Kelompok transpuan kerap terpinggirkan dalam setiap pemilihan umum. Tak sedikit dari mereka harus gigit jari lantaran kehilangan hak politik. Mereka menemui berbagai hambatan untuk menyampaikan hak pilih. Hambatan itu sudah dimulai saat mereka kesulitan mendapatkan dokumen kependudukan.
Pada dokumen kependudukan, pembagian gender seorang warga negara hanya membedakan antara laki-laki dan perempuan. Pembagian ini sering kali menjadi kendala bagi kelompok transpuan. Sebab, peran gender mereka nyaris tidak mendapat pengakuan dari masyarakat, baik secara sosial maupun politik.
Ditemui Selasa, 13 September lalu, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Betty Epsilon Idroos mengatakan regulasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebenarnya tidak membedakan-bedakan gender pemilih, selama semua berjalan sesuai dengan ketentuan. “Kami tidak bisa keluar dari koridor yang tertuang dalam aturan,” kata Betty.
Wawancara ini merupakan bagian dari seri liputan khusus Jaring.id dan Koran Tempo tentang transpuan dan politik di Indonesia. Kerja sama peliputan ini terselenggara berkat dukungan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) bersama The Asia-Pacific Regional Support for Elections and Political Transitions (RESPECT). Program kolaborasi ini juga melibatkan Philippines Center for Investigative Journalism (PCIJ) dan Lafaek News (Timor Leste).
Bagaimana pemetaan partisipasi pemilih di kalangan transpuan yang dilakukan KPU?
Transpuan atau transgender itu bagian dari warga negara Indonesia. Sepanjang mereka berusia 17 tahun atau sudah pernah menikah, kami kategorikan sebagai pemilih. Itu dibuktikan dengan KTP elektronik.
Kami tidak ada kendala dalam pemetaan mereka sebagai pemilih sepanjang mempunyai KTP. Sebab, mereka harus memuat 12 elemen yang ada untuk kami kategorisasi sebagai pemilih ketika proses coklit (pencocokan dan penelitian).
Berikutnya, pada proses segmentasi masyarakat yang menjadi sasaran pemilih, satu segmentasi adalah kelompok marginal. Transpuan termasuk bagian yang perlu dilakukan pendekatan. Tujuannya supaya mereka menjadi pemilih yang baik. Selain itu, agar mereka menerima informasi tentang kapan hari pemungutan suara, surat suara seperti apa, serta bagaimana mekanisme mencoblos yang benar agar surat suara berguna. Paling tidak, memenuhi sistem one man, one vote, one value.
Perlu juga dijelaskan kepada mereka tentang kategorisasi, kapan mereka menjadi pemilih tetap, pemilih pindahan, atau pemilih khusus. Berdasarkan pengalaman saya, mereka tetap menjadi bagian segmentasi untuk mendapat sosialisasi dan pendidikan bagi pemilih.
Ada keluhan bahwa mereka masih didiskriminasi, sulit mendapat KTP. Bagaimana cara KPU membantu mereka memenuhi persyaratan untuk menjadi pemilih?
Ketika PPDP (petugas pemutakhiran data pemilih) atau pantarlih melakukan pencocokan dan penelitian di lapangan, ditemukan WNI yang tidak memiliki KTP elektronik tapi sudah merekam, datanya masih bisa ditemukan. Tapi kalau belum pernah merekam, bisa menjadi data balikan. Temuan di lapangan itu akan disampaikan kepada Kementerian Dalam Negeri. Tujuannya agar perekaman terhadap warga negara tersebut bisa dilakukan.
Setahu kami, Kementerian Dalam Negeri mempunyai kegiatan jemput bola jika mereka memiliki data balikan dari lembaga seperti kami, baik dari KPU provinsi maupun KPU kabupaten/kota. Kami bisa support Kemendagri agar merekam data yang bersangkutan supaya nanti bisa datang langsung ke kelurahan atau kantor KPU untuk dibantu, karena proses perekaman itu sangat penting. Sebab, kami sebagai pengguna produk KTP elektronik setiap waktu butuh mensinkronkan data KTP elektronik ini dengan data SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan) yang kami miliki.
