Aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Merauke, Papua Selatan selama empat tahun terakhir anjlok. Dari ribuan kapal yang sempat tercatat, saat ini hanya tinggal 900 lebih kapal per September 2022. Kapal yang menguras isi Laut Arafura diduga banyak yang tidak membongkar muatan di PPN Merauke. Kerugian ekonomi diprediksi mencapai puluhan miliar Rupiah.  

***

Matahari mulai tunggang gunung ketika puluhan awak kapal ikan hilir mudik di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Merauke, Papua, Sabtu, 8 Oktober 2022. Masing-masing dari mereka mengisi logistik, antara lain bahan makanan, minuman, dan bahan bakar ke atas kapal. Ada pula yang sedang memperbaiki alat tangkap. Sebagian lagi memeriksa alat komunikasi radio, lampu, dan seluruh bagian kapal dari haluan sampai buritan sebelum satu per satu kapal meninggalkan pelabuhan esok menjelang hari terang tanah.

Di samping dari Merauke, sebagian besar kapal berkapasitas 30 gross tonnage itu berasal dari Sulawesi Selatan dan Maluku. Mereka bersandar di Merauke untuk memburu pelbagai jenis ikan, seperti kakap cina, cumi, udang, dan ikan bandeng. Dari semua komoditas itu, ikan kakap cina menjadi primadona yang bernilai lebih dari sekadar daging. Pasalnya ikan ini memiliki gelembung ikan (fish maw)—salah satu organ pada ikan yang berisi gas seperti oksigen, bernilai jual tinggi. Satu gram gelembung dihargai Rp200-500 ribu.

Di hari yang sama sekitar 700 meter dari PPN terdapat Pelabuhan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut XI Merauke. Saat itu, dua kapal ikan bercat putih hijau tampak bersandar di pinggir dermaga yang terletak di Sungai Maro. Namun, tidak tampak aktivitas bongkar muat. Deru ombak sesekali menghantam kapal itu. Tak tampak ada nomor lambung kapal dan bendera Merah Putih.

Keberadaan kapal nelayan di Lantamal bukan pemandangan baru bagi masyarakat sekitar. Mantan anak buah kapal (ABK), sebut saja namanya Richard (27) menyatakan aktivitas itu sudah berlangsung beberapa tahun ke belakang. Saat bekerja sebagai ABK, ia pernah beberapa kali berlabuh di pelabuhan Lantamal. Hanya saja jumlah kapal yang bersandar sekarang sudah mulai berkurang. “Mereka bisa mendapatkan uang dari kapal. Dulu banyak kapal di situ,” jelasnya saat ditemui di Merauke, Minggu, 10 Oktober 2022.

Pelabuhan Lantamal mengarah langsung ke Laut Arafura. Jaraknya hanya beberapa ratus meter dari pelabuhan perikanan setempat. Dari jalan utama, dua pelabuhan ini terpisah persimpangan jalan. Jalur yang mengarah ke kanan menuju PPN Merauke, sementara kiri ke Lantamal. Sekitar satu kilometer dari persimpangan berdiri gapura bercat biru bertuliskan “Jalesveva Jayamahe.” Sebuah papan peringatan bertuliskan larangan memasuki zona militer bagi yang tidak berkepentingan pun tersemat di sana.

Pada awal Oktober 2022 lalu, Jaring.id mencoba memasuki pelabuhan ini untuk melihat aktivitas kapal di sana. Namun, petugas di Satuan Patroli (Satpar) tak mengizinkan masuk. Sementara pengamatan yang dilakukan dari titik terdekat menuju pelabuhan militer, yakni dari jalan utama PPN Merauke, terlihat lima kapal yang bersandar saat itu. Dua dari lima kapal tersebut lebih mirip kapal ikan ketimbang kapal militer.

Tak jauh dari kapal terdapat sejumlah bangunan. Penelusuran lewat aplikasi peta Google Earth menunjukan bangunan tersebut menyerupai rumah bercat putih abu-abu. Ada pula bangunan berwarna cokelat kayu. Beberapa sumber Jaring.id yang pernah masuk pelabuhan menyebutkan bahwa bangunan tersebut merupakan warung makan dan kopi yang menyediakan pelbagai kebutuhan pelaut. Oleh sebab itu, para ABK yang bersandar tidak lagi perlu keluar pelabuhan.

