Haruskah Jurnalis Melakukan Advokasi?

Awal bulan Maret, setengah dari dua bulan masa jabatan saya sebagai pejabat sementara Koordinator Advokasi amaBhungane Centre for Investigative Journalism, sebuah surel tiba. Isinya sebuah dokumen dari pengacara kami yang berisi dua halaman perintah pengadilan. Detil selanjutnya akan saya jelaskan isinya disini karena berkaitan dengan hal penting mengenai advokasi yang dilakukan amaBhungane.

AmaBhungane masyhur karena tulisan investigatifnya yang berbentuk long form. Topik pemberitaan merentang dari politik uang hingga penyalahgunaan kekuasaan di Afrika Selatan yang digarap hingga berbulan-bulan. Beberapa liputannya meraih perhatian publik dan menyabet penghargaan jurnalistik. Sebagai anggota GIJN di tahun 2019 amaBhungane menerima Global Shining Light Award untuk liputan the #GuptaLeaks, sebuah investigasi yang membongkar jaringan korupsi di sekitar mantan presiden Afrika Selatan Jacob Zuma.

Namun, banyak yang tidak mengetahui kalau amaBhungane juga melakukan advokasi. Seperti liputan investigasi, mereka melakukannya dengan intens dan serius. Perlahan, iklim yang baik untuk jurnalisme dibangun.

Melalui pendekatan yang unik dalam melakukan advokasi, seorang staf peneliti yang memahami strategi kebijakan dan juga kampanye, bekerja secara paralel dengan jurnalis yang melakukan investigasi. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan terjaminnya hak informasi yang menjadi aliran darah dari investigasi jurnalistik. Pasalnya, di Afrika Selatan, akses informasi dan kebebasan berpendapat memang dilindungi hukum, tetapi para birokrat, politisi, dan lembaga-lembaga swasta kerap mengingkarinya.

Kiprah bertahun-tahun amaBhungane telah mendorong banyak perubahan kebijakan. Pada 2019 mereka mengusulkan amandemen legislasi (4 buah), pengajuan hak membuka informasi (13 kali) dan permintaan informasi pemegang saham perusahaan (lebih 40 buah), serta litigasi strategis untuk isu kebebasan pers (4 kasus aktif hingga saat ini).

Namun, harus dipahami bahwa amaBhungane tidak melakukan “jurnalisme advokasi” atau advokasi tentang jurnalismenya. Banyak pembaca investigasi amaBhungane terkait korupsi Zuma mengorganisir aksi protes di jalanan mendorong sang presiden untuk mengundurkan diri, tetapi AmaBhungane tidak ikut bergabung.

Jalan Panjang Menuju Transparansi

Sebagian besar pekerjaan yang dilakukan amaBhugane jauh dari berkilau. Sama seperti arti amaBhungane yang berarti -ibhungane- atau kumbang kotoran atau kumbang tinja.

Seperti halnya banyak jurnalis di seluruh dunia, amaBhungane juga menggunakan hak untuk memperoleh informasi sebagai alat untuk melakukan investigasi. Namun, hampir dua pertiga permintaan informasi tersebut ditolak atau tidak dipedulikan. Walhasil, banyak informasi yang tidak bisa dibuka hingga investigasi dipublikasikan.

Untuk menyiasati hal tersebut, amaBhugane memiliki khusus seorang koordinator advokasi yang tidak terkait sama sekali dengan pekerjaan redaksi. Tugasnya, memastikan para pejabat bandel agar memberikan tanggapan dan respons yang positif, atau membuat gugatan. Dengan cara tersebut, amaBhungane tidak hanya berhasil mengejar informasi untuk kepentingan sebuah investigasi jurnalistik, tetapi juga mendorong prinsip transparansi.

Kembali ke dokumen perintah pengadilan yang saya sebutkan pada awal tulisan. Sejak 2015, amaBhungane berusaha mencari informasi detail tentang hak penambangan batu bara di Provinsi Mpumalanga bagian timur Afrika Selatan. Mereka memulainya dengan mengajukan permintaan informasi, yang kemudian ditolak. AmaBhungae lalu secara resmi mengajukan gugatan dan berhasil. Namun, dokumen yang diminta tidak pernah diberikan.