Kalau pada hari pencoblosan ada penduduk yang baru tahu bahwa KTP menjadi syarat untuk memilih, sementara mereka tidak mempunyai KTP atau belum pernah merekam data, apakah masih bisa difasilitasi untuk memilih?
KPU dapat bekerja sesuai dengan aturan undang-undang. Pilihan kami, data pemilih ada tiga ketika hari pemungutan suara. Pertama, terdaftar dalam daftar pemilih tetap. Sekarang kan asasnya de jure. Kami mendaftarkan mereka sesuai dengan alamat yang tertera pada KTP elektronik, maka mereka ada dalam daftar pemilih tetap (DPT) kami.
Yang kedua, mereka ada dalam DPT kami, tapi saat pemungutan suara mau daftar pindah memilih, mereka harus mengurus formulir A5 (surat pengantar untuk memilih di tempat lain). Perlakuannya sama dengan DPT. Tapi kalau pemilih yang baru ketahuan pada hari-H dan tidak terdaftar dalam DPT, alat buktinya berdasarkan UU Pemilu adalah hanya menunjukkan identitas sesuai dengan alamat yang tertera di KTP elektronik. Kami tidak bisa keluar dari koridor yang tertuang di dalam aturan. Yang bisa dilakukan sekarang adalah mendorong masyarakat yang belum menjalani perekaman KTP datang ke Ditjen Dukcapil (Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil) untuk menjemput bola agar mau merekam.
Apa saja kendala KPU untuk merangkul kelompok marginal seperti transpuan?
Ini pengalaman kami kalau datang ke mereka. Kan jam kerja mereka berbeda-beda. Kami pernah datang pada akhir pekan dan berkumpul di satu tempat. Kendala yang diutarakan adalah mereka tidak tahu apakah sudah terdaftar (sebagai pemilih) atau belum. Kalau mereka terdaftar, apa hak dan kewajiban mereka sebagai pemilih? Mereka juga ingin tahu siapa saja yang akan dipilih.
Ini kan sebenarnya kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dalam kegiatan pemilu sepanjang masa kampanye. Kampanye kan definisinya menyebarkan visi-misi dan citra diri agar masyarakat mau menggunakan hak pilih, termasuk teman-teman dari kalangan transpuan atau transgender ini.
Nah, ini mereka tidak tahu siapa yang akan dipilih. Yang mereka tahu mungkin hanya pemilihan presiden. Padahal ada pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota—kecuali DKI karena tidak menggelar pemilihan DPRD kabupaten/kota.
Pertanyaan lain yang sering muncul adalah bagaimana cara nyoblos. Kami beri tahu agar surat suara punya nilai. Saya rasa, kendala di lapangan tidak ada soal. Mereka tetap dilayani.
Transpuan khawatir diolok-olok saat datang ke TPS karena penampilannya berbeda. Bagaimana cara KPU memastikan agar TPS bisa ramah bagi semua kalangan?
Ini masukan bagi kami. Jadi, nanti kami koordinasikan. Dalam satu TPS kan ada tujuh KPPS (kelompok penyelenggara pemungutan suara) dan dua petugas keamanan. Ada juga saksi dari partai politik dan pengawas TPS. Sepanjang saya (bertugas) sembilan tahun di DKI Jakarta, belum pernah menemukan (transpuan diperlakukan buruk di TPS). Kalaupun ada, silakan beri tahu tempatnya. Itu akan menjadi perhatian kami dalam melayani pemilih karena sudah tugas kami untuk melayani pemilih.
Apakah ada program khusus untuk memfasilitasi kelompok transpuan agar TPS ramah bagi mereka?
