Cerobong PLTU Suralaya tampak mengerdilkan bangunan dan lahan terbuka lain di sekitarnya. Tak terkecuali rumah dan ladang yang digarap Rebudin dan Nafas Sawi. Pasangan yang usianya sudah lebih dari 60 tahun tersebut bertanam kacang, singkong, dan pisang di lahan kosong milik Perum Perhutani.

Belakangan, keduanya tidak lagi bisa mengandalkan hasil kebun. Pertumbuhan kacang di kebun garapannya tak sesuai harapan. Selain jarang, ukurannya lebih kecil dari biasanya. Begitu pula dengan singkong dan ubi jalar. Sementara pohon pisang yang tumbuh, kerap tak berbuah. Sekalipun berbuah, teksturnya keras dan panjangnya tak lebih dari 10 sentimeter.

“Kebanyakan gagal panen,” ujar Sawi.

Edi Suryana (41), petani lain di sekitar PLTU Suralaya mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, kondisi pertanian di Suralaya memburuk. Para petani sudah jarang yang menanam sorgum lantaran kondisi lahan yang tak lagi subur. Sedangkan buah kelapa yang semula berukuran besar, kini makin menciut. Meski begitu, Edi tidak yakin apa yang menyebabkan hal itu. Hanya saja, menurutnya, perubahan itu terjadi setelah pembangkit lisrik beroperasi.

“Suralaya ini sekarang cuacanya sudah tidak nyaman. Debu PLTU kalau malam beterbangan dan bikin napas sesak,” ungkapnya.

PLTU Suralaya memiliki tujuh unit pembangkit dengan kapasitas total 3,4 gigawatt (GW). Pembangkit ini merupakan salah satu PLTU tertua di Indonesia. Umurnya sudah mencapai 36 tahun. Di Banten terdapat 21 pembangkit yang tersebar di pelbagai wilayah. Salah satu yang terbesar saat ini ialah PLTU Jawa 7. Pembangkit berkapasitas 2000 megawatt tersebut baru beroperasi pada akhir tahun lalu. Sementara PT Indo Raya Tenaga yang merupakan perusahaan patungan (join venture) antara PT Indonesia Power—anak usaha PT Pembangkit Listrik Nasional (Persero) dengan Barito Pacifik group bakal membangun PLTU 9 & 10 berkapasitas 2×1.000 megawatt (MW).

Sebagai petani, Edi tidak bisa membayangkan kalau pembangunan PLTU di daerahnya berlanjut. Ia meyakinkan bahwa abu halus (fly ask) sisa pembakaran batu bara lah yang menyebabkan lahan pertaniannya tak lagi subur. “Kami berharap pembangunan PLTU 9-10 dihentikan,” kata Edi.

Penurunan produksi pertanian tersebut diakui Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Banten, Agus Tauchid. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Cilegon 2020 menunjukkan produksi pertanian seperti padi, jagung, kedele dan pisang rentang waktu 2015-2019 mengalami penurunan. Pada 2015 hasil produksi tercatat mencapai 12.950 ton, 2016 sempat naik jadi 13.397 ton, kemudian 2017 turun lagi 13.277 ton. Angka produksi tersebut kemudian merosot menjadi 8.284 ton pada 2018, dan 2019 hanya naik sebesar 9.792 ton di tahun berikutnya.

“Bisa jadi faktor air di sana, tapi persisnya secara tupoksi itu tanyakan Dinas Lingkungan Hidup yang jadi kewenangan mereka. Beberapa periode ini kab/kota karena faktor air, alih fungsi lahan,” kata Agus saat dihubungi Jaring.id dan Suara.com, Jum’at 20 November 2020.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Banten, Husni Hasan tidak menjawab pertanyaan yang dilayangkan melalui pesan singkat maupun sambungan telepon.

Sementara itu bagian hubungan masyarakat (humas) PT Indo Raya Tenaga, Hamim mengklaim bahwa proyek PLTU Jawa 9-10 ramah lingkungan. Pembangkit listrik baru tersebut akan menggunakan teknologi ultra-supercritical yang diklaim dapat mengurangi emisi. “PLTU Jawa 9-10 mengendalikan dampak udara lingkungan dengan memasang peralatan-peralatan terkini berstandar internasional,” kata Hamim.

Salah satu alat yang digunakan ialah Low NOx Burner dan Selective Catalytic Reduction (SCR). Menurut Hamim, alat tersebut berguna untuk mengendalikan NOx atau gas nitrogen monoksida dan nitrogen dioksida. Kemudian Electrostatic Precipitator (EP) yang berfungsi mengendalikan partikel dan Flue Gas Desulfurization (FGD) Plant yang berarti dapat menyaring sulfur oksida (SOx). “Proyek ini adalah pertama di Indonesia yang akan memasang peralatan SCR dalam rangka pengendalian emisi yang lebih baik,” Hamim menjelaskan.

