Perahu motor milik Irfan (32) limbung dihantam ombak setinggi
3 meter. Lambung perahu berkapasitas 2 orang itu nyaris
tenggelam. Sementara sang juru mudi yang tengah mengisi bahan
bakar mesin 10 PK di buritan terhempas ke dalam laut.
Saking cepatnya kejadian, nelayan berpengalaman 10 tahun
melaut itu tak sempat mentas. Perahu yang dalam bahasa lokal
dinamai katinting dengan cepat mengombak menjauhi Irfan. Mujur
baginya ada nelayan lain yang melintasi perairan Spermonde,
Makassar, Sulawesi Selatan setelah 5 jam terkatung-katung.
“Di musim Timur (Mei-Oktober) seperti sekarang, biasanya
sangat jarang ada ombak sebesar itu,” kenang nelayan asal
Kodingareng pada 25 Juli 2020, tiga hari setelah hari celaka
tersebut.
Kecelakaan yang terjadi Rabu, 22 Juli 2020 lalu bukan saja
menimpa Irfan. Sejak Mei-Oktober, sedikitnya ada empat
kecelakaan yang melibatkan nelayan. Menurut Irfan, ombak di
area tangkap nelayan berangsur ganas setelah Queen of The
Netherlands—kapal milik PT Royal Boskalis—beroperasi melayani
kebutuhan pasir proyek strategis nasional Makassar New Port
(MNP). Penyedotan, kata dia, membuat dasar laut semakin dalam.
Kondisi ini pula yang mengakibatkan pola arus dan gelombang
Kodingareng berubah.
“Tidak jauh dari areal tambang pasir itu tidak ada lagi
pemecah ombak. Ombaknya tanpa jeda, membalik katinting,”
ungkap Irfan.
Aktivitas kapal raksasa sepanjang 230,71 meter dengan lebar 32
meter tersebut juga kerap membikin zona tangkap mengeruh.
Akibatnya ikan-ikan menjauh dan nelayan sulit beroleh hasil.
Saat musim Timur tahun lalu, Irfan mengaku bisa mendapat 10
ekor ikan tenggiri setiap kali memancing di Copong
Keke—sekitar 9 mil dari Pulau Kodingareng. Hasil tangkapan
tersebut setara dengan Rp 500 ribu-Rp 1 juta. Tetapi
belakangan, Irfan lebih sering pulang dengan tangan kosong.
Nelayan Kodingareng membawa pulang ikan hasil tangkapan
(Royan Juliazka)
Kondisi serupa menimpa Daeng Mansur (38). Nelayan yang tinggal
di RW 1 Kelurahan Kodingareng merupakan 1 dari 60 nelayan yang
kami temui. Pulau Kodingareng sendiri berpenghuni sekitar
5.000 orang. Mansur mengakui perolehan ikannya saat ini
merosot. Padahal sebelumnya ia bisa membawa ikan kerapu
seharga jutaan Rupiah dari perairan Copong.
“Tapi sejak ada Boskalis, saya sering tidak dapat tangkapan
sama sekali. Sementara kita mata pencahariannya cuma itu,"
tuturnya.
Merosotnya perolehan ikan nelayan dirasakan betul pengepul
seperti Abdul Wahab (38). Sepanjang Mei-Oktober 2020,
perolehan nelayan menyusut sekitar 30 persen. Sekalipun sudah
dipasok oleh 30 perahu dan 10 nelayan pemanah.
“Tahun ini berkurang, tidak seperti tahun-tahun lalu,” katanya
ketika dihubungi pada Jumat, 6 November 2020.
Selain Copong, nelayan tradisional di sekitar proyek tambang
pasir kerap melaut di perairan Bone Malonjo, Bone Pute, Batu
Hila, Batu Umbawaya, Pamalu dan Sangkarang. Titik tangkap
dengan sebutan lokal ini dimanfaatkan nelayan setempat secara
turun temurun. Namun keberadaannya perlahan terancam.
Penambangan pasir laut dimulai pada 13 Februari 2020.
Kontraktor pelaksana MNP, PT Pembangunan Perumahan (PP)
menggandeng PT Boskalis untuk menyedot pasir di perairan Bone
Malonjo, Kabupaten Takalar.
Di Bone Malonjo, Boskalis sedikitnya menyasar lima titik.
Dalam surat pemberitahuan Kesyahbandaran Utama Makassar,
pengerukan terjadi pada koordinat: 5° 12' 48,22° LS/ 119° 04'
48,10° BT dan 5° 12' 48,22° LS/ 119° 05' 42,45° BT. Kepala
Kesyahbandaran Makassar, Ahmad Wahid bahkan sempat
memperingatkan nelayan untuk menjaga jarak minimal 1000 meter
dari kapal Queen of Netherlands.
“Makanya nelayan demo karena yang pertama kali dikeruk
pasirnya di Copong,” ungkap Nurdin.
Sejak Juni-September 2020, para nelayan menuntut penghentian
operasi tambang pasir di wilayah tangkap mereka. Mulai dari
mendemo Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, sampai
menghadang Queen of The Netherlands di tengah laut. Pemerintah
daerah berkeras operasi tambang pasir tidak dilakukan di zona
tangkap nelayan.
Meski begitu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)
Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amien memastikan tumpang tindih
sejumlah konsesi penambangan pasir laut dengan wilayah
tangkap. Menurutnya, konsesi PT Danadipa Agra Balawan berada
tepat di wilayah Copong Cadi. Di sekitarnya ada PT Banteng
Laut Indonesia yang memiliki izin konsesi di Copong Lompo.
Sementara itu, PT Nugraha Indonesia Timur mengantongi izin di
wilayah Bone Malonjo.
“Hampir semua titik strategis penangkapan ikan milik nelayan
tradisional baik yang berada di pesisir Takalar maupun pesisir
Kota Makassar masuk lokasi tambang pasir laut dengan nama Blok
KPU-TB01 atau Blok Spermonde,” ungkapnya.
Menurut Amien, masalah tumpang tindih terjadi sejak gubernur
menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2
Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Dari tiga lokasi tambang pasir
laut yang ditetapkan, Blok Spermonde ditetapkan seluas
9.355,49 hektar.
Adapun 12 perusahaan yang sudah mengantongi konsesi di Blok
Spermonde ialah PT Alefu Karya Makmur, PT Sulawesi Indo
Geoprima, PT Samudra Phinisi Abadi, PT Prada Mandiri, PT
Tambang Nur Pucak, PT Danadipa Agra Belawan, PT Nugraha
Indonesia Timur, PT Banteng Laut Indonesia, PT Celebes
Maritim, PT Rama Nur Rezky, PT Berkah Bumi Utama, PT lautan
Indah Berkah dan PT Berkah Mineral Manunggal
“Tiga diantaranya, yakni PT Alefu Karya Makmur, PT Nugraha
Indonesia Timur dan PT Banteng Laut Indonesia sudah
menggunakan wilayah konsesinya untuk memenuhi kebutuhan pasir
proyek MNP,” katanya.
Merujuk catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), PT
Boskalis bukan kali pertama menambang pasir di perairan
Makassar. Pada pertengahan Juni 2017 hingga Maret 2018,
Boskalis menambang di wilayah Galesong Utara, Kabupaten
Takalar. Saat itu, perusahaan melayani penyemburan pasir untuk
proyek Center Point of Indonesia (CPI). Proyek seluas 157,23
hektar ini membutuhkan pasir laut sebanyak 12 juta kubik.