Kolaborasi Media dan LSM Investigasi Kasus Lingkungan

JAKARTA, Jaring.id – Sebuah liputan investigasi membutuhkan kolaborasi dan sinergi dengan sejumlah pihak jika menginginkan liputan tersebut berdampak. Kolaborasi tidak hanya bisa dilakukan antarjurnalis atau antarmedia, tapi juga antara jurnalis dengan pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat.

Peluang kolaborasi antara media dan LSM inilah yang mencoba difasilitiasi oleh Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi (JARING). Bertempat di Jakarta, pertengahan Februari 2017, jurnalis dari empat media dan pegiat LSM dari empat LSM lingkungan di Aceh, Riau, dan Pontianak mengikuti pelatihan liputan investigasi.

LSM memiliki kelebihan dalam pengumpulan dan analisa data terhadap kasus yang mereka advokasi/awasi, sementara media memiliki kelebihan dalam melakukan verifikasi terhadap data yang diperoleh dalam koridor objektivitas jurnalistik.

“Bisa dibilang LSM itu lebih spesialis sementara jurnalis generalis,” kata Nabiha Shahab, jurnalis lingkungan dan akademisi yang menjadi salah satu pembicara dalam pelatihan Februari lalu.

Hasil kerja LSM jadi salah satu modal yang bisa dimanfaatkan jurnalis dalam melakukan investigasi sehingga tidak perlu memulai dari nol. Namun dalam memanfaatkan data ini, jurnalis harus tetap patuh pada kaidah jurnalistik. Verifikasi data wajib dilakukan.

Mustafa Silalahi, tim Investigasi majalah Tempo, mengatakan ketika mendapat data, harus dipilah mana sifatnya dokumen negara dan tidak bisa dipublikasi seperti informasi pribadi. Misalnya keterangan memuat nomor rekening pribadi seseorang tidak boleh dipublikasi.

“Kadang kita merasa heroik untuk menampilkan data ekslusif padahal data itu masuk rahasia negara atau informasi yang sifatnya pribadi,” kata jurnalis yang akrab dipanggil Moses ini.

Informasi yang sumbernya tidak jelas atau keterangan yang “katanya” tidak boleh dimuat. Apalagi untuk standard investigasi, mengutip sumber anonim juga punya syarat ketat. Laporan in-depth bisa menggunakan anonim jika terdapat minimal dua anonim yang mengatakan hal sama dan kedua sumber tidak punya relasi satu sama lain.

Untuk liputan investigasi, penggunaan sumber anonim bisa dilakukan lewat penyamaran. Jurnalis yang melakukan penyamaran akan disebut sebagai sumber anonim. Tetapi semua informasi yang diperoleh jurnalis selama penyamaran bisa dipublikasi jika telah dikonfirmasi ulang oleh jurnalis lain kepada narasumber lewat wawancara biasa.

Data dan informasi belum cukup untuk sebuah liputan investigasi. Moses mengatakan, data dan informasi harus dielaborasi secara jurnalistik sehingga ada cerita yang bisa disampaikan. Laporan jurnalistik menekankan bagaimana dan mengapa pelanggaran dilakukan.

Pendapat yang sama disampaikan Jurnalis lingkungan, Harry Surjadi. Menurutnya, tulisan lingkungan harus mampu mengugah orang lain untuk bergerak. Caranya dengan membangkitkan emosi pembaca lewat bentuk tulisan bercerita (story telling).

“Seperti sebuah cerita, ada penjahat, ada jagoan dan solusi. Bukan sekadar menguasai isu, punya data atau punya wawancara. Kita harus bercerita. Itu yang dapat menggerakkan,” katanya.

Sementara kemampuan menyampaikan pesan yang menggugah salah satu kelemahan LSM. Akibatnya berbagai pesan, penelitian dan hasil kerja LSM kurang dikenal dan dipahami secara luas sehingga tidak mendapat perhatian dan dukungan masyarakat. Jika dilakukan kolaborasi, jurnalis bisa menutup celah itu.

Perencanaan

Baik media maupun LSM memerlukan perencanaan yang matang sebelum melakukan investigasi. Bagi Yudi Prinyanto dari Greenpeace Indonesia, perencanaan harus rinci dan detail untuk memaksimalkan investigasi lapangan. Greenpeace punya standard apa saja yang harus direncanakan sebelum dilakukan investigasi, diantaranya analisis tugas, analisis sasaran, format laporan, keamanan, logistik dan peraturan.

Dengan mengetahui sasaran utama (informasi yang harus didapat) maka ditentukan teknik investigasi. Apakah cukup melakukan observasi dan wawancara atau perlu penyamaran. Yudi mengatakan penyamaran dilakukan jika pengumpulan informasi tidak bisa dilakukan dengan cara biasa.

Selain penyamaran, informasi diperoleh dengan membangun jaringan dan relasi yang baik dengan sumber sehingga muncul kepercayaan memberikan informasi. Hal yang paling ditekankan untuk tidak dilakukan yaitu melakukan penyuapan dalam mendapat informasi.

Dalam investigasi jurnalistik, menurut Moses, jurnalis sering lemah dalam perencanaan dan turun ke lapangan tanpa bekal cukup. Hasilnya investigasi tidak maksimal dan membahayakan nyawa jurnalis. Atau ketika sudah punya perencanaan yang baik, ternyata di lapangan menemukan hal lain yang lebih menarik sehingga jurnalis berpaling dari rencana awal.

“Seharusnya jurnalis tetap pada rencana dan target yang ditentukan sejak awal. Kalau ada informasi atau tema yang menarik saat dilapangan, sebaiknya itu disimpan untuk rencana liputan selanjutnya,” jelasnya.

Jurnalis juga sering abai dengan rencana keselamatan. Tingkat risiko harus bisa dihitung sejak awal sehingga jurnalis membuat pagar-pagar keamanan. Di sekitar lokasi penyamaran harus ada orang yang bisa memberi bantuan, atau jika kemungkinan terburuk penyamaran ketahuan harus tahu jalan keluar.

“Nyawa harus jadi prioritas dari segalanya. Karena tidak ada penghargaan apapun yang setimpal dengan nyawa Anda,” demikian Moses.

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.