Meski jumlahnya tidak sebanyak dulu, kapal ikan yang kerap parkir diduga tidak melaporkan hasil tangkapan ke PPN Merauke. Kapal-kapal itu juga disinyalir tak mengantongi izin melakukan penangkapan ikan. Padahal, Peraturan Menteri Nomor 58 Tahun 2020 tentang Usaha Perikanan Tangkap mewajibkan setiap usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan wajib mengurus Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP). “Mereka ada yang tidak memiliki lambung kapal,” ujar sumber Jaring.id saat ditemui, Agustus 2022 lalu.

Kapal nelayan bersandar di sekitar pelabuhan Lantamal XI Merauke, Minggu, 9 Oktober 2022. Foto: Jaring.id
Kapal nelayan bersandar di sekitar pelabuhan Lantamal XI Merauke, Minggu, 9 Oktober 2022. Foto: Jaring.id

Bersandarnya kapal ikan di pelabuhan militer diduga dilakukan untuk menghindari pemeriksaan izin tangkap. Selain itu, pemilik kapal dan nahkoda yang bersandar hendak menghindari pencurian alat navigasi, mesin, dan jaring tangkap. “Untuk keamanan,” ujar sumber tersebut.

Dua sumber Jaring.id, salah satunya dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, menyampaikan hal serupa. Bahkan nelayan yang berlabuh diduga harus merogoh uang Rp500 ribu hingga Rp1 juta. “Ada pungutan liar di sana,” ujar sumber Jaring.id.

Pelabuhan Lantamal XI sebetulnya tidak termasuk pelabuhan resmi pendaratan maupun penyandaran kapal penangkap ikan. Merujuk Pasal 191 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan, hanya ada empat pelabuhan perikanan resmi, yakni Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Dengan begitu, pendaratan ikan di luar pelabuhan berizin bisa tergolong kegiatan perikanan yang tidak sah.

Salah satu kapal yang diduga tidak berlabuh di PPN ialah milik Dovi Gunasih. Berdasarkan penelusuran menggunakan aplikasi Get Contact dan penelusuran media sosial, Dovi adalah anggota TNI AL dari Satuan Patroli Lantamal XI Merauke. Dia juga terlihat aktif membagikan beberapa video dari atas kapal dan menunjukan hasil tangkapan. Aktivitas serupa juga ia bagikan di kanal Youtube Bang Dovi.

Dovi diduga memiliki kapal motor nelayan Baraka Paris. Saat melakukan penelusuran di situs perikanan tangkap tidak ditemukan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) maupun Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Padahal dua syarat itu menjadi dasar kapal perikanan dapat melakukan penangkapan ikan di wilayah laut Indonesia, termasuk Laut Arafura berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 58/Permen-KP/2020 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Pada pasal 130 termaktub bagi yang melanggar akan mendapatkan sanksi berupa pidana.

Belakangan, kapal ikan itu diketahui ditangkap kapal patroli Papua Nugini pada Agustus lalu. KMN Baraka Paris dan KMN Arsyila 77 melakukan penangkapan di wilayah perbatasan Papua Nugini-Indonesia. Sebanyak 13 ABK bersama nahkoda ditangkap dan dibawa ke Port Moresby, Papua Nugini. Sumber Jaring.id di KKP menyebutkan bahwa para ABK tersebut dituntut pidana selama tiga tahun penjara atau denda masing-masing sebesar ratusan juta Rupiah.

Pemerintah Indonesia yang mendengar penangkapan kapal Indonesia tak berizin di Papua Nugini, buru-buru melakukan rapat darurat lewat Zoom pada September 2022 lalu. Turut hadir dalam rapat Kementerian Luar Negeri, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Papua Nugini, Dinas Perikanan Merauke, Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kepolisian Merauke, dan Pengawasan Sumber Kelautan dan Perikanan (PSDKP).

