Jurnalisme Investigasi di Asia: Perlawanan, Transformasi, dan Solidaritas di Tengah Meningkatnya Tantangan

Secara historis, jurnalisme di Asia bukan sekadar sarana penyampaian informasi; praktik ini juga telah menjadi landasan intelektual bagi perjuangan melawan kolonialisme, otoritarianisme, dan ketimpangan sosial. Pada abad ke-19 dan ke-20, dari Bengal hingga Tokyo, Manila hingga Istanbul, banyak intelektual menggunakan surat kabar sebagai wahana perlawanan dan menyebarkan cita-cita jurnalisme, modernisasi, kesadaran publik, serta kebebasan.

Jurnalisme di Asia saat ini dikepung oleh struktur negara otoriter, penyensoran, dan ancaman misinformasi digital. Meski demikian, jurnalisme juga sedang didefinisikan ulang oleh generasi muda. Mereka dipersenjatai dengan perangkat media baru dan tetap menggunakan jurnalisme sebagai metode untuk meminta pertanggungjawaban penguasa. Selain itu, ruang redaksi di Asia juga menganalisis data dan informasi serta menggunakan pendekatan storytelling yang mengedepankan aspek visual — langkah yang dilakukan untuk menarik audiens baru agar dampaknya lebih besar.

Dengan populasi dan keragaman ideologinya, Asia berfungsi sebagai laboratorium unik dalam lanskap media global. Di benua yang luas ini, jurnalisme, terutama jurnalisme investigasi, melampaui perannya sebagai penyampai informasi kepada publik; jurnalisme sering kali menjadi alat utama untuk meminta pertanggungjawaban rezim otoriter, mengungkap korupsi, dan mendokumentasikan ketidakadilan. Namun, ketika menjalankan peran tersebut, jurnalis menghadapi setumpuk tantangan seperti ancaman fisik, pengawasan digital, dan tekanan finansial. Menurut Indeks Kebebasan Pers Dunia 2025 yang dirilis Reporters Without Borders, sebagian besar negara Asia dinilai memiliki tantangan kebebasan pers yang “sangat serius”. Selain itu, tujuh dari 10 negara dengan skor global terendah berada di Asia: Rusia, Vietnam, Turkmenistan, Afghanistan, Iran, Suriah, Tiongkok, dan Korea Utara. Hanya tiga negara, Taiwan, Armenia, dan Timor-Leste, yang dinilai oleh RSF berada dalam kondisi “memuaskan.”

Di banyak negara dengan kondisi pers yang buruk, media terpaksa beroperasi di bawah kendali penuh negara atau bahkan ditindas sepenuhnya. Selain itu, iklim kebebasan pers di Asia sedang menuju ke arah yang salah akibat meluasnya tendensi otoriter, penyensoran internet, dan meningkatnya tekanan terhadap jurnalis.

Namun, kondisi tidak sepenuhnya suram secara universal. Beberapa negara dengan warisan jurnalisme independen yang lebih kuat menunjukkan tanda-tanda positif. Yasuomi Sawa, Executive Director Japan’s Journalism Practitioners’ Forum (J-Forum), mengatakan bahwa liputan investigasi di negara tersebut “mendapatkan momentum” dan semakin diakui dalam penghargaan nasional lantaran kemampuannya mengungkap kebenaran yang disembunyikan. Namun, ia juga menunjukkan kalau di negara tersebut, jurnalisme masih terdapat tantangan spesifik. Mulai dari “pola pikir pejabat pemerintah yang tertutup, kurangnya konsep “publik” dalam bahasa Jepang (seperti informasi publik, debat publik, atau go public), meluasnya orientasi anonimitas di masyarakat, dan kendala yang dihadapi media yang mencoba merilis informasi dengan identitas asli.”

Hasilnya, jurnalisme investigasi di Asia tidak hanya bertahan, tetapi juga mengukir ceruk pasar melalui perangkat, kolaborasi, dan strategi ketahanan baru. Di negara-negara seperti Filipina, Indonesia, dan Thailand, platform media independen terus mendapatkan dukungan publik. Rappler (Filipina) dan Tempo (Indonesia) sebagai contoh, mampu memengaruhi opini publik melalui investigasi komprehensif terhadap korupsi, kerusakan lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Tumbangnya rezim represif di Suriah dan Bangladesh juga telah memberikan secercah harapan bagi era baru jurnalisme yang lebih terbuka dan independen.

