Ghost Fleet, Kisah Budak di Perairan Indonesia

Kecuali permintaan maaf dan tangis, tak banyak yang bisa diungkapkan nelayan asal Myanmar, Kasim (43) ketika diminta aktivis perburuhan Thailand (Labor Pratection Network) Patima Tungpuchayakul untuk merekam pesan video lewat telepon genggam. Sebentar ia meratapi layar handphone. Dengan tutur bahasa Myanmar yang sudah terbata-bata, Kasim mulai bicara. Namun lebih banyak menangis. Ia memilih untuk memendam hasrat bertemu orang tua, juga kekasih yang ia tinggalkan 24 tahun lalu.

“Aku ingin pulang ke rumah. Semua orang (nelayan asing) ingin pulang, tetapi waktuku sudah habis. Aku sudah tua dan sulit mendapat uang. Semua yang di Myanmar jangan khawatirkan aku,” pesan Kasim di hadapan Ariyano Bonny Alberto pada 2016 lalu.

Separuh umur lelaki yang kini menetap di Benjina, Maluku ini berakhir tragis di geladak kapal. Ia dijual oleh rekannya ke sebuah kapal penangkap ikan ilegal ketika usianya baru beranjak 21 tahun. Saat layar terkembang di pelabuhan Thailand, Kasim turut melintasi laut yang memisahkan pelbagai negara di Asia Tenggara, seperti Singapura, Filipina, Malaysia hingga Indonesia. Alih-alih mendapat penghidupan, perjalanan panjang melelahkan itu tidak hanya membikin Kasim jatuh miskin. Ia diperbudak bertahun-tahun tanpa bayaran. Pada tangan dan tubuhnya terekam sisa kekerasan yang tidak mungkin hilang di sisa umur. Tulang tangannya bengkok. Sedangkan legam luka di punggungnya menyimpan nyeri tak terobati.

Secuil kisah hidup Kasim tadi merupakan satu dari pelbagai kisah korban perbudakan kapal ikan yang terdapat dalam film berjudul Ghost Fleet garapan jurnalis investigasi Amerika, Shannon Service dan Jeffrey Walldron. Film yang bersumber dari kisah nyata ini mengambil sudut pandang tentang Patima yang menapak tilas perjalanan menahun para budak kapal. Dari perjalanan itu, ia menemukan tidak sedikit nelayan asal negara Asia Tenggara yang terjebak di wilayah Indonesia.

Rabu, 2 Oktober 2019 lalu Jaring.id mewawancarai salah satu produser lapangan film tersebut, yakni Ariyano. Selama 12 hari, pria kelahiran Jakarta ini turut serta bersama Shannon dan Patima berjibaku mencari fakta perbudakan nelayan, mulai dari Sorong, Kaimana, Dobo, Avona hingga Benjina, Kepulauan Aru, Maluku.

Bagaimana Anda bisa terlibat dalam film yang menunjukan secara gamblang perbudakan di wilayah Indonesia?

Awalnya Shanon bilang ketika ke kantor saya. Ia tanya “tahu nggak ada slavery di negara kamu?.” Mulanya saya bingung. Ini 2016, slavery saya kira sudah tidak ada, sudah tidak jaman. Saya bertanya “siapa yang menjadi slavery, orang saya atau bagaimana?” Shannon saat itu bilang bukan dari Indonesia.

Shanon kemudian menunjukkan data orang Thailand yang jadi korban perbudakan di Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Di Thailand ada satu perusahaan ikan terbesar di Asia dan dia mengambil ikan di Indonesia tanpa ijin lengkap. Prosesnya, dari Thailand mereka menggunakan kapal Thailand ke Singapura lalu ganti bendera Indonesia di sana. Setelah itu mereka jalan, tetapi tidak lewat jalur umum, langsung dari atas Kalimantan sampai Manado. Di sana dia ganti kapten Indonesia.