Pertemuan itu membahas jaminan perlindungan dan pendampingan hukum kepada awak kapal yang ditangkap. Selain itu, pemerintah Indonesia meminta pemilik kapal bertanggung jawab atas peristiwa tersebut dengan mengganti kerugian materil maupun nonmaterial dalam proses hukum di pengadilan Papua Nugini.

Kepala Dinas Perikanan Merauke, Leonard Herman Fransiskus Rumbekwan membenarkan isi pertemuan itu. Pemerintah, menurutnya, tidak lepas tangan dengan nasib awak kapal yang ditangkap di luar negeri. “Pemilik kapal mengganti kerugian dan denda yang ditetapkan pengadilan PNG. Satu orang ABK didenda 40.000 kina Papua Nugini,” kata Rumbekwan ditemui di kantornya, Senin, 11 Oktober 2022. Satu kina sekitar Rp4.400. Jadi denda yang harus dibayar masing-masing ABK sekira Rp160 juta.

Sementara itu, Kepala Satuan Kerja PSDKP, Simon Petrus menyebut dua kapal yang ditangkap di Papua Nugini tidak pernah memiliki izin penangkapan ikan. “Tidak pernah mengurus izin sama sekali. Kalau lewat kami pasti ada izin,” kata Simon saat ditemui Senin, 11 Oktober 2022. PSDKP pun menyatakan telah memanggil pemilik kapal. Namun, Simon menyampaikan pemilik kapal menolak karena tidak merasa memiliki kapal yang ditangkap di Papua Nugini.

Saat dikonfirmasi mengenai pemanggilan itu, Dovi membantah sebagai pemilik kapal Baraka Paris. Ia mengaku hanya punya kapal ikan berkapasitas 13 GT. “Saya punya semang saja,” Dovi saat dikonfirmasi melalui telepon, Senin, 17 Oktober 2022. Semang adalah sebutan untuk kapal berkapasitas kecil, 5-15 GT. Kapal itu kerap digunakan Dovi untuk menangkap kakap cina. Sekitar 2021 ia mengakui sempat menyandarkan kapal tersebut di Pelabuhan Lantamal XI.

Dalam kasus penangkapan kapal Baraka Paris, Dovi mengaku hanya meminjamkan alat tangkap jaring yang panjangnya sekitar 60 keping atau sekitar 100-an meter. Kendati demikian, Dovi tidak mau mengungkapkan kepada siapa jaring itu dipinjamkan. “Itu bukan milik saya. Saya meluruskan, saya bukan pemilik kapal,” katanya.

Sejak awal Oktober 2022, kami telah mengajukan surat permintaan konfirmasi kepada Komandan Lantamal XI, Brigjen (Mar) Gatot Mardiyono terkait aktivitas kapal ikan di pelabuhan militer. Namun surat yang disampaikan sempat tak berbalas.

Adapun Komando Armada III Papua tak membantah ada kapal yang pernah bersandar di Pelabuhan Lantamal XI. Kendati demikian, Kepala Dinas Penerangan Koarmada III, Kolonel Laut (KH) Doni Kundrat menyatakan tidak ada lagi kapal ikan yang bersandar di pelabuhan militer. Ia menegaskan larangan bagi anggota yang melakukan bisnis di Lantamal XI. “Faktanya sekarang sudah tidak ada,” ujar Doni saat dihubungi melalui telepon, Senin, 17 Oktober 2022.

“Kalau namanya anggota, (dicek) kapalnya jenisnya apa. Biasanya saudara(nya) punya kapal tapi betul nggak atas nama dia. Kan tentara nggak bisa berbisnis. Kalau ada 30 GT faktanya seperti apa. Harus ada faktanya dulu saja,” ia melanjutkan.

Tak berselang lama, pihak Lantamal XI Merauke menghubungi Jaring.id perihal sejumlah pertanyaan yang telah diajukan. Saat itu, Asisten Operasi Komandan Lantamal XI, Kolonel Achmad Alif meminta agar Jaring.id kembali ke Merauke untuk melihat pelabuhan militer. Ia pun bersedia mengatur pertemuan wawancara tatap muka dengan Komandan Lantamal XI. “Jangan melalui Zoom,” ujarnya dari balik sambungan telepon, Selasa, 18 Oktober 2022.