Pada 2017, pengadilan telah memerintahkan amaBhungane menerima dokumen itu, tetapi hal itu tidak pernah terjadi. Akhirnya pada penghujung 2019, hakim memutuskan bahwa pejabat yang terkait telah melakukan penghinaan terhadap pengadilan. Butuh waktu yang lama hingga bulan Maret itu sampai pengacara amaBhungane mendapatkan salinan terkait keputusan tersebut. Dua orang pejabat terkait diperintahkan untuk menyerahkan dokumen atau membayar denda sebesar US$ 5.900 dengan uang pribadi.

Wabah Covid-19 telah membuat kedua pejabat itu bisa sedikit mengulur waktu dan seandainya saja dokumen itu bisa dikeluarkan tentu hal ini tidak perlu terjadi. Namun, jurnalis lainnya yang mengontak departemen pertambangan dan meminta informasi tersebut menemukan pejabat lain yang lebih baik dan melayani di ujung telepon. Benar-benar membutuhkan waktu lima tahun untuk mewujudkan semua ini terjadi. Namun, seperti saya bilang: perjalanan panjang.

Pertarungan Kebijakan Besar dan Kecil

Sebagian pekerjaan advokasi amaBhungane adalah kasus besar, menciptakan sejarah, dan membuat preseden. Advokasi yang sedang berlangsung saat ini adalah menggugat Mahkamah Konstitusi tentang Peraturan Pengawasan Negara terhadap warga. Hal ini bakal mengungkap kasus menahun tentang instrumen mata-mata milik negara. Gugatan ini dilakukan setelah terbongkarnya kasus penyadapan telepon milik Sam Sole, seorang rekan kami.

Jika kasus ini berhasil dimenangkan pada persidangan rendah, maka perubahan besar pada perlindungan pribadi jurnalis investigasi dan publik secara umum akan terjadi.

Namun, sebagian besar pekerjaan advokasi amaBhungane bersifat senyap dan jauh dari sorotan. Beberapa diantaranya adalah pengajuan proses kebijakan ke parlemen, permintaan penghapusan pasal kerahasiaan dalam sebuah RUU terkait energy, atau memohon ketentuan yang lebih transparan dalam aturan pendanaan partai politik. Semuanya dijalankan tanpa bersinggungan dengan pekerjaan jurnalistik.

Pekerjaan advokasi dan investigasi berjalan paralel satu sama lain, walaupun tidak ada ‘garis api’ yang kaku seperti yang misalnya kita dengar tentang bagaimana pemisahan antara berita dan opini di New York Times. Para staf amaBuhgane tetap berbicara satu sama lain untuk bertukar kabar dan perkembangan baru.

Pada hari-hari awal amaBhungane, pekerjaan advokasi bersifat paruh waktu; dahulu, koordinator advokasi membagi waktunya antara liputan dan advokasi. Pengaturan tersebut tidak memuaskan dan cenderung saling merugikan. Dengan memiliki koordinator advokasi khusus, organisasi bisa membuat batasan sehingga jurnalis amaBhungane tidak perlu melibatkan diri dalam pekerjaan lobi dan kampanye. Selain itu, beban para jurnalis akan berkurang dan mereka tetap dapat meneruskan pekerjaan jurnalistiknya.

Namun, amaBhungane dan para jurnalisnya menjadi sangat rentan untuk dicap partisan, terlebih dengan munculnya disinformasi yang terorganisir dan kampanye rekayasa yang menyerang lembaga ini beserta  media lain yang mengawali investigasi #GuptaLeaks.

Sangat ironis sebetulnya ketika amaBhungane yang telah menyatakan dengan jelas program advokasinya dipandang sebagai partisan dan berkampanye. Sementara itu, banyak sekali media massa komersial di Afrika Selatan yang tak mampu mengatur benturan kepentingan hingga sebuah laporan mempertanyakan etika mereka. Saya telah mengamati  dan bekerja sama dengan program advokasi amaBhungane  selama satu dekade sebagai aktivis hak atas informasi dan telah menyaksikan berkali-kali organisasi ini telah membuktikan integritasnya.

