. Padahal, menurutnya, Yenti tak punya pengalaman mengajar mata kuliah tersebut. “Semua orang tahu ahli hukum pidana adalah saya. Saya sudah ke mana-mana jadi saksi ahli. Diambilah mata kuliah yang saya bina,” ujarnya.
“Tapi saat itu saya diam saja. Tidak peduli lagi,” katanya.
Namun amarah Bintatar memuncak ketika mengetahui bahwa Yenti memberhentikannya sebagai pengajar tanpa pemberitahuan pada medio 2022 lalu. “Ini sudah kejam. Apakah karena saya tidak bangga dia jadi dekan?” kata Bintatar.
Hal yang paling membuat Bintatar sulit percaya ialah ketika Yenti mengacak-acak proses kaderisasi pengajar yang telah disiapkan oleh Bintatar di Unpak. Sebelum memasuki masa pensiun, Bintatar telah menyiapkan sejumlah dosen untuk mengajar mata kuliah yang ia emban. Alih-alih memberikan kepercayaan kepada dosen didikan Bintatar, Yenti menyingkirkan dosen didikan Bintatar dengan mengambil pensiunan Kejaksaan Agung yang tidak punya pengalaman mengajar sama sekali. ”Diberikanlah kepada dosen yang dibawa dari luar,” katanya.
Sementara Yenti, kata dia, jarang mengajar karena lebih sibuk mengikuti kegiatan di luar kampus, seperti seminar yang diselenggarakan pemerintah, maupun penegak hukum. “Dia tidak mengajar, tapi mata kuliah diambil banyak. Diberikan kepada asisten dosennya untuk mengajar,” ujarnya.
Oleh sebab itu, sejumlah dosen dan pembantu dekan di Fakultas Hukum Universitas Pakuan sempat mogok mengajar dan melaporkan kinerja Yenti ke pihak rektorat pada Februari 2022. “Tapi tak didengar,” ungkapnya. Menurut Bintatar, rektor menilai keberadaan Yenti bisa menyelamatkan Fakultas Hukum UNPAK. Sementara Bintatar dan rekan kerjanya sebaliknya. “Untuk menyelamatkan, satu-satunya caranya adalah Yenti harus keluar dari Fakultas Hukum. Tidak ada opsi lain,” tegasnya kepada rektor saat itu.
Guna mengurai jalan buntu, pihak Bintatar mengusulkan agar rektorat mendemisionerkan Yenti sembari mencari pengganti dekan sementara. “Opsi itu kemudian diterima. Saat itu, Yenti langsung mengambil barang dan pindah kampus,” jelasnya.
Sebulan setelah unjuk rasa, sebanyak 14 dosen termasuk Bintatar dilaporkan ke Polisi Resort Kota Bogor pada April 2022. Laporan itu, kata Bintatar, sempat ditolak Polresta Bogor dengan alasan masalah internal kampus. Yenti kemudian membawa laporannya ke Bareskrim Mabes Polri. “Yang dilaporkan melakukan penghinaan 310 KUHP dan melanggar UU ITE pasal 27,” ujarnya.
Bintatar menilai penetapannya sebagai tersangka janggal. Sebab pelaporan yang dilakukan November 2023 tersebut baru dilakukan setahun setelah peristiwa, yakni Maret 2022. Sementara untuk delik aduan seperti Pasal 27 UU ITE, kata dia, pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan.
Bintatar juga menyoroti penetapan status tersangka yang dilakukan tanpa diawali proses permintaan keterangan. Hal tersebut dinilai tak sesuai dengan KUHAP. Selain itu, ia menilai kualitas BAP sangat lemah karena memuat pernyataan orang lain. “Yang dipakai dalam kutipan BAP saya merupakan kata-kata orang lain. Nggak ada satupun kata dari saya. Masak kata orang lain yang tanggung jawab saya. Pelapor ini ahli pidana, tapi tidak tahu hukum pidana,” jelasnya.
Oleh sebab itu, Bintatar membawa proses penetapan tersangkanya ke pra peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Desember 2023. Puluhan pengacara yang merupakan mantan mahasiswanya ikut menjadi kuasa hukum. Namun, dari tiga kali sidang, pihak kepolisian sama sekali belum menghadiri persidangan tersebut. “Saya akan bertanggung jawab kalau prosesnya benar. Jika tidak benar saya akan lawan,” ia menegaskan.
Ia berharap hakim praperadilan menerima gugatan yang ia ajukan. Bila tidak, ia khawatir proses hukum di Indonesia hanya akan menjadi alat untuk memenjarakan seseorang. “Yenti sudah mencapai gelar akademik tertinggi, yakni doktor. Tapi saya sangat menyayangkan ia tidak menguasai ajaran dasar pidana. Saya berharap hakim menolak penetapan tersangka saya,” pungkas dia. (Abdus Somad)