Lebam masih tampak di wajah Anto, bukan nama sebenarnya. Jaring.id menemui Anto pada Selasa, 25 Juni 2019, lebih dari sebulan sejak kerusuhan 21-23 Mei di Jakarta pecah. Tanda kekerasan aparatur represif tersebut melekat, seperti ingatannya akan peristiwa penghadangan mobil ambulans yang dilakukan puluhan anggota Brigade Mobil (Brimob) di sekitar Rumah Sakit Pelni, Jakarta Barat.

“Nah ini dia mau kabur,” teriak salah satu anggota Brimob pada Selasa siang, 21 Mei 2019, seperti yang ditirukan Anto.

Dari dalam mobil ambulans yang juga membawa sejumlah pasien luka, Anto diseret menuju asrama Korps Brimob di Petamburan. Kemudian ia digelandang ke Kepolisian Resor Jakarta Barat dengan mata dan tangan dibebat lakban. Polisi menuduhnya sebagai salah seorang perusuh jelang pengumuman hasil pemilihan presiden dan wakil presiden 2019-2024.

Gue pertama ditarik. Gue teriak ‘bukan (perusuh) pak.’ Diperiksa KTP. Ditanya ‘dari mana lu?’ Mereka nggak mau dengar alasan. Langsung digebukin,” ungkapnya.

Mula-mula Anto tenang saja menjalani pemeriksaan di Polres Jakbar, sekalipun berulangkali mendapat pukulan. Ia meyakini hanya diperiksa sebagai saksi. Namun, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang disodorkan kepadanya berkata lain. Dalam lembaran kertas itu, tertera status tersangka. Oleh penyidik, ia diminta segera menerima status hukum tersebut tanpa pendampingan hukum.

Gue lihat kok tersangka. Nggak mau gua tandatangan. Gue ditarik, lalu dipukul lagi. Disuruh tandatangan,” terangnya.

Lebih dari sepekan Anto mendekam di tahanan Polres Jakbar bersama puluhan orang lain yang diduga terlibat kerusuhan 21-23 Mei di Jakarta. Ia pulang menikmati kegembiraan Lebaran dengan nyeri di bagian kaki, pinggang hingga punggung.

“Gue pertama ditarik. Gue teriak ‘bukan (perusuh) Pak.’ Diperiksa KTP. Ditanya ‘dari mana lu?’ Mereka nggak mau dengar alasan, langsung digebukin,” — Anto

***

Nasib Abdul Hakim Malih tak seberuntung Anto. Ia harus melewatkan Lebaran di ruang perawatan rumah sakit. Jauh dari rumah dan kedua anaknya.

Ketika kami temui pertengahan Juni lalu, Hakim sedang duduk sembari menatap langit-langit ruang perawatan. Tubuhnya dibalut pakaian rumah sakit berkelir biru tua, sementara tangan kanannya masih digips. Ia menunggu keluarganya menjemput.

Hakim tak menyangka jika keberangkatannya ke Jakarta dengan menggunakan pesawat pada Selasa, 21 Mei 2019 bakal berujung tragis. Ia dan seorang temannya terbang dari Bangka Belitung untuk ikut serta dalam aksi damai di depan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta.

Nahas, kerusuhan pecah ketika ia sedang berada di Masjid Al Islah, Petamburan. Tak ada hal lain yang diingatnya setelah itu. Tahu-tahu dia mendapati dirinya di salah satu ruang perawatan di RS Polri, Kramat Jati.

“HP, duit, KTP, dompet dan semua isi dalam tas hilang. Makanya (ketika itu) saya tidak bisa hubungi keluarga,” terangnya, Jumat, 14 Juni 2019.

Dari polisi, Hakim mendapat cerita kalau pada awalnya ia dirawat di Rumah Sakit Pelni, Petamburan.

***

Didid Siswanto, Kadiv Pengembangan, Pemasaran dan Humas RS Pelni menyebut pihaknya melakukan koordinasi dengan berbagai pihak tiga hari sebelum penetapan pemenang pemilihan presiden oleh KPU. Polisi turut diundang untuk berdiskusi mengenai rencana respons darurat jika terjadi kerusuhan.

“Tanggal 22 itu semua sumber daya sudah siap. SDM, sampai fasilitas, obat, akses, sudah kita diskusikan,” terangnya, Rabu, 26 Juni 2019.

Sebanyak 82 korban kerusuhan dirawat di RS Pelni. Korban luka ringan mencapai 61 orang, 13 orang luka sedang, 5 luka berat. Sisanya sudah tewas saat dibawa ke RS.

RS Pelni, imbuhnya, memiliki fasilitas dan sumber daya yang mampu merawat korban dengan kondisi separah apapun hingga kondisinya membaik. Saat kerusuhan pecah, mereka menangani seluruh pasien yang datang, tanpa terkecuali.

Meski demikian, ada tujuh pasien yang dirujuk ke RS lain. Rinciannya, dua korban tewas, dua korban luka berat, dan tiga korban anggota kepolisian. Ketujuhnya, menurut Didid, dibawa ke RS Polri, Kramat Jati atas permintaan dari kepolisian.

Didid tak tahu alasan jelas dibalik permintaan tersebut. Namun, menurutnya polisi mendatangi setiap korban, memeriksa wajah mereka, lalu menunjuk dua dari lima orang korban luka berat dan membawanya dengan ambulans. Hal tersebut dilakukan ketika penanganan korban oleh dokter belum tuntas sepenuhnya.

“Saya melihat ada target mereka (polisi) ya,” ujarnya.

Salah satu korban luka berat yang dibawa polisi adalah Abdul Hakim Malih yang mengalami patah tangan kanan dan luka sayatan yang panjangnya sekitar 15 centimeter.