Untuk mengidentifikasi beberapa tantangan terberat yang dihadapi jurnalisme investigasi di kawasan Asia. GIJN, melalui proyek Asia Focus, mensurvei lebih dari 40 anggotanya di seluruh benua. Banyak tanggapan yang mengusung tema serupa: tekanan otoriter, pembatasan hukum, sensor negara dan perusahaan, ancaman intimidasi dan kekerasan, serta kesulitan ekonomi. Para editor dan reporter di mengatakan bahwa investigasi yang mereka lakukan mencakup berbagai aspek. Mulai dari korupsi dan pencucian uang yang merajalela, hingga penelisikan praktik perdagangan manusia dan eksploitasi lingkungan. Saat ini, berbagai topik penting tersebut semakin dibutuhkan oleh audiens.

“Melalui Asia Focus, kami mengapresiasi kerja luar biasa para anggota komunitas di seluruh kawasan di tengah lingkungan kebebasan pers yang kompleks,” ujar Emilia Díaz-Struck, Direktur Eksekutif GIJN. “Kami meluncurkan Asia Focus beberapa minggu sebelum, untuk pertama kalinya di Asia, menghelat Global Investigative Journalism Conference bersama Malaysiakini. Kami berharap ini (bisa) menjadi ruang solidaritas dan berbagi pengetahuan yang akan berkontribusi untuk terus memberdayakan komunitas jurnalisme investigasi di kawasan ini dan di seluruh dunia.”

 

Asia Tengah dan Kaukasus

Tindakan keras terhadap kebebasan pers kembali terjadi di Kaukasus. Di tengah protes massal di Georgia, para legislator baru-baru ini menyetujui undang-undang “agen asing” yang kontroversial. Masyarakat sipil dan organisasi media khawatir kalau aturan tersebut bisa digunakan untuk membungkam perbedaan pendapat dan pers. Di Azerbaijan, lebih dari selusin jurnalis telah ditangkap atas tuduhan penyelundupan mata uang karena menerima dana yang diduga ilegal — yang merupakan dana hibah untuk jurnalisme dari para donor internasional.

“Di sini, jurnalisme investigasi juga berarti ketahanan,” kata Fatima Karimova, salah satu pendiri dan Pemimpin Redaksi Mikroskop Media, anggota GIJN yang berada di pengasingan. “Bekerja dengan akses terbatas terhadap data dan sumber daya, para jurnalis mengandalkan kreativitas, sumber alternatif, dan kolaborasi lintas batas untuk mengungkap korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, serta penyalahgunaan kekuasaan. Hal itu seringkali menimbulkan risiko pribadi dan profesional yang signifikan.”

Tantangan bagi jurnalisme juga terjadi di Asia Tengah. Setelah investigasi terhadap potensi korupsi pemerintahan presiden Kirgistan dipublikasikan, para reporter Temirov Live ditangkap. Beberapa di antaranya dipenjara dan didakwa dengan tuduhan “menciptakan kelompok kriminal” serta “menghasut kerusuhan massal”. Pengadilan Kirgistan juga memerintahkan penutupan media investigasi tersebut dan anggota GIJN lainnya, Kloop. Belum lama ini, menurut CPJ dan Amnesty International, dua juru kamera Kloop dijatuhi hukuman lima tahun penjara atas “tuduhan palsu”.

“Media-media ditutup atau ditekan secara finansial, sementara undang-undang baru dijadikan senjata untuk membungkam suara-suara kritis,” ujar pemimpin redaksi Kloop, Anna Kapushenko. “Terlepas dari tekanan-tekanan ini, jurnalisme investigasi di Kirgistan tetap menonjol karena keberanian, ketahanan, dan komitmennya terhadap akuntabilitas.”

