Buntut Panjang Putusan Saklek DKPP

Dalam diskusi yang disiarkan langsung lewat laman Facebook Asosiasi Ilmu Politik Indonesia pada Kamis, 17 Juni lalu, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad menegaskan ketidaklayakkan Evi Novida Ginting sebagai penyelenggara pemilihan umum. Sebab Evi dinilai bertanggungjawab terhadap perubahan perolehan suara pemilihan legislatif di Kalimantan Barat pada 2019 lalu. “Masih ada oknum penyelenggara yang berani mengubah perolehan suara karena rekayasa yang dilakukan secara curang mengubah pemenang dari X menjadi si B, tapi seakan-akan itu benar,” ucapnya dalam diskusi bertajuk Road Map Pemilu 2024, Kamis, 17 Juni 2021.

Hingga hari ini, 30 Juni 2021, siaran yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam itu dibagikan 25 kali dan ditonton lebih seribu kali. Muhammad menegaskan penyelenggara tak hanya harus dikuatkan tata kelola pemilu, tetapi juga tata kelola perilaku.

Sebelumnya, DKPP memberhentikan Evi secara tidak hormat sebagai sebagai anggota KPU RI pada Meret 2020 lalu lewat surat bernomor 317-PKE-DPP/X/2019. Evi terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu terkait kasus perolehan suara calon legislatif (caleg) Partai Gerindra daerah pemilihan (Dapil) Kalimantan Barat 6. Namun, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memulihkan status Evi sebagai penyelenggara pemilu periode 2017-2022. Putusan ini diperkuat dengan penerbitan Keppres Nomor 83/P tahun 2020 tentang pembatalan pemecatan pada 11 Agustus 2020.

Meski begitu, DKPP berkeras bahwa putusan mereka tak bisa diubah. DKPP merujuk Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017  yang menerangkan putusan DKPP bersifat final dan mengikat, sehingga Evi dianggap bukan lagi penyelenggara pemilu. Menurut Muhammad, Keppres pembatalan pemecatan Evi merupakan ranah administrasi, sementara keputusan DKPP tergolong etik. “PTUN/MA hanya mengoreksi keputusan tata usaha negara, bukan putusan peradilan etik yang ditetapkan oleh DKPP,” kata Muhammad lewat pesan singkat, Selasa, 29 Juni 2021.

Oleh sebab itu, Evi dan Arief Budiman mengajukan permohonan uji materi UU Pemilu yang mengatur putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Mereka meminta agar Mahkamah Kontitusi (MK) membatalkan Pasal 458 ayat 13 dan menguji sebagian frasa dan kata dalam Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11) & ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5)  Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Kuasa hukum pemohon, Fauzi Heri menilai bahwa DKPP bukan lembaga peradilan yang dapat membikin putusan final dan mengikat. Ia merujuk putusan MK pada 2014 yang sempat memberikan tafsir terhadap frasa final dan mengikat. Saat itu, menurutnya, DKPP dinilai bukan lembaga peradilan sehingga putusan final dan mengikat tidak dapat diartikan sama dengan putusan lembaga peradilan. Meski demikian, Fauzi menilai MK perlu memberikan tafsir baru terhadap sifat putusan final dan mengikat DKPP tersebut.

Berdasarkan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah disebutkan bahwa Peradilan TUN berwenang menerima, memeriksa dan menyidangkan putusan bersifat final dalam arti luas. “Misalnya Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung pernah menyidangkan rekomendasi KSAN (Komisi Etik Aparatur Sipil Negara). Rekomendasi pun bisa digugat di TUN karena ada ini,” ujarnya.

Fauzi menjelaskan sejumlah kejanggalan dalam putusan pemberhentian Evi sebagai komisioner KPU. Di antaranya terkait perubahan syarat kuorum dari lima hakim menjadi empat, serta pelanjutan sidang DKPP sekalipun pengadu sudah mencabut laporannya. “Walaupun aturan DKPP mengatakan hal tersebut bisa dikesampingkan, tetapi pengadu punya tanggung jawab membuktikan laporannya. Sehingga jika salah satu syarat pengambilan keputusan tidak terpenuhi, maka ini menjadi perbuatan abuse of power,” ucap Fauzi.

