Karut-marut Sawit di Perbatasan Sulbar – Sulteng

MAMUJU – PT Astra Agro Lestari (AAL) memiliki lima anak perusahaan perkebunan sawit dengan wilayah konsesi di sekitar perbatasan Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. Yang menurut Community Development PT AAL Area Sulawesi I Made Suwana telah beroperasi sejak tahun 1990-an.

Dia menyebutkan, lima anak perusahaan PT AAL tersebut adalah PT Pasangkayu dengan luas Hak Guna Usaha (HGU) sekitar 9.319 hektare beroperasi di Kecamatan Pasangkayu. Kemudian PT Mamuang dengan luas HGU sekitar 8.488 hektare serta PT Letawa dengan luas 7.499 hektare beroperasi di Kecamatan  Tikke Raya Kabupaten Matra.

Selain itu PT Lestari Tani Teladan beroperasi di Kecamatan Baras dengan luas HGU 5.538 hektare dan PT Surya Raya Lestari I beroperasi di Kecamatan Sarudu dengan luas HGU sekitar 6.384 hektare.

Menurut dia, setelah berkembang di Mamuju Utara, PT AAL kemudian melakukan perluasan areal tanaman sawitnya ke Kabupaten Mamuju.

Di Kabupaten Mamuju, I Made Suwana mengklaim PT AAL telah menjadi perusahaan perkebunan sawit terbesar di Provinsi Sulbar. Mereka mengembangkan lagi dua anak perusahaan sawit. Satu perusahaan, yakni PT Surya Raya Lestari II beroperasi di Kecamatan Topoyo dan Budong-Budong Kabupaten Mamuju dengan luas HGU yang dimiliki 5.256 hektare. Perusahaan lainnya bernama PT Badra Sukses dibangun sejak 2000-an dan kini memiliki luas HGU sekitar 1.033 hektare.

Kemudian terjadi konflik antara warga dan PT Mamuang yang juga merupakan anggota group PT AAL, dengan menguasai sekitar 8.488 hektare lahan pertanian milik Kelompok Pertanian Masyarakat (KPM). Kelompok ini tani pesisir ini diketuai Agung.

Dari sekian banyak anak perusahaan PT AAL, dua anak perusahaannya memiliki sejarah panjang konflik penguasaan lahan dengan warga, dan merambah, melakukan usaha pekebunan di dalam kawasan hutan lindung, yakni PT Pasangkayu yang diduga merambah hutan lindung di wilawah Sulawesi Barat Seluas 700 hektar, serta menguasai lahan perkebunan Kakao milik Kelompok Tani Merpati seluas 40 hektar, bahkan perusahaan ini juga telah membuat komunitas Binggi yang merupakan suku pedalaman di Mamuju Utara terusir dari kawasan tempat tinggal dan hidup mereka.

Berdasarkan papan informasi yang ada di lokasi, PT Mamuang memiliki kawasan konsesi di Desa Martajaya, namun pada praktiknya perusahaan ini justru beroperasi di Desa Martasari.

Di lapangan, kegiatan perkebunan PT Mamuang juga menguasai kebun-kebun warga seluas sekitar 2750 hektare termasuk diantaranya milik warga Kecamatan Rio Pakava – Kabupaten Donggala – Provinsi Sulawesi Tengah. Hal ini terjadi sejak tahun 1997. Luas lahan milik petani yang merupakan transmigrasi di Desa Rio Pakava Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah berkisar antara 500 ha – 600 ha.

Protes dan perlawanan mulai dilakukan para petani dari dua kabupaten dan provinsi berbeda sejak sekitar tahun 2010 dikoordinir ketua PKM Agung, yang merupakan warga Mamuju. Protes petani bertujuan menguasai kembali lahan-lahan mereka.

 

Artikel ini telah diterbitkan di Metro Sulawesi, 28 Agustus 2016, dan diedit kembali untuk dimuat di Jaring.id

Ekspansi Pertambangan Nikel Picu Deforestasi

Penambangan nikel di Halmahera Tengah tak hanya mengakibatkan deforestasi. Ia membikin aliran air sungai menjadi keruh, banjir bandang, hingga merampas kehidupan warga yang selama ini

Yang Rusak karena Tambang Nikel Halmahera

Aliran sungai di Halmahera Tengah tercemar akibat deforestasi penambangan nikel. Air sungai terkontaminasi, sehingga tidak lagi bisa dikonsumsi maupun untuk menjalankan ritual keagamaan. Oktaviana Kristin

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.