Pada Jumat, 21 Oktober 2022 kami menemui Brigjen (Mar) Gatot Mardiyono. Dalam pertemuan itu, ia membantah adanya kapal perikanan yang berlabuh selama dirinya menjabat sebagai Komandan Lantamal XI. Hingga hari ini Gatot sudah hampir 1 tahun menjabat komandan sejak 21 Januari 2022. Kendati demikian, ia tak menyangkal pelabuhan militer di Merauke sempat dijadikan sarana berlabuh kapal ikan.

“Masalah kapal di Lantamal sudah tidak ada. Kalaupun ada sebelum saya. Sejak saya menjabat hari pertama tidak ada sama sekali karena ini daerah militer. Kalaupun ada mereka membantu dinas perikanan. Saya pastikan kepemimpinan saya tak ada satupun kapal ikan bersandar di pelabuhan di Lantamal XI,” kata Gatot saat ditemui Jaring.id di kantornya.

Sementara terkait dengan dugaan adanya pungutan liar, lelaki yang pernah menjadi Komandan Detasemen Markas Angkatan Laut akan melakukan pengecekan lebih mendalam. Begitu juga ketika disinggung soal fasilitas berupa warung makan dan kopi di pelabuhan. “Ada Asintel akan didalami kalau betul. Terkait fasilitas ABK tidak benar. Itu hanya ada sandar kapal kita, kapal Lantamal XI. Ada pos untuk anggota jaga kapal tersebut. Anggota kapal kami untuk berjaga. Tidak ada warung,” ujarnya.

Gatot menyatakan tak segan menjatuhi sanksi militer, bahkan pidana kepada anggota militer yang berbisnis perikanan. Pasalnya, kata Gatot, hal itu bertentangan dengan Pasal 39 ayat 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Beleid itu menyebutkan prajurit TNI aktif tidak diperkenankan untuk menjalankan aktivitas bisnis dan tidak boleh menjadi pengusaha. “Masalah anggota punya kapal kita tidak tahu karena itu pribadi. Anggota saya banyak. Itu masalah pribadi selama tidak berbisnis tidak masalah. Kalau dia ikut bisnis tidak boleh,” tegasnya.

Setelah wawancara itu, Jaring.id diperbolehkan mengecek pelabuhan militer. Seorang prajurit dari Dinas Penerangan Lantamal mengawal selama pemantauan. Perjalanan dari Mako Lantamal XI ke dermaga ditempuh selama 7 menit. Lantamal XI melarang untuk mengambil gambar, merekam, dan melakukan wawancara lagi selama meninjau dermaga. Setiba di lokasi, dua kapal nelayan tidak lagi tampak. Hanya dua kapal militer, Kapal Angkatan Laut Mulga dan Digul yang tengah bersandar di dermaga.

 

Di luar Pelabuhan

Pendaratan kapal ikan di luar pelabuhan yang terjadi di Merauke merupakan salah satu modus yang masuk dalam kejahatan perikanan atau IUUF, kependekan dari ilegal, unreported, unregulated, fishing. Selain pendaratan kapal ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat belasan kejahatan IUUF lain, antara lain penangkapan ikan tanpa dokumen pelayanan, modifikasi kapal secara ilegal, pemalsuan dokumen pendaftaran kapal, tidak mengaktifkan transmitter pemantauan kapal, transshipment ilegal, pemalsuan data logbook, penggunaan alat tangkap yang dilarang, dan pelanggaran jalur penangkapan ikan.

Sederet modus kejahatan ini diperoleh KKP setelah menerapkan moratorium kapal asing dan transshipment sejak 2014 lalu. Hingga 2018 sedikitnya ada sekitar 300 penenggelaman kapal yang dilakukan Menteri KKP saat itu, Susi Pudjiastuti. Sedangkan tahun lalu, laporan rekapitulasi pelanggaran perikanan di Indonesia sebanyak 180 lebih kasus. Terdiri dari 119 kasus kapal tanpa dokumen, 32 kasus tidak sesuai surat izin perikanan ikan, menggunakan alat tangkap terlarang sebanyak 24 kasus, 5 kasus transshipment, dan satu pengrusakan terumbu karang.

Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP dalam laporan sementer 1 tahun 2022 melaporkan telah menangkap 83 kapal ikan pelaku IUUF. Dari jumlah itu, 72 kasus paling banyak didominasi oleh kapal berbedera Indonesia. Sisanya dilakukan kapal berbendera Malaysia, Filipina, dan Vietnam.

Pelanggaran ini, menurut Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), terjadi di hampir seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Utamanya di wilayah perikanan yang berbatasan dengan negara lain, seperti Laut Natuna Utara dan Arafura. “Di WPP 718, pada Februari IOJI mendeteksi intrusi puluhan KII (kapal ikan Indonesia) di ZEE Papua New Guinea area Dogleg berdasarkan AIS. KII skala industri tersebut pada umumnya sudah menggunakan AIS dikarenakan kewajiban penggunaan AIS dalam Peraturan Kementerian Perhubungan Nomor 7 tahun 2019,” ungkap Jeremia Humolong, peneliti IOJI, Jumat, 7 Oktober 2022.

Temuan serupa diperoleh lembaga pemerhati penangkapan ikan tak ramah lingkungan, Destructive Fishing Watch (DFW). Riset DFW pada 2021 di Kabupaten Merauke menemukan sedikitnya tujuh modus terkait IUUF, yakni rendahnya jumlah kapal terdaftar, transshipment ilegal, banyaknya pelabuhan tangkahan, minimnya jumlah tenaga, dan sarana/prasarana pengawasan, adanya nelayan andon ilegal, perikanan tangkap yang tidak terlapor, dan adanya praktik pungli yang menggembosi perekonomian di Merauke.

Koordinator Tim Riset, Subhan Usman Riset menjelaskan riset tersebut menggunakan metode wawancara terhadap nelayan dan survei stratified random sampling berdasarkan ukuran kapal di 10 titik pelabuhan tangkahan di Kabupaten Merauke. Kapal yang diambil berukuran 5-30 GT atau kapal-kapal perikanan dengan izin dari pemerintah provinsi yang telah dikelompokan berdasarkan ukurannya.

“Kapal-kapal besar dan penangkap ikan terkadang tidak melaporkan hasil tangkapannya. Proses pendaratan ikan di titik itu dapat dipastikan tidak terlapor,” ujar Subhan pada Sabtu, 10 September 2022.

Dalam kalkulasi DFW, produksi perikanan di Kelurahan Samkai dan Kampung Kumbe, Kabupaten Merauke yang dilaporkan di pelabuhan perikanan seharusnya mencapai Rp51 miliar per tahun. Namun hanya Rp27 miliar yang tercatat dalam laporan Unit Pengolahan Ikan (UPI), pasar lokal, dan dari pengepul. “Itu terjadi karena minimnya tenaga pengawasan, sehingga banyak transaksi ikan tidak tercatat,” ujar Shubhan.

Laporan tahunan KKP tahun 2021 menunjukan penurunan produksi secara drastis di Merauke sepanjang 2018-2020. Penurunan itu berdampak pada penerimaan pendapatan daerah yang memengaruhi pembayaran retribusi pajak perusahaan.

Pada 2018, ikan yang didaratkan di Pelabuhan Merauke mencapai 13 ribu ton dengan nilai produksi mencapai Rp490 miliar. Namun pada 2019 turun menjadi 7 ribu ton atau setara dengan Rp203 miliar. Sementara pada 2020 kian anjlok menjadi 5 ribu ton atau setara dengan nilai produksi Rp178 miliar. Bahkan pada 2021 KKP melaporkan hasil tangkapan hanya mencapai 4,9 ribu ton. Sementara pada 2022 hingga September terus turun menjadi 3,4 ribu ton.

Data tersebut berbanding lurus dengan penurunan jumlah aktivitas bongkar muat kapal ikan di PPN Merauke dari tahun ke tahun. Hingga September 2022, kapal yang bersandar tercatat hanya 929 unit. Jumlah ini menurun 163 kapal dari tahun sebelumnya, sebanyak 1092. Dari data yang kami peroleh, tren penurunan ini terjadi sejak 2020. Saat itu, jumlah kapal yang tercatat anjlok menjadi 1035 unit. Padahal sebelumnya, ada sekitar 1242 kapal yang bersandar pada 2019.

