Simalakama Tambang Emas Ilegal di Aceh

Pertambangan emas ilegal yang marak di Aceh setelah perdamaian Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, membuat pihak-pihak berwenang mulai dari Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Polda Aceh, dan Kodam Iskandar muda kebingungan—jika tidak bisa disebut kewalahan. Pertambangan ilegal yang mulai marak sejak 2005, melibatkan banyak orang, baik itu warga Aceh maupun warga luar Aceh, perputaran uangnya pun besar, dan diakui atau tidak menghidupkan ekonomi di wilayah-wilayah yang ada pertambangan ilegal. Aktivitas pertambangan ilegal itu telah merusak ekosistem dan menyingkirkan banyak petani dan pendulang emas tradisional. Tetapi jika pertambangan ilegal itu ditutup, pemerintah dan aparat penegak hukum dihadapkan dengan persoalan pengangguran dan aksi protes massa yang bisa menimbulkan gejolak sosial. Berikut ini petikan wawancara dengan Mahdinur, Kepala Bidang Mineral pada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Nanggroe Aceh Darussalam, yang memberikan gambaran tentang kegamangan pemerintah dalam menyelesaikan masalah pertambangan ilegal.

Pertambangan menjadi kewenangan pemerintah provinsi, apa yang menjadi kendala dalam menertibkan pertambangan emas ilegal?

Sudah jelas ilegal mining itu bertentangan dengan hukum dan sulit ditata, saat ini terus berkembang. Pemerintah telah melakukan upaya-upaya koordinasi, ketika masih ada dinas pertambangan di kabupaten juga melakukan koordinasi supaya ini jangan berkembang.

Dalam perjalanannya ternyata itu (tambang emas) semakin berkembang. Kalau dulu mungkin orang perorang dan sekarang sudah menjadi massal, jumlah penambang barangkali sudah ratusan bahkan ribuan.

Hal itu pula yang menjadi kendala yang tidak mudah mudah untuk menertibkan. Tapi jelas mereka melanggar ketentuan. Untuk itu, tentunya kalau ingin ditertibkan bisa dengan tidak boleh menambang ilegal atau mereka dilegalkan mungkin dengan membentuk satu wadah hukum, koperasi atau badan usaha milik daerah atau apapun namanya. Mereka dilibatkan di sana, dilegalkan dan mengikuti prosedur dan ketentuan yang ada.

Siapa yang melakukan penambangan?

Yang saya nilai sekarang, ada yang melakukan penambangan dengan alat berat, itu tidak sekadar mencari hasil untuk makan, tidak lagi. Mereka sudah mencari kekayaan, kelebihan di sana. Karena alat-alat yang digunakan sudah mekanis, seperti eskavator yang harganya sampai miliaran lebih. Kenapa ini bisa, tentu mereka yang gerak di sana mereka yang punya modal.

Yang melakukan kegiatan di sana masyarakat setempat sebagai pekerja. Tapi di belakang mereka, saya melihat indikasi dengan adanya alat-alat eskavator, sudah tentu ada cukong di belakangnya.

Kalau misalnya hanya masyarakat yang mendulang, menggali secara sederhana seperti itu, walau secara ketentuan tidak dibenarkan, tetapi itu hal lain karena untuk sekadar kebutuhan hidup saja. Sekarang ini yang berkembang sudah untuk komersial.

Apakah pernah melakukan razia, misalnya turun tim terpadu yang melibatkan semua unsur?

Sebenarnya begini, untuk melakukan razia dengan tim terpadu harus ada satu koordinasi, tentu ada ketersedian dana pemerintah untuk melakukan itu. Di tahun 2017 sudah diplot dana –dari info awal yang saya terima- untuk itu. Masalahnya penggunaan uang yang mekanisme seperti apa, ini nanti diatur.

Sepanjang 2017, tim belum turun.

Kalau dari tim dinas?

Tim kita sudah beberapa kali turun di tahun 2016. Cuma kita tidak bisa menindak, karena itu ranah hukum pidana. Menghentikan mereka tidak bisa. Kami hanya memberikan arahan saja, (misalnya) ini salah dan melanggar.

Pernah mendapat ancaman waktu tim dinas turun?

Dari pengakuan tim yang pernah turun, tidak ada ancaman secara langsung dan mengarah ke fisik. Tapi ada semacam penolakan oleh mereka di sana kepada tim. Alasannya mungkin mereka merasa kurang nyaman ketika tim kami turun ke sana. Kami turun tim sendiri pada 2016, dan pada tahun ini (2017) belum pernah turun ke sana.

