Ketika menyelidiki disinformasi dan misinformasi, jurnalis berusaha untuk mengidentifikasi aktor yang berada di belakangnya. Namun, itu saja tidak cukup menurut Reporter ProPublica Craig Silverman. Dalam lokakarya bertajuk “Exposing the Roots of Disinformation” di Global Investigative Journalism Conference ke-12, ia menekankan pentingnya menelisik motif penyebaran.
Silverman mengatakan bahwa elemen paling umum dalam penyebaran disinformasi adalah penggunaan konteks yang salah. Caranya dengan mengutip sebuah pernyataan, mengaburkan makna aslinya, lalu menggunakannya kembali untuk tujuan yang berbeda.
“Ingatlah hal tersebut ketika Anda melakukan penyelidikan. Pasalnya, jika hanya mencari informasi yang sepenuhnya salah atau mencari artikel ngawur yang diklaim sebagai berita, Anda bakal kehilangan sebagian besar aspek disinformasi,” terangnya.
Dalam lokakarya yang sama, Jane Lytvynenko, menyebut kalau disinformasi sering kali diluncurkan secara strategis. Mulai dari tahap perencanaan, penyebaran di media sosial, hingga (mungkin) ditanggapi oleh oleh reporter, direncanakan secara matang.
“Dan tentu saja, banyak disinformasi tidak lekas hilang hanya karena kami membongkarnya. Sebaliknya, mereka menyesuaikan diri,” ujar perempuan yang merupakan Senior Research Fellow di Shorenstein Center on Media, Politics and Public Policy tersebut.
Silverman dan Lytvynenko menawarkan sejumlah kiat dan perangkat yang bisa digunakan reporter untuk menyelidiki disinformasi dan misinformasi.
Foto dan video
Ketika menyelidiki disinformasi dan misinformasi dalam sebuah foto atau video, reporter mesti mengajukan beberapa pertanyaan awal: apakah video atau foto tersebut asli? Siapa yang menjepret atau merekamnya dan kapan itu dilakukan? Dan terakhir, dimana foto atau video tersebut diambil?
Untuk menyelidiki foto, Lytvynenko dan Silverman merekomendasikan WeVerify. Ekstensi ini bisa dipasang di Chrome dan dipakai untuk menelusuri foto di berbagai mesin pencari seperti TinEye, Bing, dan Yandex. Pengguna juga bisa mencari bagian tertentu dari gambar. Secara khusus, Yandex memiliki kemampuan pengenalan wajah, meskipun hasil pencariannya masih memerlukan verifikasi tambahan.
“Salah satu hal utama saat melakukan pencarian gambar adalah melampaui penggunaan Google. Hal tersebut dimungkinkan dengan penggunaan ekstensi WeVerify,” kata Lytvynenko.
Media sosial
Saat membongkar disinformasi, media sosial adalah tempat yang baik untuk memulai. Reporter bisa menyelidiki akun media sosial pengunggah atau penyebarnya dengan berbagai cara. Pertama, periksa apakah itu akun terverifikasi. Setelah itu, ajukan beberapa pertanyaan:
- Apakah akun itu benar-benar dimiliki oleh orang yang mengaku memilikinya?
- Kapan akun tersebut dibuat?
- Apakah pemilik akun menyebutkan tempat tinggalnya? Jika iya, di mana?
Lalu, lakukan pemeriksaan latar belakang secara mendetail dengan mengajukan beberapa pertanyaan berikut ini:
- Dengan siapa akun tersebut berteman?
- Dengan siapa akun tersebut secara teratur berbicara, berbagi, saling menyukai unggahan, dan bagaimana polanya?
- Apakah akun tersebut mengunggah konten secara teratur?
- Adakah topik tertentu yang kerap mereka unggah?
“Adakalanya terdapat ketidaksesuaian antara identitas akun dengan jenis konten yang mereka unggah. Hal itu mesti Anda perhatikan,” terang Silverman.
Untuk menyelidiki disinformasi dan misinformasi di Twitter, ia merekomendasikan penggunaan Twitonomy. Perangkat ini berguna untuk melakukan analisis terperinci yang disajikan secara visual.
“Perangkat ini memberi tahu Anda seberapa sering sebuah akun media sosial mencuit, kapan ia mencuit, akun siapa yang dikomentarnyai, dan akun siapa yang dia retweet. Ada juga informasi mengenai kapan mereka mencuit dan hal itu bisa membantu Anda mengetahui di zona waktu mana mereka berada,” tambahnya.
Aplikasi obrolan
Beberapa aplikasi obrolan biasanya digunakan untuk menyebarkan informasi yang salah. Namun, menyelidiki disinformasi dan misinformasi yang tersebar di platform tersebut, memilki batasnya.
“Aplikasi obrolan sangat berbeda dari profil Twitter publik atau profil Facebook publik yang memungkinkan seseorang secara sadar menyebarkan informasi ke publik. Platform ini lebih privat dan Anda harus berhati-hati saat meliputnya,” jelas Lytvynenko.
Salah satu cara untuk menyiasati keterbatasan tersebut adalah melakukan urun daya informasi yang melibatkan audiens. Strategi ini berhasil digunakan dalam Comprova Project di Brasil. Dalam proyek tersebut, 24 perusahaan media mengidentifikasi desas-desus dan penyebaran informasi palsu yang ditujukan untuk mempengaruhi pemilihan umum di Brasil pada 2018.
“Setiap ruang redaksi mengirimkan nomor WhatsApp kepada audiens mereka dan audiens mengirimkan informasi palsu yang ditemui untuk diverifikasi atau dibantah oleh media,” katanya.
Ia menambahkan bahwa metode urun daya bekerja dengan baik dalam aplikasi obrolan seperti WhatsApp. Sementara itu, untuk menyelidiki disinformasi dan misinformasi yang tersebar melalui Telegram, reporter bisa menggunakan Tgstat. Perangkat ini memungkinkan jurnalis untuk mengumpulkan informasi tentang mereka yang terlibat di grup tertentu.
“Ketika memasukkan nama pengguna … ke Tgstat, Anda bisa mendapatkan analitik dengan rentang waktu 90 hari terakhir. Selain itu, Anda juga bisa mengetahui apakah saluran tersebut mendapat banyak anggota baru di suatu waktu atau hari tertentu ketika unggahan mereka menjadi konten terpopuler,” kata Lytvynenko.
Silverman dan Lytvynenko meminta reporter berhati-hati ketika mengumpulkan informasi dan membuat penilaian.
“Salah satu kesalahan yang dilakukan saat meliput isu ini membuat atribusi dan melemparkan membuat tuduhan tanpa dasar yang kuat. Jadi, berhati-hatilah. Kumpulkan bukti dan susun hingga benar-benar kokoh,” jelas Silverman. (Penulis: Maurice Oniang’o; Penerjemah: Kholikul Alim)
Artikel lainnya:
- Urun Daya Dalam Jurnalisme, Bagaimana Cara Melakukannya?
- Bingung Memilih Topik Investigasi untuk Ide Liputanmu?
- Menggunakan Satelit dan Drone untuk Mengungkap Kebohongan
Tulisan ini disadur dari Expert Tips for Digging Out the Roots of Disinformation yang dipublikasikan Global Investigative Journalism Network (GIJN). Untuk menerbitkan ulang tulisan ini, Anda mengeklik tombol republish di bawah ini atau menghubungi [email protected].