Ruslan Myatiev, editor Turkmen.news, anggota GIJN yang diasingkan, juga menyoroti keterbatasan akses data sebagai hambatan lainnya bagi liputan yang ditujukan untuk mengawasi jalannya kekuasaan. “Liputan investigasi di Asia Tengah saat ini masih dalam tahap awal,” kata Myatiev. “Pemerintah tidak mempublikasikan data apa pun, sehingga mengungkap korupsi dan pelanggaran hukum menjadi sangat sulit. Namun masyarakat, termasuk beberapa pejabat tinggi, juga muak dengan korupsi. Mereka adalah sumber utama data dan informasi kami, yang kemudian bisa menjadi bahan bahan liputan investigasi yang bagus.”

 

Turki

Jurnalisme investigasi di Turki berada di bawah tekanan hukum, politik, dan ekonomi yang berat. Namun, berkat upaya jurnalis independen, kelompok masyarakat sipil, dan berbagai yayasan, jurnalisme tetap berjalan. Salah satu perkembangan terpenting adalah disahkannya undang-undang disinformasi tahun 2022, yang mengkriminalisasi “informasi palsu atau menyesatkan” dan dianggap dapat membahayakan ketertiban umum, keamanan, atau kesehatan masyarakat. Undang-undang ini telah dipakai untuk meluncurkan ribuan penyelidikan dan menuntut puluhan jurnalis. Ahmet Kanbal  dari Mezopotamya, İsmail Arı dari BirGün, dan beberapa jurnalis lainnya telah menghadapi kasus hukum karena meliput pemilu, dampak gempa bumi, atau lembaga negara.

Turki berada di peringkat sangat rendah dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2025 (peringkat 159 dari 180 negara). Lembaga regulator telah dimanfaatkan untuk mengenakan denda, menarik iklan pemerintah, memblokir akses ke konten, dan menangguhkan lisensi siaran dari media yang kritis atau berafiliasi dengan oposisi. Risiko fisik, penangkapan, pelecehan daring dan luring, serta ancaman hukum menjadi hal umum. Jurnalis yang meliput protes, korupsi, dan bencana seperti gempa bumi Februari 2023 dihalangi, ditahan, dan mengalami berbagai bentuk penindasan. Survei terbaru Turkish Journalists’ Union menemukan bahwa 43% jurnalis yang menjadi responden telah mengalami penyensoran, dengan jurnalis yang lebih muda dan perempuan lebih sering terdampak. Sementara itu, 25% responden mengatakan mereka sering melakukan swasensor.

Di tengah tren tersebut, lembaga independen dan nirlaba menjadi sangat penting.  Uğur Mumcu Investigative Journalism Foundation misalnya, melatih dan memelihara keterampilan serta etika di kalangan jurnalis muda, bahkan ketika media arus utama dibatasi. Selain itu, para jurnalis pemenang penghargaan internasional menunjukkan pentingnya jurnalisme di Turki dan dampaknya di tingkat internasional. Media sosial dan platform digital memungkinkan jurnalisme investigasi menjangkau khalayak yang lebih luas, tetapi ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi dan independensi tetap menjadi hambatan.

 

India dan Sri Lanka 

Lanskap media di kawasan ini telah mengalami perubahan signifikan sedekade belakangan. Kontrol pemerintah menguat dan mayoritas media arus utama di India, secara khusus telah menjadi wahana propaganda partai berkuasa. Banyak televisi berita terkemuka yang dimiliki oleh perusahaan memproduksi berita untuk menguntungkan pemerintah. Dalam kondisi tersebut, jurnalisme investigasi telah terpinggirkan dan bertahan di luar siklus berita arus utama.

Pada saat yang sama, kebebasan pers di kawasan ini terus menurun. Para jurnalis dihadapkan pada undang-undang pencemaran nama baik, penghasutan, dan antiteror. Ancaman fisik dan pelecehan daring juga kerap terjadi. Tantangan ekonomi juga sangat serius. Peringkat India dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia, yang menurun dalam beberapa tahun terakhir, berada di peringkat 151 pada 2025, sedangkan Sri Lanka berada di peringkat 139.  Tekanan pemerintah dan pengiklan membuat media arus utama menghindari liputan investigasi. Akibatnya, liputan investigasi semakin bergantung  pada media yang didanai donor dan berbasis langganan.