Ada. Kami punya program sosialisasi per segmentasi. Misalnya untuk kelompok perempuan, pemuda, tokoh masyarakat, tokoh agama, atau marginal. Kategorisasi itu menjadi sasaran agar lebih mudah dalam penyampaiannya. Sebab, untuk setiap segmentasi, berbeda cara penyampaian, konten apa yang paling pas, serta kapan bisa dilakukan.
Contohnya, anak muda kan lebih suka sore hari sepulang sekolah. Untuk transpuan dilakukan akhir pekan. Penyampaian (materi sosialisasi) kepada mereka juga berbeda. Karena banyak istilah mereka yang saya juga tidak tahu. Tidak bisa menggunakan bahasa serius, seperti “gunakan hak pilih Anda.” Pendekatan kepada mereka tidak bisa menggunakan bahasa baku. Cara ini sudah dilakukan pada dua pemilu dan pilkada di DKI dalam dua periode terakhir.
Bahkan kami tidak pernah membedakan mereka jika mau mendaftar menjadi penyelenggara pemilu. Asalkan mereka berusia 17 tahun ke atas, tidak pernah ikut partai dalam lima tahun terakhir yang dibuktikan dengan dokumen, serta harus lolos tes. Jadi, tidak ada persoalan kalau mereka mau berpartisipasi menjadi penyelenggara ad hoc yang akan dibuka. Ingin menjadi peserta pemilu juga tidak ada halangan. Saya tidak pernah mendengar (isu tentang transpuan) ini menjadi kasus yang besar.
Untuk mencegah diskriminasi, apakah ada pendidikan kesetaraan gender yang dilakukan KPU kepada petugas-petugas yang berada di TPS?
Bimbingan teknis (bimtek) inklusivitas untuk kelompok ini memang tidak secara khusus diberikan. Kami melayani pemilu dengan prinsip sama rasa dan sama rata. Mereka yang masuk DPT, mulai pukul 07.00 sudah bisa datang. Penyandang disabilitas mendapat perlakukan khusus, seperti untuk penyandang tunanetra, tunagrahita, tunarungu, dan tunawicara. Tapi kalau teman-teman (transpuan) ini kan tidak perlu pendampingan khusus. Yang penting tidak ada yang mengolok-olok. Itu sudah standar.
Isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) turut diperhatikan saat kami memberikan bimtek kepada petugas ad hoc. Sejauh ini, begitu yang kami lakukan. Tapi tidak ada khusus untuk transgender karena kami memandang mereka sama seperti yang lain.
Beberapa daerah memiliki perda yang diskriminatif terhadap kelompok transpuan. Aturan ini membuat transpuan takut mengekspresikan diri, termasuk untuk datang ke TPS. Bagaimana cara mengatasi kendala itu? Sudah punya KTP mau memilih, tapi khawatir terstigma.
Dalam aturan pemilu, tidak ada batasan itu. Kalau ada batasan lain, tidak ada pengaruhnya. Kami akan tetap layani mereka sebagai pemilih. Di TPS, mereka tidak akan ada perbedaan. Kami melayani secara profesional, tidak ada perbedaan gender. Selama punya KTP dan terdaftar sebagai pemilih, Anda berhak memilih pada pukul 07.00-13.00.
Sekarang tinggal meyakinkan mereka. Kalau mereka tidak percaya diri dan takut keluar, PR-nya adalah meyakinkan mereka untuk datang ke TPS dengan senang, bangga, dan bahagia, untuk berpartisipasi. Sebab, dalam bimtek, kami tidak pernah membedakan orang dengan kategorisasi itu. Mereka WNI dan punya hak pilih.
Di sejumlah daerah, transpuan sering dilibatkan oleh partai politik untuk berkampanye. Padahal, di satu sisi, mereka tidak punya akses untuk memilih karena tidak punya KTP. Bagaimana sikap KPU?