Kondisi itu diakui oleh Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Merauke, Leonard Rumbekwan. “Memang benar ada penurunan produksi,” ujar Rumbekwan. Menurutnya, penurunan produksi bukan saja disebabkan aktivitas kapal ilegal, tetapi juga kapal yang tidak melaporkan hasil tangkapan ke pelabuhan.

Ia juga menyampaikan dampak penurunan itu diperburuk karena pandemi Covid-19. Menurutnya, pagebluk menyebabkan aktivitas pelabuhan tutup karena kapal-kapal tidak banyak yang beroperasi. Selain itu, di zonasi WPP 718 terdapat empat pelabuhan besar, yakni Dobo, Timika, Tual, dan Merauke. Tidak sedikit kapal besar menurunkan tangkapan di tiga pelabuhan selain Merauke.

“Jangankan angka produksi dari angka pendapatan perkapita, kontribusi sektor perikanan terhadap produk regional domestik bruto khususnya di Merauke juga mengalami penurunan yang signifikan,” ujarnya.

 

Untuk menangani illegal fishing, DWF mendorong pemerintah menambah jumlah pengawas, serta memanfaatkan teknologi mutakhir untuk mengawasi praktik perikanan di Laut Arafura. “Dengan memakai satelit seperti yang sudah dilakukan selama ini, dan pemakaian drone untuk pengawasan yang semestinya semakin dimungkinkan di masa depan. Belakangan ini sudah ada wacana untuk memasang kamera di kapal-kapal perikanan,” ujar Subhan.

DWF juga meminta pemerintah menghukum pelaku kejahatan perikanan. Tanpa itu, sulit mencegah praktik penangkapan ikan secara ilegal di WPP 718. “Jadi kami kira dua itu kebutuhan utamanya. Penambahan kekuatan pengawasan dan ketegasan terhadap pelaku usaha yang tidak patuh,” katanya.

Lembaga yang fokus pada perikanan tangkap ini meminta agar KKP berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum untuk menertibkan pelabuhan tidak resmi, serta lokasi titik labuh di Merauke. Hal itu, kata dia, merugikan nelayan karena kehilangan produksi perikanan yang dihasilkan. “Akibat itu juga daerah kehilangan potensi pendapatan baik yang bersifat retribusi maupun penerimaan negara bukan pajak,” katanya.

Hal lain disampaikan Dwi Yoga, Koordinator Nasional untuk The Arafura and Timor Seas Ecosystem Action (ATSEA-2) Project di Indonesia. Menurutnya, registrasi kapal yang beroperasi di Arafura perlu diperkuat. Begitu juga dengan pengumpulan data perikanan di pelabuhan dan sentra perikanan. “Perlu mengimplementasikan rencana aksi daerah, terutama dalam integrasi data pengawasan antar institusi pengawas, sehingga bisa saling memperkuat dan memonitoring satu sama lain,” ungkapnya, Selasa, 25 Oktober 2022.

Guna meningkatkan perekonomian nelayan di Merauke, ia menyarankan agar pemerintah fokus pada pengolahan produk hasil tangkapan. Pasalnya, kata dia, tidak sedikit sumber daya ikan yang terbuang. “Saat ini, penangkapan kakap putih masih didominasi pengambilan gelembung renangnya saja dibandingkan olahan dagingnya yang sebenarnya sangat bernilai di tempat lain,” Dwi menambahkan.

 

Nasib Nelayan

Penurunan sektor perikanan berdampak langsung pada nelayan di Merauke. Induktan (45), salah satunya. Pada Minggu, 9 Oktober lalu sekira Pukul 12.15 Waktu Indonesia Timur, kami menemui Induktan yang tengah menjahit jaring di Kampung Nelayan, Desa Lampu Satu, Samkai, Merauke, Papua. Alat tangkap nelayan itu dibentangkan di atas bambu sepanjang dua meter. Jari-jemarinya lincah menyisir satu per satu lubang. Tiap menemukan lubang menganga ia cekatan merajutnya kembali.