“Media investigasi di Asia sering menghadapi tekanan finansial yang sangat besar, tindakan keras pemerintah, ancaman hukum, kendali perusahaan, dan serangan disinformasi dari para troll daring,” jelas Mayank Aggarwal, editor di The Reporters’ Collective . “Meskipun menghadapi tantangan tersebut, media di kawasan ini, termasuk banyak organisasi akar rumput, merupakan contoh cemerlang mengenai pencapaian redaksi independen yang gigih mencari sekutu. Untuk mengatasi kendala tersebut, mereka menggunakan perangkat digital, undang-undang kebebasan informasi, berkolaborasi dengan para ahli, dan media sosial untuk mengungkap korupsi, menuntut akuntabilitas, serta melaporkan semua kesalahan yang disembunyikan oleh pemerintah dan perusahaan.”

Platform media digital di India telah menciptakan ruang alternatif bagi berita yang penting bagi publik. Anggota GIJN, The Reporters’ Collective, dikenal karena investigasinya yang mengungkap isu-isu seperti ketidakjelasan obligasi pemilu, penyimpangan skema pemerintah, dan hubungan antara perusahaan dengan politisi; The Scroll dan The Wire telah menyelidiki isu-isu pengawasan, kejahatan lingkungan, dan penyalahgunaan kekuasaan negara; majalah The Caravan menawarkan narasi mendalam tentang kekerasan komunal, peradilan, dan korupsi politik; Newslaundry yang berfokus pada pengawasan media, menyelidiki pola kepemilikan, disinformasi, dan menurunnya independensi editorial.

“Beberapa liputan investigasi yang paling kuat dan berdampak terus terjadi di Asia. Hal ini juga memberikan peluang yang lebih besar bagi jurnalisme kolaboratif,” ujar Dilrukshi Handunnetti, salah satu pendiri  Center for Investigative Reporting Sri Lanka yang merupakan salah satu dari dua anggota GIJN di negara tersebut. Ia mengutip investigasi CIR baru-baru ini yang menghubungkan perubahan iklim dengan meningkatnya kerentanan terhadap demam berdarah sebagai contoh kekuatan jurnalisme inovatif dengan menggabungkan penelitian akademis dan jurnalisme akuntabilitas. Dilrukshi menilai bahwa liputan tersebut adalah pertama kalinya kajian ilmiah terjalin antara isu-isu riil di Sri Lanka. “Liputan ini telah dipuji oleh otoritas kesehatan dan publik,” catatnya.

 

Pakistan

Kebebasan pers di Pakistan selalu menghadapi tantangan. Meskipun peringkatnya dalam indeks Kebebasan Pers Dunia sedikit membaik dalam beberapa tahun terakhir, negara ini masih berada di peringkat ke-158 dan salah satu yang terburuk di dunia.

Meningkatnya sensor oleh negara terhadap semua bentuk media — baik digital, cetak, maupun elektronik — merupakan faktor utama. Selain itu, konsolidasi media oleh perusahaan-perusahaan besar dan model pendapatan yang bergantung pada iklan pemerintah, menciptakan lingkungan yang sulit bagi jurnalisme yang akuntabel.

Terlepas dari batasan-batasan tersebut, media digital independen tetap hadir. Situs investigasi berbasis data, Fact Focus, telah menerbitkan investigasi mendalam mengenai korupsi yang melibatkan pejabat tinggi. Situs-situs lain seperti anggota GIJN, Lok Sujag, kini meliput berita lokal di kota-kota kecil di negara ini. Ada juga jurnalis yang memilih untuk menjadi independen dengan memanfaatkan media sosial, terutama YouTube. Mereka menghasilkan uang dan mengelola kanal media mereka sendiri yang lebih personal serta bebas dari batasan perusahaan.

Negara telah mencoba melawan tren yang disebut terakhir dengan merevisi undang-undang tentang konten digital dan pencemaran nama baik di ruang daring, serta melakukan pelecehan secara langsung. Salah satu pendiri Fact Focus tidak tinggal di Pakistan adalah contohnya. Keluarganya yang masih berada di negara tersebut menghadapi ancaman hukum yang oleh banyak aktivis dan jurnalis dianggap sebagai upaya intimidasi dan pembungkaman. Pemerintah bahkan telah memblokir situs web Fact Focus.