Ia dan dua korban kerusuhan 21-23 Mei lainnya yang masih dirawat di RS Polri hingga pertengahan Juni lalu. Salah satunya Markus Ali.

***

Seseorang yang berada di lokasi kerusuhan bersama Markus pada 21-22 Mei 2019 menceritakan kondisi yang terjadi pada tengah malam Selasa, 21 Mei 2019. Polisi sempat melakukan penyisiran dan mendekati mereka yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari gedung Bawaslu. Kartu Tanda Penduduk diminta ditunjukkan. Markus menunjukkan fotokopi KTP miliknya lantaran KTP aslinya hilang. Polisi lalu bertanya apakah ada demonstran yang masuk ke daerah tersebut.

Meski tak ditangkap, tetapi mereka tak bisa bergerak ke mana-mana lantaran polisi yang berjaga tak memerbolehkan mereka beranjak. Salah satu rekannya kemudian diperbolehkan pulang setelah Markus meminta izin kepada salah satu polisi.

Rabu Malam 22 Mei 2019, Markus sempat menelpon Rika, bukan nama sebenarnya, untuk mengajaknya menonton demonstrasi. Tawaran tersebut ditolak, tetapi keduanya terus berkabar melalui telepon.

Gas air mata yang dilontarkan polisi untuk memukul mundur pendemo turut membuat mata Markus perih. Ia mengolesi pelupuk mata dengan odol sembari mencari jalan agar bisa menjauhi lokasi rusuh.

“Dia sudah cari jalan, tetapi diblokade semua sama Brimob, nggak bisa keluar,” tutur Rika.

Markus memilih bertahan dan melepas lelah di area parkir Smart Service Parking, Kampung Bali bersama empat rekannya. Malam macam itu biasa dijalaninya sejak kamar indekosnya di daerah Tanah Abang tandas dilalap api.

Rika menelepon Markus pada dini hari Kamis, 23 Mei 2019, dini hari. Panggilannya diangkat, tetapi tak ada suara di ujung telepon. Setelah itu, telepon tak lagi diangkat, meski Rika terus berusaha menghubungi Markus hingga matahari perlahan memanjat langit Jakarta.

***

Pada 31 Mei 2019, tirto.id mendatangi lokasi terakhir Markus diketahui tidur. Bercak darah masih menempel di batako dan tiang besi berwarna hitam dan kuning yang ada di area parkir.

Dugaan kekerasan yang dilakukan polisi saat menyisir daerah tersebut mendorong Amnesty International Indonesia untuk cari tahu. Berdasarkan wawancara dengan beberapa narasumber diketahui kalau polisi melakukan tindak kekerasan kepada setidaknya lima orang di lahan kosong milik Smart Service Parking di Kampung Bali. Aksi tersebut berlangsung pada 23 Mei sekitar pukul 5.30 pagi.

Bercak darah korban kerusuhan masih menempel di tiang palang Smart Service Parking di Kampung Bali. | Foto: Dieqy Hasbi (tirto.id)

Keterangan narasumber diperkuat oleh video yang merekam kekerasan aparat dan sempat viral di media sosial. Amnesty memastikan kesahihannya setelah melakukan pemeriksaan metadata dan keaslian video.

“Kami meminta negara untuk melakukan investigasi, membawa anggota Brimob ke muka hukum yang menyiksa korban saat melakukan penyisiran di Kampung Bali, dan memberikan pemulihan kepada para korban. Momentum ini juga penting untuk mengingatkan otoritas di Indonesia agar kejadian penyiksaan seperti di Kampung Bali tidak terjadi lagi ke depannya,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

***

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyebut Markus sebagai korban dengan kondisi terparah. Hingga 17 Juni 2019 ia masih dirawat di ruang ICU dan belum bisa diajak bicara. Kami dua kali berusaha menyambangi RS Polri untuk tahu kondisi Markus dari dekat. Usaha pertama pada hari Idul Fitri, 5 Juni 2019 berujung gagal.

Kali kedua mendatangi RS Polri pada pertengahan Juni lalu, kami hanya bisa melihat Markus selama beberapa saat. Seorang perawat meminta untuk melihat Markus dari meja resepsionis saja. Penjenguk tak diperbolehkan berinteraksi sebab Markus dalam pengawasan Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Meski kondisinya masih tak berdaya, Markus telah ditetapkan sebagai salah satu tersangka kasus kerusuhan 21-23 Mei. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo, dalam konferensi pers tanggal 26 Mei 2019 mengatakan, ia dan 10 orang lainnya tergabung dalam satu kelompok perusuh.

Markus dituding ikut melempar batu ke arah polisi saat kerusuhan pecah. Lantaran hal tersebut ia turut dicokok saat aparat kepolisian melakukan penyisiran di Kampung Bali pada Kamis, 23 Mei 2019.

Dalam kesempatan lainnya, Dedi juga berjanji bakal mengusut menyelidiki dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota polisi saat melakukan penangkapan terduga pelaku kerusuhan. Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) sudah diterjunkan untuk melakukan penyelidikan.

Sebulan lebih setelah janji terucap, Dedi belum mau menjelaskan hasil penyelidikan. Ditemui di Mabes Polri, Kamis, 27 Juni 2019, ia berkelit “Engko sik, engko.” Dalam bahasa Indonesia artinya nanti dulu.

* liputan ini merupakan hasil kolaborasi antara Jaring.id dan tirto.id

Reporter: Abdus Somad, Debora Blandina Sinambela (Jaring.id), Dieqy Hasbi Widana, Mawa Kresna (Tirto)
Editor: Muhammad Kholikul Alim, Damar Fery (Jaring.id) dan Fahri Salam (Tirto)

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.