Kawasan sekolah masih menjadi sasaran penjual rokok di DKI Jakarta. Hal ini terlihat dari banyaknya warung rokok di sekitar lembaga pengajaran tersebut. Riset dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) pada 2020 menunjukan bahwa terdapat delapan warung rokok eceran tiap satu sekolah di DKI Jakarta. Di antaranya bahkan terletak tak sampai 100 meter dari sekolah. Ketua Peneliti PKJS UI, Risky Kusuma Hartono mengatakan kawasan sekolah menengah pertama (SMP) paling banyak disasar kios rokok dengan proporsi 26,1 persen. Selanjutnya di sekitar lokasi sekolah dasar (SD) sekitar 21,5 persen dan sekolah menengah atas (SMA) 15,6 persen.
“Lokasi sekolah masih memiliki akses yang mudah ke pembelian rokok batangan,” ujar Risky kepada jaring pada Kamis, 29 Juli 2021.
Risky mengatakan hampir semua warung rokok yang berdiri di sekitar sekolah memasang media promosi rokok mulai dari banner, sticker sampai spanduk. Tidak sedikit pula pedagang yang menjual rokok eceran. Menurut Risky, masifnya iklan dan mudahnya akses rokok mengatrol jumlah perokok remaja di DKI. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2019 memperlihatkan jumlah perokok usia 15 tahun di DKI Jakarta mencapai 26 persen. Mereka menghabiskan 72 batang rokok per minggu atau 10,5 batang per hari.
Tingginya angka konsumsi perokok pemula ini, kata Risky, dipengaruhi oleh harga rokok eceran yang masih terjangkau di kisaran Rp 1500 – 2000 per batang. Dalam seminggu, pedagang rokok eceran mampu menjual rokok di atas 300 batang. “Jika pembeli tidak punya uang, maka mereka tetap bisa mengakses rokok dengan berhutang ke warung,” katanya.
Selama ini, menurutnya, upaya pemerintah mengendalikan konsumsi rokok dengan menaikkan cukai tidak efektif lantaran masyarakat masih mudah mendapatkan rokok. Terlebih sampai saat ini belum semua daerah, seperti DKI Jakarta yang memiliki peraturan daerah tentang kawasan tanpa rokok (KTR). Jakarta masih berpegang pada aturan terbatas berupa Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Dilarang Merokok.
“Regulasi itu terbatas hanya mengatur di dalam lokasi sekolah. Lalu di dekat sekolah bagaimana? Hanya beberapa sekolah yang berupaya mengatur lewat kesepakatan antara sekolah dan pedagang. Ada sekolah yang secara khusus kontrak dengan warung agar tidak menjual rokok kepada muridnya,” ucapnya.
Menurut Risky, Pergub Nomor 88/2010 tak ubahnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 64 tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Belajar Mengajar. Sasaran kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah hanya mencakup kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik, serta pihak lain di dalam lingkungan sekolah. Regulasi ini tak dapat menyasar pedagang rokok eceran yang berada di kawasan sekolah.
Kondisi tersebut berbeda dengan Cina dan India yang telah membagi kawasan penjualan rokok dalam beberapa zona (zoning). Zona yang diperbolehkan untuk menjual rokok harus berada di radius minimal seratus meter dari pusat pendidikan. Sementara di Amerika Serikat dan Kanada, ritel dilarang menjual rokok kepada remaja. AS bahkan mempekerjakan pihak ketiga untuk mengawasi dan memberikan sanksi kepada warung eceran yang menjual rokok kepada remaja. Sedangkan Kanada secara khusus melarang penjualan rokok secara batangan.
Dalam riset PKJS UI yang memotret kepadatan warung rokok di DKI Jakarta menggunakan aplikasi google maps dan google street view tertera bahwa sedikitnya terdapat 8.371 warung rokok eceran di DKI Jakarta. Lokasi warung rokok eceran banyak ditemukan di wilayah padat penduduk. Di DKI Jakarta, jumlah warung rokok terbanyak tersebar di wilayah Jakarta Timur dengan jumlah 3.085, selanjutnya Jakarta Barat dengan 2.136, Jakarta Pusat sebanyak 1.457, Jakarta Selatan sebanyak 1.293 dan Jakarta Utara 397. Jika dibandingkan dengan total luas Jakarta, maka dalam radius satu kilometer persegi terdapat kurang lebih 15 warung rokok. Atau di antara seribu penduduk DKI Jakarta terdapat satu warung rokok eceran.
Oleh sebab itu, ia mendorong pembentukan Perda KTR di DKI dan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. PP tersebut seharusnya bisa melarang penjualan rokok batangan. Sementara untuk perda KTR DKI, Riski mendorong penguatan larangan iklan rokok di wilayah permukiman penduduk. Pasalnya PKJS UI menemukan sekitar 80 persen iklan rokok di DKI ada di wilayah permukiman penduduk dan gang sempit.
Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyatno mengatakan Jakarta sudah seharusnya memperlakukan rokok seperti minum beralkohol. Iklan dan penjualan rokok harus diatur secara khusus mengingat efeknya bagi kesehatan, serta teknik pemasaran yang menyasar kelompok miskin.
Sejak 2010 lalu, YLKI bersama sejumlah koalisi masyarakat sipil telah mendorong penerbitan Peraturan Daerah Tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) di DKI Jakarta. Namun sejak pertama kali diusulkan dalam program pembentukan peraturan daerah (propemperda) di tahun yang sama, raperda KTR DKI tak kunjung disahkan. Padahal, menurut Agus, kehadiran KTR di Ibukota penting untuk menyempurnakan seluruh regulasi terkait peredaran rokok, seperti Perda Kawasan Dilarang Merokok dan iklan rokok di luar ruangan di mana Pemda DKI masih menggunakan terminologi lama yang hanya melarang aktivitas merokok.
Menurutnya, sudah saatnya Pemda DKI menyelaraskan aturan terkait rokok dengan terminologi yang saat ini berlaku secara nasional, yakni “kawasan tanpa rokok” bukan “kawasan dilarang merokok.” Dengan demikian, kebijakan yang dibikin tak hanya mencakup larangan aktivitas merokok, melainkan juga pembatasan peredaran iklan dan pedagang rokok. “Jakarta harusnya bisa menjual rokok tanpa harus mendisplay,” kata Agus.
DKI Jakarta termasuk daerah yang tertinggal beberapa langkah dari daerah sekitar yang sudah punya Perda KTR. Antara lain Kota Bekasi yang sudah sejak November 2019 memberlakukan KTR, Kota Bogor sejak 2018, Kabupaten Bogor pada 2016, diikuti Kota Tangerang di tahun yang sama, sementara Kota Depok di 2014 dan sudah melakukan revisi pada 2020 lalu. Sedangkan KTR di Kabupaten Tangerang mulai 2018.
Wakil Ketua Badan Pembentukan Peraturan (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta, Dedi Supriyadi tidak menampik lambatnya DKI meregulasi KTR. Kata dia, raperda KTR setidaknya sudah tiga kali masuk dalam rencana pembahasan, tetapi gagal dibahas para legislator. Pada 2016, misalnya, rancangan perda KTR sebetulnya sudah disepakati di paripurna untuk dibahas, namun terhambat kasus korupsi yang menimpa sejumlah anggota pada 2017 lalu. Sementara tiga tahun berselang, yakni pada 2019 pembahasannya tertunda karena bertepatan dengan proses pergantian anggota dewan. Sedangkan tahun lalu tidak dapat dibahas karena pandemi Covid-19. Meski begitu, raperda tersebut kembali masuk Propemperda DKI 2021 atas inisiatif DPRD.
“Tahun 2020 kami hanya bisa selesaikan delapan perda. Pada 2021 teman-teman juga maklum pandemi masih berlangsung bahkan sebulan ini diberlakukan PPKM Darurat yang praktis tidak memungkinkan DPRD menggelar rapat secara intensif,” katanya ketika dihubungi pada Rabu, 4 Agustus 2021.
Dedi mengatakan DPRD sudah menjaring aspirasi masyarakat dan memasukkan raperda KTR dalam propemperda. Naskah akademik dan rancangan aturan tersebut telah siap. Secara garis besar raperda KTR memperluas kebutuhan perokok pasif menghirup udara bersih di Ibukota. Dedi sepakat adanya zonasi bebas penjualan rokok di kawasan tertentu seperti sekolah. Namun hingga hari ini, raperda tersebut belum dibahas karena hingga sekarang pimpinan dewan belum memberikan disposisi kepada Bapemperda untuk melakukan pembahasan. DPRD DKI, kata dia, masih berkutat membahas peraturan yang berkaitan dengan anggaran dan penanganan pandemi Covid-19.
“Kami berusaha menyelesaikan tahun ini. Tapi kita mesti sadar DPRD DKI terdiri 106 orang, di antaranya lima pimpinan sangat menentukan sebuah raperda akan dibahas atau ditunda karena minim waktu,” katanya.
Raperda KTR sebelumnya diusulkan sejumlah fraksi di DPRD DKI, seperti Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Anggota DPRD DKI Jakarta, Anthony Winza Probowo menyebut bahwa Perda KTR di Jakarta mendesak untuk diterbitkan pada saat pandemi Covid-19. Pasalnya, pasien yang memiliki riwayat merokok lebih rentan mengalami perburukan kondisi kesehatan. “PSI terus mendukung raperda KTR agar dibahas serta perda-perda lain yang menjadi usulan PSI seperti raperda dana abadi pangan. Ini sangat penting terlebih di masa pandemi,” ujarnya. (Debora B. Sinambela)