Ada tidak anggota TNI dan POLRI yang membekengi tempat penambangan, pada saat turun tim? Apakah ada ancaman dari mereka?

Sejauh ini, tim yang turun tidak ada yang melapor seperti itu. Yang dilapor hanya, kalau seandainya turun lagi ada rasa ketidaknyamanan dari warga dan penambang di lokasi.

Bagaimana kalau melakukan penutupan tambang?

Harus tim terpadu, tidak mungkin dari ESDM saja. Harus melibatkan pihak penegak hukum.

Penambangnya dari mana saja?

Kita nggak hafal, tapi info masyarakat ada orang-orang luar. Mungkin saja orang suku Jawa yang sudah lama di sana. Tapi kalau saya lihat, mereka ini lebih kepada pekerja, misal operator alat berat. Ada penggerak utama di belakang, pemodal. Ini rata-rata bisa kemungkinannya orang luar Aceh.

Ada laporan keterlibatan anggota TNI, Polri dan mantan kombatan di sana?

Saya tidak tahu (untuk) menjawabnya.

Kira-kira kalau ditutup nantinya, apa upaya pemerintah untuk kesejahteraan warga?

Kalau saya pribadi, mungkin bisa dilegalkan secara prosedur mengikuti ketentuan yang berlaku, dilegalkan dengan mengikuti semua mekanisme. Kalau tidak bisa, ya harus ditutup karena secara ketentuan sudah jelas-jelas itu pidana, sesuai diatur UU.

Persoalannya kemudian, ketika mereka tidak ada mata pencaharian, ketika dihentikan mata pencahariannya, muncul efek gejolak sosial, karena sudah terganggu secara ekonomi.

Terus?

Karenanya, pemerintah ke depan, gubenur baru perlu mencari solusi. Yang jelas kalau pun ini dibenarkan, bisa sesuai aturan. Faktor-faktor yang merusak lingkungan hidup harus betul-betul dikaji kembali. Selama ini yang terjadi menambang tidak terarah, suka-suka hati dia. Ketika diterapkan teknik menambang yang benar, sebagai contoh teknik tambang semprot, itu bisa diarahkan dengan benar, pengaruh lingkungan bisa dijaga, disiapkan amdal untuk mereka, ditata dengan baik, ya kenapa tidak.

Saya melihat seperti ini, yang namanya Peti (pertambangan ilegal), tidak di Aceh aja, tapi di seluruh Indonesia bahkan dunia, susah ditangani (apalagi) karena sudah menjadi massal. Sebaiknya dihentikan total, saya lebih setuju ke situ sebenarnya, tapi pemerintah juga harus melihat agar tidak muncul persoalan lain nantinya.

Apa sumber nafkah yang paling mungkin melihat kondisi wilayah di sana untuk menggantikan aktivitas penambangan ilegal?

Mungkin di situ ada lahan pertanian dan perkebunan, masyarakat harus diberikan bantuan agar lebih produktif, diarahkan ke sana. Pemerintah tidak boleh tutup mata, jika tambang ditutup.

Tapi kalau mereka juga bertahan di situ tidak mau yang lain, pemerintah dapat melegalkan secara ketentuan teknis segala macam, sesuai aturan dan tidak merusak lingkungan.

Berapa potensi kerugian negara di tambang ilegal Aceh Barat?

Yang jelas tidak ada kontribusi dan merusak lingkungan. Sisi lain, mereka ada lapangan pekerjaan. Ada pendapatan di sana. Kerugiannya bisa miliaran pertahun, angka persis saya tidak tahu karena tidak melihat kondisi hasil emas di sana.

Mesin “Impor” Pengeruk Emas Aceh

Edi baru selesai memeriksa kerusakan mesin alat berat jenis eskavator yang rusak. Lalu, warga Medan, Sumatera Utara itu, berjalan kaki dan menunggu tumpangan untuk turun

Kisah Rambut Merkuri dari Aceh Jaya

Peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Sofia, tahun 2014 melakukan penelitian kontaminasi merkuri dari kegiatan pertambangan emas skala kecil di Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya.

Mereka yang Tak Tersentuh di Tambang Ilegal

Burhanuddin, bukan nama sebenarnya, begitu masygul ketika ditanya apa akibat pertambangan emas yang dilakukan di wilayah tempat dia tinggal. Senyumnya masam, karena dia merasakan betul

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.