Kalau mau dicari kekurangannya, mungkin keengganan organisasi ini untuk terlihat sebagai ‘pejuang’ menjadikan perjuangan advokasi mereka menjadi senyap dan para troll Twitter menjadi sangat senang bekerja dengan narasi yang mereka ciptakan sendiri.

Terjangan Covid-19

Krisis  global akibat Covid-19 membuat advokasi untuk jurnalisme menjadi semakin penting. Sebagai contoh, di samping tuntutan kuat perlindungan hukum untuk prinsip keadilan  yang terbuka, pandemi telah menimbulkan tantangan  transparansi yang serius  dalam sistem pengadilan Afrika Selatan. Akses untuk mendapat catatan pengadilan sangat sulit didapat bahkan saat  sebelum Covid-19 dan sekarang menjadi semakin parah.

Semenjak sidang pengadilan berubah menjadi panggilan video, Cherese Thakur yang menggantikan saya sebagai koordinator advokasi amaBhungane menjadi sangat sibuk. Ia berburu melalui telepon dan mengirim surat ke pejabat pengadilan untuk mendapatkan jadwal sidang yang diumumkan secara daring sebelum persidangan untuk memastikan bahwa proses pengadilan tetap berjalan terbuka.

Sementara itu, di jalan-jalan, selama pekan-pekan yang kacau akibat kuncitara, para jurnalis yang bekerja mengalami kekerasan dari polisi dan tentara. Beberapa bahkan dilecehkan, dilarang merekam dengan kamera, dan ditembak dengan peluru karet.

Namun, tentu saja krisis terbesar yang dialami jurnalisme pada saat ini adalah ekonomi dan advokasi agar kehancuran ekonomi ruang redaksi segera ditangani. Meskipun banyak media massa yang telah bangkit dan mengatasi tantangan ini, tetapi banyak juga yang tidak bisa selamat.

Bahkan sebelum pandemi, media-media arus utama sudah tampak tak mungkin berinovasi untuk keluar dari iklim finansial yang berat tanpa intervensi kebijakan yang besar. Beberapa jalan keluar yang tercetus adalah menyediakan dana hibah untuk media, memberikan keringanan pajak pada perusahaan yang beriklan atau tidak memungut pajak pada perusahaan teknologi raksasa.

Kerja advokasi amaBhungane belum menyentuh masalah ini, meskipun SANEF Forum Editor Nasional Afrika Selatan telah mengadakan penelitian tentang pertanyaan-pertanyaan terkait kebijakan beberapa tahun terakhir.

Jika ada sebuah peran advokasi untuk mendukung jurnalisme, saya akan bilang: jurnalisme investigasi tradisional telah memisahkan advokasi dari ruang redaksi. Namun, saat ini mengerjakan jurnalisme saja tampaknya tidak cukup untuk memantapkan masa depan. Saat ini, jurnalisme harus berjuang untuk dirinya sendiri dan model advokasi amaBhungane yang unik telah memungkinkan terjadinya hal itu. (Murray Hunter)


Murray Hunter adalah seorang konsultan media dan aktivis hak-hak digital. Dia sebelumnya menjadi koordinator kampanye the Right2Know di Afrika Selatan dan pengarang buku anak-anak tentang pengawasan digital. Hunter menulis disini untuk amaBhungane Centre for Investigative Journalism — anggota GIJN   —  tempat dia menjabat sementara koordinator advokasi pada bulan he was acting February dan Maret 2020.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan oleh Global Investigative Journalism Network (GIJN) dan ditajuki Should Journalists Do Advocacy? Here’s a Unique Approach Out of South Africa. Penyebarluasan tulisan ini berada di bawah lisensi Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International.

Alih bahasa ini disponsori oleh dana hibah dari Google News Initiative. Untuk menerbitkan ulang tulisan ini, Anda bisa menghubungi [email protected].

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.