 

Timur Tengah

Jurnalis investigasi di dunia Arab menghadapi tantangan serius setiap hari: serangan terarah, konflik mematikan, hukum yang kejam, dan pendanaan yang terbatas. Meskipun ada beberapa titik terang, seperti liputan berani para wartawan di Gaza dan kebangkitan kembali kebebasan pers setelah tumbangnya rezim Assad di Suriah, hambatan besar masih membayangi.

Ancaman terhadap pers paling nyata terjadi di Palestina. Pengeboman dan serangan darat Israel yang terus berlanjut di Gaza sejak dua tahun lalu diperkirakan telah menyebabkan lebih dari 65.000 korban sipil sejauh ini. Israel melarang jurnalis luar negeri meliput kematian yang terus bertambah dan diklasifikasikan oleh laporan komisi PBB sebagai “genosida.” Committee to Protect Journalists (CPJ) dan the International Federation of Journalists (IFJ) telah mendokumentasikan pembunuhan lebih dari 200 pekerja media di Gaza sejak pecahnya perang, beberapa di antaranya menurut CPJ sengaja ditargetkan oleh militer Israel.

Di negara-negara Timur Tengah lainnya, seperti Yordania, Qatar, dan Lebanon, serangkaian undang-undang pers yang ketat telah menghambat liputan investigasi. Sepanjang 2023 hingga 2025, media independen di Lebanon, seperti Daraj, diawasi ketat oleh jaksa penuntut negara.

Kondisi di kawasan ini diperparah dengan pembekuan dukungan keuangan USAID yang tiba-tiba dan menghancurkan. Hal tersebut mengakibatkan banyaknya penangguhan atau pemotongan program jurnalisme. Rawan Damen, direktur pelaksana ARIJ, anggota GIJN, menjelaskan “,Pembekuan dana ini berarti hilangnya sekitar 20% dari anggaran tahunan kami yang seharusnya mendukung beberapa proyek, termasuk beasiswa jurnalisme lingkungan dan forum tahunan.”

Terlepas dari tantangan-tantangan ini, para jurnalis Timur Tengah bekerja keras untuk menuntut pertanggungjawaban para pelaku kejahatan. ARIJ dan lembaga lainnya menyelidiki pembunuhan jurnalis Gaza dalam The Gaza Project. Di Suriah, kolaborasi antara media berita internasional dan media lokal Suriah menunjukkan bagaimana rezim pemerintah sebelumnya menculik dan memperdagangkan anak-anak. Selain itu, Reuters menerbitkan seri berita utama tentang rezim baru pasca-Assad, termasuk detail tentang pembantaian dan korupsi. Investigasi lintas batas BBC baru-baru ini juga mengungkap perdagangan dan eksploitasi perempuan Uganda di Teluk Persia.

 

Tiongkok, Hong Kong, dan Taiwan

Dengan kebebasan pers yang secara konsisten berada di peringkat terendah di dunia, Tiongkok merupakan negara yang paling banyak memenjarakan lebih banyak jurnalis sejak 2014. Saat ini, industri berita Tiongkok yang mapan maupun tradisi jurnalisme investigasinya yang unik berada di ambang kepunahan. Partai Komunis Tiongkok (PKT) memegang kendali penuh atas lanskap media. “Tembok Api Besar” Tiongkok terus menguat, mendorong ekosistem digital yang tertutup. Semua konten media sosial — mulai dari publikasi dan distribusi, hingga umpan balik pengguna — disensor ketat di seluruh platform seperti WeChat, Zhihu, dan Xiaohongshu.

