Sejak mendeklarasikan diri sebagai calon presiden 2024, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Giring Ganesha menggelontorkan hampir Rp 500 juta untuk iklan sosial, pemilu atau politik di Facebook. Rata-rata pengeluaran iklan Giring sebesar Rp 10 juta per minggu. Uang sebanyak itu digunakan untuk memasang 367 iklan Facebook sepanjang 4 Agustus 2020 – 1 Januari 2022.
Juru bicara Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PSI, Sigit Widodo tak menampik biaya iklan ratusan juta Rupiah yang dikeluarkan melalui Facebook. Bahkan, partai ini berencana untuk memasang iklan politik daring sampai KPU menetapkan tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024. “Kita fokus iklan sosial media karena lebih murah dan efektif,” kata Sigit ketika diwawancara pada 27 Desember 2021.
Oleh sebab itu, Sigit berharap Pemilu 2024 nanti tidak membatasi iklan media sosial seperti Pemilu 2019 lalu. Di samping berbiaya murah dibanding kampanye konvensional yang bisa mencapai miliaran Rupiah, menurut Sigit, iklan media sosial lebih efektif karena memiliki layanan pemasangan iklan yang dapat menyasar audiens secara spesifik dengan memperhitungkan behavior, interest, usia sampai tempat tinggal audiens. “Itu yang tidak bisa diberikan iklan media lain. Facebook cukup akurat penargetannya,” ujar Sigit.
Dua tahun menjelang pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024, sejumlah nama yang digadang-gadang akan mengikuti kontestasi lima tahunan sudah beriklan sebagai calon Presiden 2024. Beberapa nama, antara lain Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani, pendukung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, hingga tim Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Di antara nama-nama tersebut, Giring menjadi bakal calon presiden dengan iklan Facebook terbesar yakni mencapai Rp 492 juta. Selanjutnya Airlangga Hartarto sebesar Rp 239 juta, Prabowo Subianto Rp 110 juta, Anies Baswedan Rp 35 juta, Puan Maharani Rp 14 juta, dan Ganjar Pranowo Rp 11,4 juta. Sementara PSI menjadi partai yang beriklan paling besar, yakni Rp 1 miliar.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Mahardhika memprediksi jumlah dana yang digelontorkan kandidat dan partai untuk iklan politik akan bertambah besar seiring dengan tahapan pemilihan Pemilu 2024. Berdasarkan monitoring Perludem terhadap iklan kampanye Pilkada 2020 selama Agustus – November 2020 lalu saja, terdapat 159 akun dengan total 5,679 iklan berbayar di Facebook. Lima daerah Pilkada dengan iklan Facebook terbesar, yaitu Sulawesi Tengah, Makassar, Surabaya, Sidoarjo dan Kalimantan Tengah. Karenanya, menurut Dhika, penyelenggara pemilu perlu mengawasi peredaran iklan politik di media sosial. “Penargetan ini belum masuk pengaturan KPU,” katanya pada 20 Desember 2021.
Kalau tidak, ia khawatir pelbagai efek buruk kampanye media sosial, antara lain penyebaran hoaks atau berita palsu, misinformasi atau informasi keliru, perilaku non-otentik yang terkoordinasi, kampanye hitam yang terkoordinasi, penggunaan Influencer dan pendengung, penggunaan bot mendorong isu tertentu, aliran dana kampanye media sosial tidak transparan dan promosi polarisasi akan marak di Pemilu 2024. “Pengaturannya masih pendekatan, belum mengakomodasi perkembangan iklan di medsos,” ungkapnya.
Dalam amatan Jaring.id, jumlah iklan media sosial untuk isu sosial, pemilu dan politik yang terekam di Facebook sejak Agustus 2020 – Januari 2022 mencapai Rp 18,8 miliar. Angka tersebut terbilang kecil bila dibandingkan Filipina yang akan menggelar pemilihan presiden pada 22 Mei 2022 mendatang. Sejak Agustus 2020 – November 2021, iklan politik di Filipina mencapai 141 juta Peso (Rp 40 Miliar). Data pengeluaran iklan kampanye Facebook Senator Win Gatchalian terbanyak sampai April 2021 yaitu 4,5 juta Peso (Rp 1,2 Miliar). Awalnya Senator Win berencana menjadi wakil presiden, tetapi saat pendaftaran ia memutuskan mengisi sertifikat pencalonan sebagai senator. Wakil Presiden Filipina Leni Robredo yang memutuskan maju sebagai calon presiden 2022 tercatat telah menghabiskan 5,6 juta Peso (Rp1,5 Miliar) sampai November 2021 hanya untuk iklan di Facebook.
