Hanya Bisa Jadi Penonton di Kampung Sendiri

Salah satu gapura menuju camp milik KSJ yang ada di sekitar Desa Girisako. Foto: Soleh Saputra

Hamparan tanaman kelapa sawit yang baru ditanam hing­ga yang berumur 10 tahun tampak seluas mata meman­dang. Beberapa warga yang dijumpai di lokasi juga terlihat sibuk memanen sawit.

DARI logat bahasa dan tampilan fisik bisa jadi penan­da, kalau mereka bukan warga asli Desa Girisako, Kecama­tan Logas Tanah Darat, Ka­bupaten Kuantan Singingi, Riau. Mayoritas masyarakat Girisako berasal dari Pulau Jawa, yang mengikuti pro­gram transmigrasi pada 1983 silam.

Menurut warga, para pe­manen sawit berasal dari Su­matera Utara. Mereka yang kini bermukim di kawasan perke­bunan sengaja didatangkan pengelola perkebunan kelapa sawit, Koperasi Soko Jati (KSJ). Lokasi perkebu­nan yang mereka tanam adalah kawasan hutan bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) milik PT HSL. Izin yang dipegang perusahaan telah dicabut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Desember 2015 lalu setelah tak terurus dan sempat terjadi kebakaran hebat.

Lokasi bekas HPH PT HSL seluas 30. 667,51 hektare dan 9. 586, 37 hektare yang berada di Kabupaten Kuantan Singingi semestinya tak boleh ditanami kelapa sawit. Tapi oleh para pemodal besar alias cukong, lokasi eks HPH ditanami sawit dengan pengelolaan perkebunan nan rapi layaknya perusahaan perkebunan kelapa sawit legal. Para pemodal menanam sawit di sana dengan klaim mengatasnamakan warga.

Salah seorang warga Girisako, Suwardi mengatakan, KSJ mulai menanam sawit di lokasi saat ini pada 2003 lalu. Semenjak koperasi mengusahakan perkebunan sawit, masyarakat desa hanya bisa me­nonton lahan yang berstatus kawasan hutan dieksploitasi. “Kami selama ini hanya jadi penonton. Padahal banyak juga warga Girisako yang tidak memiliki kebun. Malahan beberapa warga harus menjadi buruh di kebun orang untuk bisa mencukupi keperluannya sehari-hari,” katanya.

Suwardi yang juga pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) Girisako menyebutkan, saat ini ada sekitar 100 KK dari 700 KK di Girisako yang tidak mempunyai lahan perkebunan. Kondisi itu kemudian men­dorong masyarakat berpikir mengelola kawasan hutan yang sudah menjadi te­baran perkebunan sawit yang diklaim KSJ.

Sementara pada akhir 2016, ia mendapatkan informasi bahwa di se­kitar desanya ada lokasi yang masuk dalam Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Menurutnya lokasi yang ada dalam PIAPS, termasuk di dalamnya lahan yang dikelola KSJ bisa diusulkan menjadi hutan desa.

“Begitu mendapat informasi tentang pengusulan hutan desa tersebut, kemu­dian langsung saya sampaikan kepada pihak pemerintah desa. Pemerintah desa pun mendengar usulan tersebut langsung mendukung penuh, kemudian juga dilakukan sosialisasi di tingkat dusun hingga diakhirnya didapat kesepakatan untuk membuat proposal pengusulan hutan desa,” ujarnya.

Setelah usulan disepakati bersama, Su­wardi pun ditunjuk menjadi ketua Lem­baga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Girisako. Proposal pengajuan hutan desa juga sudah disampaikan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 6 September 2017 lalu. “Daripada kami selalu jadi penonton selama ini, alangkah bagusnya kalau masyarakat langsung yang mengelola. Untuk itu, dari hasil musyawarah bersama dengan pihak pe­merintah desa akhinya disepakati untuk dilakukan pengusulan hutan desa di eks area konsesi PT HSL tersebut dengan luas sekitar 6.485 ha,” katanya.

Salah satu camp Koperasi Soko Jati (KSJ) yang ada disekitar desa Giri Sako, Kacamatan Logas Tanah Darat, Kuansing. Foto: Soleh Saputra

Dengan bantuan WALHI Riau, pro­posal LPHD Girisako direspon Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya. Bahkan pada Februari 2018 lalu, Menteri Siti meninjau langsung lo­kasi bekas area konsesi PT HSL tersebut. Kemudian beberapa bulan setelah itu, petugas dari Kemeterian LHK juga datang untuk melaksanakan verifikasi teknis dan pencocokan peta. Namun hingga saat ini masyarakat belum mendapatkan kabar terkait pengusulan hutan desa tersebut.