Klaim tersebut disangsikan Guru besar Universitas Sultan Agung Tirtayasa, Yayat Ruhiat. Menurutnya, emisi hasil pembakaran batu bara di Suralaya tak terhindarkan. PLTU Jawa 9 & 10 yang terletak di Suralaya akan menambah panjang daftar sumber polutan di wilayah Banten. Saat ini terdapat 8 PLTU dengan total kapasitas 4.025 MW yang beroperasi tak jauh dari pemukiman masyarakat. Dengan begitu, maka pengoperasian PLTU Jawa 9 & 10 diperkirakan akan memperburuk kualitas udara di Suralaya dan Provinsi Banten secara umum.

“Pertanian sekitar pasti terdampak fly ash. Itu kan partikular, jatuhnya dekat. Tentu efeknya ke tanaman buah-buahan seperti pisang dan kelapa pasti berbuah. Seperti pohon pisang pasti mati,” ungkapnya.

Menurut Yayat, hasil pembakaran batu bara menghasilkan NOx dan belerang dioksida. Kedua senyawa tersebut menjadi penyumbang terbesar terbentuknya hujan asam serta polusi yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer). Penjelasan tersebut sesuai dengan pernyataan International Energy Agency (IEA). Lembaga ini mencatat sebaran emisi karbon dioksida CO2 global yang bersumber dari batu baru saat ini mencapai 44 persen. Selain merusak pertanian, juga dapat memicu perubahan iklim melalui emisi gas rumah kaca.

“Selain itu, polusi batu bara oleh PLTU juga menghasilkan paparan bahan kimia berbahaya seperti arsen dan merkuri. Ini yang sangat berdampak pada kesehatan masyarakat sekitar,” ujar Yayat.

Merujuk laporan Greenpeace, proyek pembangkit listrik batubara senilai US$ 3,5 miliar tersebut berpotensi mengakibatkan lebih dari 4000 kematian dini sepanjang 30 tahun masa pengoperasian. Bahkan akibat buruknya kualitas udara saat ini, angka penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) Kota Cilegon tinggi. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Cilegon sejak 2018 sampai dengan Mei 2020 terdapat 118.184 kasus ISPA di Kota Cilegon.

Oleh sebab itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengajukan gugatan terhadap Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Banten Nomor : 570/2/ILH.DPMPTSP/III/2017 tentang Pemberian Izin Lingkungan kepada PT Indonesia Power Rencana Kegiatan Pembangunan PLTU Suralaya Unit 9-10 (2 x 1.000 MW) Beserta Fasilitas Penunjangnya.

Gugatan yang dilayangkan Rabu, 4 November 2020 itu dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Serang dengan nomor perkara 51/G/LH/2020/PTUN.SRG. Walhi menilai PLTU Suralaya gagal mematuhi standar emisi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal yang mengatur emisi belerang dioksida (SO2), nitrogen oksida (Nox), partikulat (PM) dan merkuri (Hg).

“Gugatan ini didaftarkan untuk kepentingan perlindungan lingkungan hidup dari dampak negatif yang berpotensi ditimbulkan oleh pembangunan dan operasi PLTU Suralaya 9-10. Untuk itu, kami meminta Gubernur Provinsi Banten untuk membatalkan Izin Lingkungan PLTU Suralaya 9-10,” kata Ronald Siahaan, kuasa hukum penggugat dalam keterangan persnya beberapa waktu lalu.

Sebelum mendaftarkan gugatan ke PTUN, Walhi telah mengajukan surat keberatan terhadap izin lingkungan PLTU Jawa 9 & 10 kepada Gubernur Banten, Wahidin Halim pada Rabu, 5 Agustus 2020. Namun, surat keberatan tersebut tidak berbalas. Pun dengan banding administratif kepada Presiden Joko Widodo yang dilayangkan Selasa, 1 September 2020.


Laporan berjudul “Imbas Abu PLTU Terhadap Pertanian” merupakan bagian akhir dari tiga laporan yang menyoroti dampak pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Banten. Sebelumnya, Jaring.id menerbitkan laporan berjudul ”Suam-Suam Bahaya di Teluk Banten” dan “Melawan Bahang Kiriman PLTU-7.”

Penerbitan laporan ini dilakukan Jaring.id bersama Suara.com atas dukungan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Trend Asia.

Ekspansi Pertambangan Nikel Picu Deforestasi

Penambangan nikel di Halmahera Tengah tak hanya mengakibatkan deforestasi. Ia membikin aliran air sungai menjadi keruh, banjir bandang, hingga merampas kehidupan warga yang selama ini

Yang Rusak karena Tambang Nikel Halmahera

Aliran sungai di Halmahera Tengah tercemar akibat deforestasi penambangan nikel. Air sungai terkontaminasi, sehingga tidak lagi bisa dikonsumsi maupun untuk menjalankan ritual keagamaan. Oktaviana Kristin

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.