Kenapa memilih Manado? Karena mereka rumpunnya mirip dengan Thailand. Ketika bertemu penjaga Indonesia, dia lihat kapalnya Indonesia. Ditambah dokumen yang diserahkan juga yang sudah dipalsukan. Kemudian mereka mulai menangkap ikan dari Benjina hingga ke Arafuru. Setelah lambung kapal terisi penuh, kapten kapal akan kembali membawa hasil tangkapan ke daratan. Tetapi tidak bagi budak kapal. Dalam perjalanan pulang, kapten kapal akan memindahkan kru ke kapal lain yang ingin berburu ikan. Dan itu terus berlanjut, hingga mereka tidak pernah lagi mendarat. Oleh sebab itu perbudakan bisa sampai 7-14 tahun.

Setelah Anda setuju terlibat, lantas apa yang dilakukan?

Langsung perjalanan pertama. Saya terbang ke Sorong.

Film ini bukan satu-satunya yang Anda bantu. Lantas film apa yang paling menantang?

Ini (Ghost Fleet) masih paling menantang karena biasanya kalau di lapangan satu lokasi ya satu lokasi saja. Ini benar-benar lompat bukan hanya dari Papua ke Ambon tapi sampai laut Arafuru. Dari Dobo ke Tual. Seharian, dari pagi sampai malam saya kasih makan ikan. Ya, saya mabuk laut..hahaha.

Bagaimana dengan riset?

Mereka (tim Shannon) sudah melakukannya lebih dulu. Sebelum mereka mengontak saya melakukan perjalanan ini, mereka sudah riset mengambil beberapa survivor dan mereka kembali untuk kesekian kali sebetulnya. Cuma kali ini mau dibikin sebuah film.

Perjalanan saat liputan bagaimana?

Dari Sorong, kita mulai ke Kaimana. Di situ kita dapat info, tapi orangnya sudah lari semua. Dari Kaimana lalu ke Fak-Fak, Avona, Dobo, Tual dan Benjina. Ada empat orang yang ditemukan, tetapi yang di Tual tidak ada (dalam film), padahal itu bagus karena kita temukan bapaknya lewat Facebook. Sampai bapaknya bingung dan bertanya “kamu benar anak saya? Apa yang meyakinkan saya kalau kamu anak saya?”

Dia berapa tahun diperbudak?

Delapan tahun. Setelah dikasih tunjuk bekas luka bawaan lahirnya, baru bapaknya percaya lalu menangis.

Bisa ceritakan bagaimana mengidentifikasi korban perbudakan? 

Pertama LPN (Labor Protection Network) ini dapat pengaduan di Thailand. Pertama dilihat umur, perawakan dan gender. Kalau laki-laki umur 30 ke atas pasti pelayaran. Kalau ada keluarga korban yang melapor, LPN akan meminta identitas, seperti nama dan foto. Baru dari situ tanya ke orang-orang di lapangan, apakah pernah melihat orang hilang tersebut.

Di lapangan kita tanya langsung apakah ada orang Thailand yang terdampar? Kalau ketemu, kami mencocokan data. Kalau belum terdata, berarti ada nelayan yang tidak dilaporkan hilang. Lalu nanti di Thailand akan diumumkan lagi, seperti nama dan identitas kapal. Maka diharapkan ada keluarga korban yang mengenali. Sekalipun sebagian dari mereka juga ada yang tidak mau pulang lagi.

Dalam perjalanan pencarian itu selain orang Thailand dari mana saja yang ditemukan?

Kita dapat orang Filipina, Myanmar, tetapi mereka tidak bisa dibawa pulang karena langsung lari.

Kepercayaan warga lokal terhadap orang Thailand ini apakah sudah terbangun lama?

Mereka (warga) menemukan orang-orang Thailand itu di hutan. Mereka tengah kelaparan. Oleh warga, nelayan Thailand ini dikasih makan dan diajak ke kampung. Dari banyaknya budak yang melompat ke luat, yang selamat bisa dihitung jari. Kalau yang lari itu biasanya mereka kabur dari lokasilisasi, cari boat atau bikin perahu.

Ada kendala?

Dari orang lokal sampai yang berseragam, semua. Saya sampai bilang ini syuting acara termehek-mehek, kalau enggak belum tentu jalan. Begitu saya reka adegan di Jakarta, saya ditelfon dari Tual. “Bapak siapa ya, kok bisa dapat orang-orang Thailand ini?.” Saya balik tanya, “bapak ini orang mana? saya orang Imigrasi,” katanya begitu.