Seiring pengebirian media dan penutupan media swasta secara sistematis, hanya sedikit yang tersisa dari jurnalisme kritis di Tiongkok. Mereka berada dalam kelompok-kelompok kecil yang terdesentralisasi. Operasi-operasi ini biasanya dideinstitusionalisasi, meliput topik yang sangat spesifik, dan tersebar secara tidak merata di media sosial. Banyak dari pemimpin situs berita ini adalah jurnalis profesional yang dilatih selama era keterbukaan 2003-2013. Mereka kini mengangkat topik-topik yang tabu bagi media pemerintah, seringkali dengan balutan karya nonfiksi seperti sastra atau kisah pribadi yang mengeksplorasi nasib dan pilihan individu.

Semakin banyak jurnalis Tiongkok yang memilih atau terpaksa mengasingkan diri. Di antara yang paling menonjol adalah mantan reporter CCTV, Chai Jing dan Wang Zhi’an. Keduanya memiliki lebih dari satu juta pengikut di YouTube sehingga memberi mereka pengaruh signifikan yang berada di luar kendali negara. Selain tokoh-tokoh terkemuka ini, platform media anonim dan independen seperti Mang Mang Magazine dan WOMEN bermunculan beberapa tahun belakangan. Pendirinya adalah para jurnalis yang ingin melanjutkan kerja jurnalistik mereka dari luar negeri.

Kebebasan pers di Hong Kong juga merosot tajam sejak disahkannya Undang-Undang Keamanan Nasional pada 2020. Dua media pro-demokrasi terbesar telah ditutup beberapa tahun lalu dan Radio Television Hong Kong (RTHK) telah bertransformasi dari lembaga penyiaran publik menjadi corong resmi negara. Meskipun media independen berbahasa Mandarin kini terancam punah, tetapi beberapa media investigasi baru seperti The Collective bermunculan. Seiring dengan banyaknya warga Hong Kong yang pindah ke luar negeri, gelombang organisasi media yang dikelola oleh eksil juga bermunculan. Beberapa di antaranya adalah The Chaser News, Flow HK Magazine, Green Bean Media, dan Photon Media .

Di Taiwan, kebebasan pers jauh lebih baik dibandingkan dengan Tiongkok daratan atau Hong Kong. Indeks Kebebasan Pers di negara tersebut berada di peringkat ke-24. Meski demikian, Taiwan masih menghadapi penyebaran disinformasi dan dampak dari news avoidance, kata Sherry Lee, COO dan mantan pemimpin redaksi The Reporter, anggota GIJN. “Tantangannya berbeda, tetapi sama-sama mendalam,” kata Lee. “Infiltrasi disinformasi dan pengaruh Tiongkok yang meluas. Kekuatan-kekuatan tersebut menyebabkan banyak orang menghindari berita dan mendekati informasi dan jurnalisme dengan skeptisisme yang mendalam — terkadang bahkan dengan nihilisme.”

 

Bangladesh

Jurnalisme investigasi masih berada di bawah tekanan di Bangladesh, meskipun penggulingan pemerintahan Liga Awami yang represif baru-baru ini telah memicu optimisme. Indeks Kebebasan Pers Dunia negara tersebut telah melonjak 16 poin dalam setahun terakhir. Namun, media tetap waspada terhadap rezim baru dan berhati-hati dalam menerbitkan liputan investigasi di tengah gejolak dan situasi politik yang tidak menentu.

Kehati-hatian ini sebagian disebabkan oleh kelanjutan Undang-Undang Antiterorisme yang disahkan pada 2009. Aturan tersebut kerap digunakan sebagai senjata untuk menyerang dan mengintimidasi pers. Jurnalis dituntut dan dipenjara karena menerbitkan berita yang mempermalukan penguasa atau mengungkapkan perbedaan pendapat. Investigasi data Daily Star menemukan bahwa 266 jurnalis di negara tersebut menghadapi tuntutan pidana terkait protes nasional pada 2024 yang berujung pada penggulingan pemerintah. Lebih dari 20 di antaranya kini mendekam di dipenjara. Jurnalis terkemuka Manjarul Alam Panna adalah salah satu contohnya. Ia ditangkap saat memberikan ceramah di sebuah seminar dan dijerat dengan Undang-Undang Antiterorisme.