”Harapan masyarakat SK hutan desa bisa segera didapatkan, karena rencana kami di lokasi yang kami usulkan tersebut akan ditanami tanaman yang sesuai krite­ria hutan desa. Termasuk penetapan zona inti yang murni akan ditanami tanaman hutan kembali,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Badan Pem­berdayaan Desa Girisako, Sainuddin mengatakan, jika nantinya usulan hutan desa disetujui, pihaknya akan segera menyusun rencana pengelolaan hutan desa sesuai acuan yang disyaratkan pe­merintah. Nantinya, semua masyarakat desa akan dilibatkan untuk mengelola hutan desa jika izin sudah dikantongi warga Girisako.

“Kalau usulan kami tersebut diterima, maka akan dibagi porsi pengelolaannya termasuk dengan pihak adat yang ada di Kecamatan Logas Tanah Datar. Jadi akan dikerjasamakan dengan ninik mamak. Bahkan pekerja dari cukong-cukong yang ada di dalamnya jika mau juga akan dilibatkan dalam pengelolaan hutan desa agar mereka tidak kehilangan pekerjaan nantinya,” sebutnya.

Wakil Direktur Eksekutif WALHI Riau, Fandi Rahman menyebut, kegiatan KSJ menanam sawit di lokasi dekat Desa Girisako sebagai praktik ilegal. Pasalnya, lokasi yang ditanami sawit tersebut masih berstatus HPH dan kawasan hutan. Sementara dari penelusurannya, koper­asi Soko Jati kerap mengatasnamakan masyarakat adat.

“Selama ini KSJ mengatasnamakan koperasi yang dimiliki masyarakat sekitar. Pada kenyataannya, penggunaan nama koperasi itu juga hanya kedok saja. Karena kepemilikannya hanya satu orang. Selama ini jika akan dilakukan penegakan hukum, pihak KSJ menjadikan masyarakat sebagai benteng bahwa yang dikelola tersebut adalah koperasi yang dimiliki masyarakat dan dikelola oleh adat,” jelasnya.

Fandi menambahkan, secara hukum berdirinya kebun KSJ tersebut juga berada di lokasi yang salah karena status lokasi masih kawasan hutan dan bukan Area Penggunaan Lain (APL) yang menjadi syarat untuk pendirian lokasi perke­bunan. Selain KSJ, di lokasi eks HPH tersebut saat ini juga banyak dikelola oleh cukong-cukong dengan luas lahan puluhan hingga ratusan hektare.

“Karena banyaknya cukong di eks HPH, hal ini yang menunda Dirjen PSKL Kemen LHK belum mengesahkan usulan hutan desa di Girisako. Karena PSKL ingin Dirjen Penegakan Hukum KLHK mel­akukan penyelesaian kepemilikan ilegal terlebih dahulu baru nantinya dilakukan penerbitan SK hutan desa. dan saat ini Dirjen Penegakan Hukum masih melaku­kan pemeriksaan berkas untuk nantinya bertindak,” katanya.

Ketua Koperasi Soko Jati, Sarkawi mengaku tengah mengajukan usulan kepada pemerintah untuk memutihkan status lahan yang mereka kelola. Saat ini menurutnya, lokasi perkebunan sudah masuk dalam zona Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Riau.

“Lahan di KSJ yang masuk holding zone seluas 2.600 hektare, tapi masih ada lagi sisanya yang belum masuk dan saat ini masih saya urus di Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau. Anggota KSJ sekarang sekitar 400-an dari beberapa wilayah termasuk masyarakat Pangean dan juga warga eks transmigrasi,” jelasnya. Penelurusan Riau Pos di lokasi eks HPH. KSJ mengelola perkebunan selayaknya korporasi resmi. Untuk masuk ke kawasan perkebunan pun, warga harus melintasi pos penjagaan dan portal yang dijaga oleh sekuriti. Jika bukan bekerja dan warga sekitar yang dikenali petugas keamanan, orang sembarangan tak akan diperkenankan masuk ke lokasi.

Artikel ini telah diterbitkan di Riau Pos dan diedit kembali untuk dimuat di Jaring.id

Ekspansi Pertambangan Nikel Picu Deforestasi

Penambangan nikel di Halmahera Tengah tak hanya mengakibatkan deforestasi. Ia membikin aliran air sungai menjadi keruh, banjir bandang, hingga merampas kehidupan warga yang selama ini

Yang Rusak karena Tambang Nikel Halmahera

Aliran sungai di Halmahera Tengah tercemar akibat deforestasi penambangan nikel. Air sungai terkontaminasi, sehingga tidak lagi bisa dikonsumsi maupun untuk menjalankan ritual keagamaan. Oktaviana Kristin

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.