Serba salah juga, kalau ketahuan sama orang Thailand, mereka bisa dibalikin ke penjara itu lagi dan disiksa. Kalau ketemu orang Indonesia mereka juga ketangkap karena tidak punya identitas.

Mereka cerita ke saya, temannya ditusuk pakai obeng di tengah laut itu jumlahnya puluhan. Jadi saya rasa wajar saja ketika ketemu saya mereka lari ke gunung. Saya kejar pakai boat, karena saking takutnya. Selain Patima ada juga orang-orang yang mengaku seperti Patima. Itu parah, mereka bilang Thailand mau menolong ternyata malah dibalikin lagi ke sana (kapal).

Apakah Anda mendapat ancaman?

Tidak, karena kita bekerja cepat.

Dalam satu adegan, ada tetua adat yang marah dan mengancam. Apa sebabnya?

Itu wakil kepala desa. Itu suasannya memang tegang. Kita sudah capai, malam pukul 07.00 WIT dia masih ngotot. Jadi ada tim kita yang bilang di sana pasti ada lalu kita menyender. Salahnya saya langsung ikut masuk kampung tanpa permisi ke kepala adat, lalu diteriakin dari jauh. Kita balik lagi lalu minta maaf. Makanya ada adegan proses negosiasi. Setelah dia tahu tujuan kita, akhirnya dia bantu kita.

Apakah sempat beraudensi dengan Menteri KKP Susi Pudjiastuti?

Ada. Ada surat rekomendasi.

Pengepulan ikan perusahaan Thailand ini ada di mana?

Benjina. Dan itu besar sekali, seperti satu pulau sendiri lengkap dengan mess dan penjara. Dan itu penjaranya aneh-aneh. Tingginya cuma satu meter lima puluh. Tapi orang itu dipenjara duduk, tidak diikat. Hanya, permukaan airnya setinggi leher. Jadi, kalau malam mau tidur pasti tenggelam.

Masyarakat di pulau seberang Benjina, tidak tahu kalau ada penjara di situ. Guna mengaburkan praktik perbudakan, mereka bersiasat membangun tempat lokalisasi di pinggir pantai. Jadi orang ke sana tahunya mau party. Sekaligus budak-budak ini kalau stres dilempar ke sana. Selesai, langsung pulang.

Pencurian ikan ilegal ini terjadi di wilayah Indonesia. Lantas mengapa film ini tidak dikaitkan dengan perusahaan atau pemerintah Indonesia?

Tidak. Tidak sebut nama juga. Saya juga dari pertama nanya apa sih nama perusahaan ikan di Thailand ini. Dia [Shanon] selalu bilang sebut saja perusahaan ikan terbesar di Asia. Tapi pas di lapangan saya tanya masyarakat ada yang menyebut, tapi garis besarnya tidak pernah tahu.

Bagaimana proses pemulangan nelayan ke Thailand?

Prosesnya lama. Sebelum mereka berangkat dikumpulkan dulu. Ibu Patimah menelpon ke Kedutaan Thailand, sebutin nama orangnya lalu dapat paspor sementara untuk pemulangan.

Berapa total biaya produksi dokumenter ini?

Miliaran. Untuk sewa kapal sehari saja Rp 30 juta. Saya sendiri untuk kebutuhan personal habis Rp 100 juta. Mahal banget. Tapi ongkos sebesar itu tidak ada artinya bila masalah besar setelah dibongkar tidak ada penyelesaian. What next? masa cuma segitu aja? Apa yang bisa kita lakukan? Jujur saja setelah dari sana orang-orang bilang, “pak saya ini sebenarnya dibongkar Bu Susi ada senang ada enggak. Kalau dibongkar orang luar nggak makan ikan kami lagi. Tapi habis itu kami dibiarin begini saja. Kami mending sama cukong-cukong kemarin dapat uang. Ini mereka udah pergi saya dapat makan dari mana?” Jadi emang dilema jadinya. Sayangnya tidak ada follow up lagi.

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.