Lawan Perusahaan Demi Sagu dan Hutan

Warga Desa Sungai Tohor menebang pohon sagu di kawasan hutan desa. Foto : Soleh Saputra

Tanaman sagu tumbuh subur di sekitar Desa Sungai Tohor. Ini karena kondisi lingkungan di daerah itu yang masih terjaga. Tanaman berna­ma ilmiah metroxylon sagu rottb ini pun tumbuh berdampingan dengan tanaman hutan.

RUMBIA. Begitu masyarakat Desa Sungai Tohor menyebut pohon sagu. Tanaman itu me­merlukan banyak air untuk tumbuh sempurna demi menghasilkan pati sagu berlimpah. Itu pula sebabnya, secara turun-te­murun masyarakat Sungai Tohor percaya hutan yang terjaga bisa menjadi modal bagi pohon sagu untuk tumbuh subur. Ibarat jamur yang tumbuh di musim hujan. Sekali tanam sagu akan terus tumbuh tunas-tunas baru. Tak akan habis hingga anak cucu.

Dalam kondisi ekonomi sesulit apa pun, masyarakat Sungai Tohor tidak akan pernah mengganggu tanaman hutan yang tumbuh di hutan sekitar desa. Jadi di kawasan hutan gambut, warga hanya meman­faatkan pohon sagu. Tak hanya itu, masyarakat juga tidak mem­buka kanal untuk memindahkan batang-batang sagu dari dalam hutan ke desa. Masyarakat sadar, membuka kanal bisa membuat kering lahan gambut yang ujung-ujungnya memicu cadangan air menjadi susut. Sementara jika gambut makin kering, risiko kebakaran hutan pun tinggi.

Namun, segala cerita kearifan lokal masyarakat Sungai Tohor nyaris tinggal cerita. Pasalnya sekitar 2007, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Hutan Tanaman Industri (HTI), ber­encana membabat habis hutan masyarakat. Menggantinya dengan tanaman akasia setelah memegang izin dari pemerintah.

Tahu akan rencana perusa­haan, masyarakat tidak tinggal diam. Melalui salah seorang tokoh Abdul Manan, masyarakat bersatu melawan perusahaan. Masyarakat Sungai Tohor tak mau hutan alam rusak jika pe­rusahaan beroperasi di wilayah mereka. Sementara jika hutan rusak, tanaman sagu yang jadi topangan masyarakat juga akan musnah.

“Masyarakat mulai resah ketika mengetahui ada SK Kementerian Kehutanan yang mengeluarkan izin pembukaan HTI di kawasan hutan Desa Sun­gai Tohor pada 2007,” kata Abdul Manan yang juga menulis petisi Blusukan Asap Joko Widodo.

Diceritakan Manan, pada Agustus 2008, pihak perusa­haan mulai membuka kanal sepanjang 30 km. Mengetahui hal itu, beberapa kepala desa di Kecamatan Tebing Tinggi pun berusaha membentuk forum kepala desa demi menyiapkan kekuatan melawan perusahaan tersebut. Namun saat itu, upaya yang dilakukan gagal.

“Kemudian pada 2009, masyarakat Tebing Tinggi Timur bergabung dengan WALHI Riau bersama-sama melawan keberadaan perusahaan. Sejak tahun itu, masyarakat semak­in banyak yang bergabung,” ujarnya.

Meski saat itu masyarakat ter­us berjuang, hasil yang dicapai masih jauh dari memuaskan. Baru pada 2014, masyarakat membuat petisi untuk Presid­en, Blusukan Asap Jokowi ke Riau. Pasalnya, saat itu terjadi kebakaran hutan yang luar bia­sa di Kecamatan Tebing Tinggi Timur dengan luas hampir 2 ribu ha di lokasi perusa­haan yang tengah dikerjakan menjadi HTI. Termasuk kebun sagu milik masyarakat. Bahkan saat itu antara api yang mem­bakar lahan gambut dengan rumah warga hanya berajak tiga meter. Dengan kondisi itu, selain harus berjibaku menyelamatkan rumah, warga juga terdampak asap selama lebih kurang sepekan akibat kebakaran tersebut. Baru pada 29 Oktober 2014, petisi sampai ke telinga presiden.

“Kami sengaja membuat petisi Blusukan Asap Jokowi ke Riau, karena pada 2014 itu terjadi kebakaran hutan yang luar biasa yang terjadi di Kecamatan Tebing Tinggi Timur dengan luas hampir 2 ribu ha di lokasi perusahaan yang tengah dikerjakan untuk menjadi HTI,” sebutnya.

Sebulan setelah petisi tersebut dibuat, Presiden Joko Widodo menanggapi petisi itu dan akhirnya datang langsung ke Desa Sungai Tohor. Dalam kunjungannya, Presiden menyebut hak masyarakat akan tetap diberikan kepa­da masyarakat. Mendengar hal itu, masyarakat semakin bersemangat terus melakukan perlawanan kepada pihak perusahaan.