Alat tangkap yang diperbaiki Induk—sapaan akrabnya, adalah alat tangkap ikan bandeng. Kadang alat tangkap itu digunakan untuk menangkap udang. Butuh waktu satu jam bagi Induk untuk bisa menyelesaikan jaring tangkap dengan panjang sepuluh meter tersebut. Jika tidak segera rampung, ia khawatir suaminya tidak akan dapat melaut hari itu. “Harus dijahit terus setiap akan dibawa keluar melaut,” kata Induktan saat ditemui Jaring.id di rumahnya di Merauke.

Induk adalah satu dari banyak nelayan kecil yang mengandalkan hasil tangkapan ikan di WPP 718. Ikan yang dihasilkan dari Laut Arafura dahulu, menurut Induk, berlimpah. Para nelayan hanya perlu menebar jaring untuk menarik bandeng ke atas kapal. Pada 2018, kata Induk, kantungnya bisa terisi Rp500 ribu dari penjualan ikan bandeng seberat 100 kilogram. Saat itu, harga bandeng per kilogram dihargai Rp20 ribu.

Namun sejak 2020, hasil tangkap keluarga nelayan ini jeblok. Menurut Induktan, butuh usaha sampai 5 kali melempar jala untuk menjaring ikan. Itupun tidak beroleh banyak. Paling hanya lima ekor ikan. “Sekarang kadang dapat Rp200 ribu – Rp300 ribu. Nggak cukup buat hidup. Apalagi bensin mahal,” kata Induk.

Induk menduga aktivitas kapal besar di Laut Arafura menjadi sebab perolehannya berkurang. Menurutnya, kapal berukuran 5 GT tidak bisa bersaing dengan kapal penangkap cumi, udang, bandeng berkapasitas 100-200 GT. “Semakin sulit mencari ikan. Ikannya juga kecil-kecil,” ujarnya.

Dari penghasilan itu Induk harus menghidupi keluarga dengan empat anak. Ia harus menyisihkan uang sekitar seperlima dari hasil tangkapan agar dapat membeli kebutuhan pangan. Hari-hari kian sulit ketika suami tidak mendapatkan hasil tangkapan. Berarti ia tidak bisa menyisihkan pendapatan untuk membeli bensin kapal. “Kondisi nelayan susah. Semua biaya naik,” ujarnya.

Tak cukup itu, perempuan yang telah menetap selama 40 tahun di Pantai Lampu Satu ini juga menceritakan kondisi suaminya yang harus melaut lebih jauh dari biasanya. Sebelumnya, para nelayan hanya perlu menempuh sekitar 5 mil untuk memperoleh ikan. Kini perlu menempuh jarak lebih jauh mencapai 10 mil. “Biasa cari ikan di pinggir. Sekarang menjauh cari ikannya,” ujar perempuan asal Maros, Sulawesi Selatan ini.

Kondisi serupa juga dialami oleh Muhyiddin (46). Ia sehari-hari menangkap ikan kakap putih, tenggiri, bandeng, dan gulama dengan kapal 5 GT. Berangkat melaut sekitar pukul lima dini hari, Muhyiddin bisa menghabiskan waktu selama lima hari di atas permukaan laut. Itupun jika ia beruntung memperoleh tangkapan. Jika tak ada hasil, ia harus berada di laut selama satu pekan. “Semakin sulit mencari tangkapan sekarang,” kata Muhyidin saat ditemui di rumahnya di Kampung Buti, Merauke, Minggu, 9 Oktober 2022.

Setiap melaut, tak sedikit kapal-kapal berkapasitas 30-200 GT dijumpai Muhyiddin di tengah laut. Katanya, kapal yang biasa berada di Laut Arafura adalah kapal yang berdomisili dari wilayah Pantai Utara Jawa Tengah, Tanjung Balai Sumatera Selatan, Tanjung Priok, Jakarta, dan wilayah Dobo, Maluku Utara. “Mayoritas merupakan kapal penangkap cumi,” ujarnya.