Sementara dalam kasus pemecatan Arief Budiman, Fauzi menilai DKPP telah mengambil keputusan di luar kewenangan. Arief dicopot dari jabatannya sebagai Ketua KPU setelah meneruskan petikan surat presiden. “Dengan kewenangan yang sedemikian besar ditambah sifat putusan DKPP yang final dan mengikat, membuat DKPP menjelma menjadi lembaga yang superior atas lembaga penyelenggara pemilu lainnya,” katanya.

Hal ini mengkibatkan Evi Novida Ginting tak lagi dapat menuntaskan pekerjaannya sebagai penyelenggara pemilu dengan leluasa. Menurut Evi, sikap keras DKPP terhadapnya berimbas pada kebijakan yang diputuskan oleh KPU. “Saya dicap sebagai pelanggar etika, ke mana-mana disampaikan. Dalam forum-forum resmi, diskusi seminar itu disampaikan terus saya pelanggar etika, tukang manipulasi suara. Seolah-olah saya melakukan itu,” kata Evi kepada Jaring.id, Selasa, 29 Juni 2021.

Evi menilai frasa final dan mengikat di UU Pemilu telah membuat DKPP sebagai lembaga yang tidak bisa digugat maupun dikoreksi. Ia khawatir kewenangan besar tersebut menjadi momok bagi penyelenggaraan pemilu. “KPU daerah yang secara hierarkis merupakan bawahan dari KPU, lebih mendengarkan arahan DKPP karena takut mendapatkan sanksi daripada mengikuti arahan KPU yang notabene adalah atasannya langsung,” katanya.

Menanggapi gugatan tersebut, Ketua DKPP Muhammad mengaku hanya menjalankan perintah undang-undang sebagaimana KPU maupun Bawaslu. Oleh sebab itu, ia menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada MK. “DKPP menghormati sepenuhnya MK dan menyerahkan sepenuhnya kepada MK untuk menangani perkara ini,” katanya.

Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari menilai putusan DKPP tidak dapat dikategorikan sebagai putusan yang final dan mengikat. Sebab keputusan terkait pemberhentian mesti dibarengi dengan penerbitan surat keputusan presiden. “DKPP tidak terlalu paham dengan konsep hukum tata negara yang memposisikan DKPP bukan lembaga peradilan. Bagimana mungkin DKPP memaknai putusannya lebih tinggi dari putusan pengadilan?” ujar Feri pada Senin, 28 Juni 2021.

Sedangkan Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu, Kaka Suminta berpandangan bahwa DKPP masih memerlukan sejumlah pasal yang digugat komisioner KPU ke MK. Alih-alih dilemahkan, menurutnya, DKPP perlu diperkuat menjadi lembaga peradilan pemilu yang independen, sehingga tidak hanya berkutat pada permasalahan etik. “Dari sisi hukum, tentu hak setiap warga negara mengajukan uji materi ke MK. Namun dari sisi penguatan demokrasi dan pemilu yg demokratis. Pasal itu dibutuhkan untuk menjaga otentitas penyelenggara pemilu. Dan itu seyogyanya dipahami oleh penyelenggara pemilu,” ujar Suminta saat dihubungi Jaring.id lewat pesan Whatsaap.

Sementara itu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadil Ramadhanil menilai sengketa putusan final dan mengikat DKPP terhadap Evi merupakan ujung dari masalah relasi kelembagaan antar penyelenggara pemilu selama ini. Alih-alih melangkapi satu sama lain, lembaga pemilu justru saling menunjukkan kewenangannya. “Banyak hal. Tidak dibatasi hanya dengan kerugian KPU saja, tetapi penyelenggara lainnya,” kata Fadil pada Selasa, 29 Juni 2021.

Sebagai lembaga yang ditugasi memeriksa dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, DKPP perlu melakukan penataan hukum acara. Antara lain memilah pilih laporan pelanggaran, termasuk menghadirkan seluruh pihak yang tengah berperkara. “Jumlah majelis dalam pengambilan keputusan juga, agar lebih profesional dan adil,” ungkapnya.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.