Setahun setelahnya, pada Desember 2015, Menteri Ling­kungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya menerbitkan keputusan menteri tentang pencabutan izin perusahaan atas lahan seluas 10.390 ha. Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Hutan Desa untuk tujuh desa di Kecamatan Tebing Tinggi Timur seluas 10.700 ha terbit pada November 2017.

Setelah skema hutan desa diberikan, jelas Manan, pere­konomian masyarakat kian membaik. Begitu pula prilaku warga untuk menjaga hutan. Sebab, masyarakat bisa tenang mengelola lahan yang secara aturan legal dengan skema hutan desa tersebut.

“Untuk segi ekonomi secara otomatis juga meningkat. Yang dahulunya hanya ada dua kilang sagu, saat ini sudah ada 14 kilang sagu. Tentu produksinya juga meningkat. Salah satu faktor banyaknya kilang sagu ini karena bahan baku yang melimpah dan juga permintaan sagu basah yang cukup tinggi,” ujarnya.

Pengolahan tual sagu di kilang milik masyarakat Desa Sungai Tohor Kabupaten Kepulauan Meranti. Foto : Soleh Saputra

Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Desa Sungai Tohor, Zamhur men­gatakan, melalui skema hutan desa yang telah diberikan pemerintah, masyarakat akan mengelolanya kembali dengan menananam tanaman hutan eks lokasi yang telah diolah oleh perusahaan. Selain tanaman hutan, masyarakat tentunya akan menanam pohon sagu di sela-selanya.

“Saat ini kami juga sudah mulai melakukan penanaman, bibit tanaman hutan yang kami tan­am adalah bantuan dari pihak luar. Sedangkan kalau bantuan dari pemerintah sendiri sampai saat ini belum ada,” katanya.

Sebagai langkah awal dalam pengelolaan hutan desa, setiap pemanenan sagu, masyar­akat akan menyetorkan pajak pembangunan desa ke Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD).

“Satu tual sagu yang dipanen, akan dikenakan pajak sebesar Rp500 untuk pembangunan desa,” jelasnya.

Sekarang, setelah permasa­lahan penguasaan lahan oleh perusahaan beres, masyarakat Sungai Tohor menghadapi persoalan baru, yakni, masifnya produksi sagu basah. Sejauh ini, masyarakat belum bisa mem­produksi sagu basah menjadi tepung sagu dan produk turunan lain karena ketiadaan sarana dan prasarana. Padahal jika sagu yang dijual sudah dalam bentuk tepung, atau produk turunan lain, harga jual produk pun turut meningkat. Ini lantaran harga jual sagu kering lebih mahal daripada sagu basah.

Kepala Badan Perenca­naan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Kepu­lauan Meranti Makmun Murod mengatakan, untuk membantu petani mengatasi kendala pengolahan sagu, pihaknya berencana menggagas pendirian pusat industri pengolahan sagu terpadu. Pembangunan pusat pengolahan sagu itu, pemer­intah kabupaten bekerja sama dengan pemerintah pusat dan provinsi dengan total dana sebesar Rp80 miliar.

“Hal tersebut dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, yang mana selama ini proses pengolahan sagu menjadi bahan jadi dilakukan pihak lain. Dengan pola ini juga diharapkan bisa meningkatkan penyerapan tenaga kerja juga. Intinya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Sementara, Izal, warga Sungai Tohor optimistis pembangunan industri pengolahan sagu bisa mendorong perekonomian mas­yarakat. Izal punya keyakinan itu karena sebagian warga sudah membuat industri pengolahan sagu skala kecil dengan hasil yang cukup menjanjikan.

“Ada salah satu warga yang punya alat untuk pengolahan sagu basah menjadi mi sagu dengan melibatkan beberapa tetangga. Hasilnya cukup men­janjikan, setengah kilogram mi sagu bisa dijual dengan harga Rp8 ribu. Namun memang pro­duksinya masih terbatas karena baru sebatas industri rumahan,” ujarnya.

Namun Izal juga menyayang­kan, perhatian pemerintah terutama Kabupaten Kepulauan Meranti ke Sungai Tohor baru cukup intensif setelah Presiden datang. Sebelumnya, pemerin­tah hanya menarik pajak dari hasil penjualan sagu basah masyarakat tanpa ada mem­berikan kontribusi lain yang bisa dirasakan masyarakat.

Ekspansi Pertambangan Nikel Picu Deforestasi

Penambangan nikel di Halmahera Tengah tak hanya mengakibatkan deforestasi. Ia membikin aliran air sungai menjadi keruh, banjir bandang, hingga merampas kehidupan warga yang selama ini

Yang Rusak karena Tambang Nikel Halmahera

Aliran sungai di Halmahera Tengah tercemar akibat deforestasi penambangan nikel. Air sungai terkontaminasi, sehingga tidak lagi bisa dikonsumsi maupun untuk menjalankan ritual keagamaan. Oktaviana Kristin

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.