Malam hari di tengah, menurut Muhyiddin, tak ubahnya pasar malam. Para nelayan sengaja menaruh banyak lampu di atas kapal guna menerangi Laut Arafura. Kapal dengan ciri-ciri itu kebanyakan dimiliki oleh kapal penangkap cumi. Sebab cumi-cumi yang bersifat fototaksis positif sangat tertarik dengan cahaya. “Sejak dicabut itu, mulai beroperasi kapal besar. Akibatnya berdampak pada nelayan kecil,” ujar Muhyidin.

Moratorium penangkapan ikan oleh kapal asing dikeluarkan oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melalui Peraturan Menteri Nomor 56 Tahun 2014 tak berlaku lagi sejak Susi digantikan Edy Prabowo pada 2019.

Pencabutan itu berdampak langsung terhadap hasil tangkap nelayan kecil. Dalam data Statistik Kementerian Perikanan dan Kelautan, izin kapal pada tahun 2020 tercatat meningkat dibandingkan 2019. Di wilayah Maluku saja, izin kapal telah tercapai mencapai 30 ribu, sementara di Jawa Tengah mencapai 79 ribu.

Hal ini membuat banyak nelayan di Kampung Buti lebih memilih untuk menjual perahu dibanding harus kesusahan mendapatkan ikan. “Mereka alih profesi,” ujar Muhyiddin. Ada yang menjadi tukang bangunan ada juga yang menjadi anak buah kapal. “Dulu punya kapal sekarang menjadi ABK. Ikut pemilik kapal,” lanjutnya.

Muhyiddin menjadi salah satu orang yang gantung perahu. Ia tidak lagi melaut karena seret penghasilan. Ia memilih untuk menjadi sopir di Kota Merauke guna mendapatkan penghasilan tetap. Tanpa itu, ia sulit untuk menghidupi keluarga dan empat anaknya. “Saya sudah tidak melaut lagi. Kondisi badan juga sudah menua,” katanya.

Cerita Induktan dan Muhyidin diakui oleh Koperasi Nelayan Seluruh Merauke. Semasa moratorium, tangkapan nelayan diakui baik. Hal itu dilihat dari pendapatan nelayan per melaut bisa memperoleh penghasilan mencapai Rp1-2 miliar ketika mereka menangkap kakap cina dan gelembung ikan. “Nelayan lokal jadi pendapatannya bagus. Peningkatan ekonomi terlihat,” kata Ketua Nelayan Se-Merauke, Bardin saat ditemui Jaring.id, Sabtu, 8 Oktober 2022.

Bardin menyampaikan, selain jumlah kapal yang meningkat di Laut Arafura, aktivitas kapal yang diduga ilegal juga marak di WPP 718. Kapal tersebut didominasi oleh kapal yang berasal di luar Merauke. Penangkapan ilegal itu memperburuk situasi nelayan. “Nelayan Merauke sudah sampai berhutang di bank,” ujar Bardin.

Bardin meminta agar kapal yang beroperasi di WPP 718 diawasi dengan ketat agar hasil tangkapan perikanan Merauke bisa dirasakan kembali oleh nelayan. Menurutnya, pemerintah perlu melakukan pemeriksaan ulang kapal-kapal yang tidak memiliki dokumen. “Ada dampak yang harus ditanggung nelayan,” ujarnya.


Peliputan ini dilakukan Jaring.id sejak awal September 2022. Laporan ini terselenggara berkat dukungan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. 


Penanggung Jawab: Fransisca Ria Susanti
Penulis: Abdus Somad, Ari Bagus Poernomo (Merauke)
Penyunting: Fransisca Ria Susanti, Damar Fery Ardiyan
Foto: Abdus Somad
Infografik: Abdus Somad dan Ahmad Yani Ali

Dirjen PSDKP KKP: Kami Bisa Membaur dengan Pelaku

Berdasarkan indeks risiko IUU Fishing yang dirilis Global Initiative Against Transnational Organized Crime (Gitoc) pada Desember 2023, Indonesia tercatat sebagai negara terburuk keenam dari 152 negara dalam menangani praktik illegal, Uunreported, and unregulated fishing (IUUF).

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.