Kondisi para jurnalis di Bangladesh yang terus bekerja di tengah situasi menantang, memunculkan kekhawatiran soal menurunnya jumlah liputan investigasi. Banyak media sengaja mengikuti kebijakan “tunggu dan lihat” untuk menavigasi masa transisi politik. Pendekatan ini membuat beberapa jurnalis frustasi karena membatasi usaha mereka mengejar dan menerbitkan berita-berita yang kritis meskipun memiliki akses ke informasi penting.

 

Asia Tenggara

Jurnalisme investigasi di Asia Tenggara sangat beragam. Di negara-negara seperti Myanmar, Vietnam, Laos, dan Kamboja, pers independen tidak berfungsi karena pemerintah memiliki kendali penuh atas media. Negara-negara lain, seperti Thailand (peringkat 85) dan Malaysia (peringkat 88), mengalami peningkatan moderat dalam peringkat Kebebasan Pers Dunia RSF. Beberapa media akuntabel yang kuat merupakan anggota GIJN, Malaysiakini, yang akan menjadi tuan rumah bersama Konferensi Jurnalisme Investigasi Global tahun ini dan Prachatai yang berbasis di Bangkok. Sementara itu, negara seperti Singapura dan Indonesia mengalami penurunan kebebasan pers yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Di Indonesia, negara dengan penduduk terbanyak di kawasan ini, berbagai bentuk kekerasan—mulai dari pelecehan verbal dan intimidasi, kekerasan fisik, kriminalisasi, hingga pembunuhan—terus menimpa jurnalis.  Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut sebagian besar serangan dilakukan oleh polisi. Serangan siber seperti doxxing, pembajakan akun, dan serangan DDoS juga terus menyasar jurnalis dan media massa.

Situasi yang memprihatinkan ini diperparah oleh runtuhnya pendanaan berkelanjutan untuk media independen akibat perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh Presiden AS Donald Trump. “Setelah perintah eksekutif Trump yang menyebabkan penutupan USAID, sejumlah media independen di Indonesia kehilangan dukungan untuk melakukan liputan investigasi yang berkualitas,” jelas Fransisca Susanti, direktur eksekutif JARING, anggota GIJN, yang menawarkan pengembangan kapasitas dan produksi konten bagi jurnalis dan media di Indonesia.

“Media umumnya tidak memiliki anggaran khusus. Sebagian besar liputan investigasi di Indonesia berasal dari sumber eksternal, termasuk pendanaan internasional,” jelas Bayu Wardhana, Sekretaris Jenderal AJI. Akibatnya, ia memperingatkan akan adanya penurunan dalam produksi liputan yang mengawasi kebijakan negara tentang sumber daya alam, yang seringkali “,merusak lingkungan dan dikuasai oleh segelintir orang.”

Terlepas dari tantangan-tantangan ini, Bayu yakin jurnalisme investigasi masih berkembang pesat berkat kegigihan proyek-proyek seperti IndonesiaLeaks dan Klub Jurnalis Investigasi (KJI). Harapan juga terus tumbuh, ujar Susanti, berkat “kolaborasi yang tidak hanya dilakukan antarmedia, tetapi juga antara media dan kelompok masyarakat sipil untuk menjadikan liputan investigasi lebih berdampak.”

 


 

Editor regional GIJN untuk wilayah Asia berkolaborasi dalam penulisan laporan ini. Mereka termasuk Pinar Dağ, Olga Simanovych, Deepak Tiwari, Amel Ghani, Majdoleen Hasan, Joey Qi, SK Tanvir Mahmud, dan Kholikul Alim.

Nyuk, ilustrator tulisan ini, lahir di Korea Selatan pada 2000. Selain bekerja sebagai illustrator, saat ini ia sedang menempuh pendidikan di Departemen Pendidikan Seni Terapan di Universitas Hanyang, Seoul, Korea Selatan. Sejak pameran di Hidden Place pada 2021, ia telah berpartisipasi dalam berbagai pameran ilustrasi. Minat utama Nyuk adalah menggambar tangan, yang merepresentasikan nilai-nilai dunia seninya.

Tulisan ini merupakan bagian dari Asia Focus yang dipublikasikan Global Investigative Journalism Network (GIJN) untuk menyambut Global Investigative Journalism Conference 2025 yang diselenggarakan bersama dengan Malaysiakini.

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.