Sementara itu, media investigasi di Filipina, Philippine Center for Investigative Journalism (PCIJ) mengungkapkan bahwa calon kandidat potensial Presiden Filipina sudah menghabiskan 3,7 Milar Peso (Rp 10,4 triliun) beriklan di media konvensional sebelum mereka resmi mencalonkan diri. Dana sebesar disertai 141 juta Peso atau setara Rp 40 miliar untuk iklan politik di Facebook sejak Agustus 2020 – November 2021.
Sedangkan di Indonesia, politikus yang tercatat paling banyak menggunakan layanan iklan politik Facebook ialah Munafri Arifuddin-Rahman Bando (Appi-Rahman) yang bertarung pada Pilkada Makassar 2020 lalu. Pasangan ini tercatat menghabiskan dana hingga Rp 2,9 miliar untuk belanja iklan Facebook. Namun uang sebesar itu ternyata tak mampu mendongkrak pasangan ini merebut kursi kepala daerah.
Muhammad Ridha, pengamat politik yang saat ini tengah menempuh gelar PhD ilmu politik di Universitas Northwestern, Amerika Serikat menyatakan bahwa kampanye media sosial mesti diimbangi dengan kerja lapangan. Apabila tidak, maka kampanye tersebut belum tentu efektif mempengaruhi pilihan masyarakat. Sebab pengaruh media sosial saat ini terbatas hanya pada kelompok kelas menengah. “Kebanyakan sosmed berkutat di kelas menengah. Sehingga kalau dibilang sepenuhnya efektif memenangkan kandidat bermasalah juga,” kata Ridha pada Senin 27 Desember 2021.
Ridha merujuk pada kemenangan Presiden Filipina Duterte pada 2016 lalu. Meski Duterte terbilang berhasil memanfaatkan media sosial, namun kemenangan Duterte tak lepas dari peran kelompok komunis Filipina di pelbagai daerah. Saat itu, Duterte berhasil meyakinkan masyarakat akar rumput untuk mendukung pencalonannya yang mengusung agenda pemberantasan kemiskinan. “Duterte menang, kelompok komunis menarik diri dari koalisi,” ungkapnya.
Sementara di Indonesia, Ridha menilai maraknya penggunaan sosial media oleh politikus maupun partai didorong oleh rendahnya kepopuleran mereka di akar rumput. Sehingga mereka tidak punya banyak pilihan selain merebut perhatian masyarakat lewat media sosial. Padahal, menurutnya, kampanye media sosial merupakan probabilitas yang belum tentu menjadi penentu. “Sifatnya perjudian. Sejauh mana ketika dia mencoba propaganda lewat sosmed bukan cuma agar orang itu mau mendukung dia, tapi mau bekerja bagi figur,” katanya.
Kondisi di Filipina tersebut tak jauh berbeda dengan keberhasilan Presiden Joko Widodo memenangkan Pemilu pada 2015 lalu. Menurutnya, sokongan terhadap Jokowi yang diawali dengan gerakan di sosial media, berubah menjadi gerakan di akar rumput yang mendorong relawan di pelbagai daerah bekerja memenangkan Jokowi. Namun, kata dia, gerakan itu tidak dibangun oleh iklan sosial media, namun sentimen perubahan yang dibawa Jokowi kala itu berhasil menyentuh banyak lapisan masyarakat seperti aktivis, buruh, perempuan, mahasiswa hingga masyarakat sipil. “Mereka tahu Giring, tapi apakah mereka mau bekerja untuk Giring? Karena pemilu urusannya mendorong orang mencoblos. Itu butuh kerja lapangan,” katanya.
Ketimbang jor joran menghabiskan uang kampanye di sosial media, Ridha menyarankan agar para kandidat dan partai politik membawa narasi baru. Salah satu narasi yang penting saat ini ialah pandemi dan perlindungan sosial akibat pandemi. Tanpa narasi alternatif, ia ragu partisipasi pemilih di Pemilu 2024 akan terdongkrak. (Debora B. Sinambela)