Partai berkampanye untuk menyebarkan citra diri serta visi dan misi. Kalau mereka melakukan cara yang kreatif, tentu tidak bisa kami batasi. Mereka bisa menggunakan tokoh masyarakat, artis atau kelompok terkenal, ataupun transpuan sekalipun. Silakan saja. Tugas kami hanya mengatur kampanye, apa yang do dan don’t-nya. Jadi, sah saja yang mereka lakukan.
Ada bimbingan teknis khusus materi gender kepada petugas ad hoc?
Kalau untuk KPU kota/kabupaten dan provinsi, ada isu perempuan dan gender. Sedangkan untuk ad hoc, lebih ke hal teknis di lapangan. Misalnya pemilih yang tidak terdaftar dan mau daftar. Lebih ke hal teknis seperti itu.
Kalau tidak ada KTP tapi punya kartu keluarga, apakah bisa mendaftar sebagai pemilih?
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 disebutkan bahwa pemilih harus berusia 17 tahun ke atas atau sudah pernah menikah dan memiliki KTP elektronik. Kalau mau memilih dan kami punya datanya, sebelum hari-H pemungutan suara atau sebelum menetapkan DPT, itu bisa menjadi data balikan untuk ke Kemendagri.
Pada kartu keluarga kan terdapat nomor induk kependudukan, apakah tetap tidak bisa?
Tetap harus menunjukkan KTP fisik. Contohnya, mereka yang baru 17 tahun tapi belum memegang KTP. Kalau mau memilih, ya, harus mengikuti perekaman data (untuk membuat KTP).
Kami mendapat data bahwa di 21 kota ada 7.000 transpuan, tapi yang mempunyai KTP hanya 675 orang. Bagaimana upaya KPU untuk mempercepat pendataan?
Itu ranah Pak Zudan (Zudan Arif Fakrulloh, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri). Tapi kalau kami dapatkan data itu, pasti kami kasih ke Kemendagri. Misalnya, saat kami coklit DP4 (daftar penduduk potensial pemilih pemilu), ada temuan data pemilih yang sudah meninggal. Itu juga menjadi data balikan yang diserahkan ke Kemendagri agar dikategorikan sebagai orang yang telah meninggal. Sebab, tidak semua orang mengurus akta kematian.
Pada pemilu sebelumnya, pernah terjadi kasus seorang pemilih datang ke TPS tapi tidak bisa mencoblos. Petugas mempersoalkan perbedaan nama dalam DPT dengan nama di KTP. Apakah masih bisa memilih?
Berarti sebenarnya dia tidak terdaftar di DPT. Begini cara kerjanya. Kami dapat formulir DP4 yang kami coklit menjadi DPS. Dari DPS menjadi DPSHP (daftar pemilih sementara hasil perbaikan).
Pada DP4, kami terima data NIK dan 12 elemen lainnya. Kalau dia penyandang disabilitas, ada informasinya. Jadi, kalau nama di e-KTP tidak sesuai dengan DPT, sebenarnya dia tidak terdaftar di TPS itu. Kami sudah punya tools di NIK kami. Silakan cek. Kalau dia mau memilih dengan KTP saja, juga harus dicek dulu. Benar-enggak dia tidak terdaftar? Kalau di-crosscheck tidak terdaftar, bisa jadi data pemilih khusus dan dapat mencoblos pada pukul 12.00-13.00. Syaratnya, hanya bisa memilih di domisili yang tercantum di KTP.
Ada kejadian pemilih tidak punya KTP, tapi dapat undangan memilih dan ikut memilih. Itu bagaimana?
Jadi, surat C6 atau undangan itu hanya untuk mengingatkan bahwa Anda hanya bisa mencoblos di TPS yang sudah ditentukan. Kalau ditemukan (tidak memiliki KTP tapi mendapat undangan), itu merupakan tindak pidana. Itu dimungkinkan terjadi karena KPPS memang penduduk setempat.
Harus diingat bahwa di TPS ada pengawas dan saksi. Kalau ada temuan demikian, itu mengarah ke tindak pidana karena dianggap menggunakan hak suara orang lain.