Sejumlah  buruh migran Indonesia terseret dalam tindak pidana terorisme. Proses radikalisasi dimulai dari komunikasi media sosial. Keluarga tak kuasa mencegah. Jaring.id bersama KBR dan CNN Indonesia melakukan kolaborasi liputan menyusuri jejak mereka. Serial liputan diturunkan mulai Selasa (19/12) ini.

 

“Dia bilang kalau memang nggak mau ikut ajaran dia, nggak peduli saudara tetap dibunuh,” kata Robi tentang ancaman yang sempat dilontarkan Ika Puspitasari kepadanya dua tahun lalu. Ika adalah mantan buruh migran Hong Kong yang divonis 4 tahun penjara dalam kasus terorisme. Robi adalah saudara lelaki Ika.

Ditemui di kediamannya Oktober lalu—seminggu sebelum vonis terhadap Ika dijatuhkan—, lelaki kelahiran 1989 tersebut ingat betul bagaimana tawaran berangkat ke Suriah menjadi pangkal cekcok. Ika siap merogoh koceknya dalam-dalam asalkan saudaranya tersebut bersedia angkat senjata di pihak Negara Islam Irak dan Suriah.

“Jihad nggak perlu kayak gitu. Kamu kan nggak tahu duduk permasalahan di sana (Suriah) seperti apa,” Robi mendebat.

Tak butuh waktu lama hingga pembicaraan berujung buntu. Keduanya kukuh dengan pandangan masing-masing dan memilih tak lagi saling bertukar kabar hingga Ika (di)pulang(kan) ke Indonesia Oktober 2016.

Alih-alih melepas rindu setelah sepuluh tahun tak bertemu, Robi justru menyambut kepulangan Ika dengan meletakkan kepala di atas meja. Ia menagih ancaman yang sempat dijanjikan Ika.

“Kalau mau bunuh saya, ini,” tantang Robi.

Ika merespons dengan terkekeh, lalu berkilah kalau ancaman itu sekadar gurauan. Lubuk hati tak setajam lidahnya yang dulu tersulut emosi.

Belum genap dua bulan berada di rumah, Ika dijemput puluhan aparat bersenjata lengkap pada 15 Desember 2016. Ia sempat meraung, meminta Robi menolongnya agar tak diboyong Detasemen Khusus 88 Anti Teror.

Robi tak bisa berbuat banyak. Andai Ika mendengarkan imbauannya, jalan cerita bakal berbeda.

Instruksi Amaliyah

Perjalanan Ika mengakrabi Islam ekstrim bermula enam tahun lalu. Peristiwa pengeboman yang terjadi pada 25 September 2011 di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton, Solo memantik keingintahuannya soal jihad. Aktivitas berseluncur di Internet mulai diisi dengan mengunjungi beberapa situs berbahasa Indonesia yang mengusung pemikiran Islam ekstrim.

Terpisah ribuan kilometer, perubahan Ika baru disadari Robi tiga tahun belakangan. Ia menyaksikan halaman media sosial Ika mulai dipenuhi macam-macam informasi soal kondisi di Suriah.

“Istilahnya mau ngasih (tahu) teman-teman di sini (Purworejo) untuk gabung (ISIS). Saya marahi dia, nggak usah ajak teman-teman di sini saya bilang. Terus saya di-block (di Facebook), nggak bisa komentar,” keluh Robi.

Imbauan tersebut tak mendapat gubrisan. Ika kadung terseret riuh dukungan dari tanah air dan mengetik teks baiat dalam sebuah grup Telegram yang berisi 40-an pendukung ISIS pada September 2014.

“Kalau sudah baiat, ya melakukan apa yang menjadi baiat,” ujar Ika dalam persidangan di Pengadilan  Negeri Jakarta Timur,  September lalu.

Dalam rangkaian persidangan terungkap bahwa “hijrah” ke Suriah menjadi keinginan terbesarnya. Namun langkah tersebut sulit dilakukan setelah pemerintah Turki memperketat penjagaan di wilayah yang berbatasan langsung dengan Suriah.

“Jubirnya Daulah (ISIS) memberikan arahan kalau memang tidak bisa untuk hijrah, bikin amaliyah saja di tempat masing-masing, di negara masing-masing,” terangnya.

Haluan yang semula mengarah ke Suriah, kini diputar ke arah Jakarta. Tak mungkin berhijrah, Ika mulai membentuk kelompok kecil untuk merencanakan aksi teror di Indonesia.

Dari rumah majikannya di lantai 12 salah satu flat mewah di kawasan Tseung Kwan O, Hong Kong, Ika memobilisasi jaringan pertemanan di dunia maya untuk menebar tawaran pendanaan amaliyah. Namun, tak semua yang berminat bisa masuk dalam kelompok. Mereka yang ingin bergabung harus mendukung Anshar Daulah, faksi ISIS yang disebut-sebut memiliki pendukung terbanyak di Indonesia.

Kelompok Awal

Riswandi alias Abi Zaid menjadi orang pertama yang menyambut tawaran Ika. Keduanya tak pernah bertatap muka dan hanya menjalin komunikasi melalui media sosial serta aplikasi pesan instan.

“Saya kasih Rp 1,4 juta untuk membeli komputer. Untuk belajar cara bikin bom,” terang Ika.

Sama seperti Ika, Internet menjadi “sekolah” bagi Riswandi untuk mengetahui seluk-beluk ISIS. Selain aktif mengunjungi situs-situs pendukung Islam ekstrim, ia juga rajin berdiskusi dengan para pendukung ISIS melalui media sosial dan grup pertemanan, salah satunya adalah grup Telegram bernama Waiddu.

Melalui grup tersebut pula perkenalannya dengan Abdullah Azzam bermula pada Februari 2014. Merasa sepaham soal Islam dan jihad, Riswandi berjanji untuk mengajarkan Azzam cara membuat bom. Namun hal tersebut tak berlangsung mulus.

Botol berisi bahan kimia untuk membuat bom yang dikirim Azzam kepada Riswandi dengan menggunakan jasa ekspedisi, pecah dalam perjalanan. Pascakejadian itu kabar burung lekas beredar kalau Azzam masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) aparat. Ika memanfaatkan kondisi dengan mengumbar provokasi.

“Kalau (kamu) sudah jadi DPO (Daftar Pencarian Orang) kenapa nggak sekalian amaliyah? Kalau mau amaliyah, saya bantu danai,” begitu Ika mengulang percakapannya dengan Azzam saat memberikan keterangan dalam persidangan, September lalu.

Termakan omongan Ika, Azzam memutuskan mengikuti jejak Riswandi bergabung dengan sel kecil bentukan Ika pada September 2015. Dia diplot sebagai pelaku peledakan bom yang bakal dirakit oleh Riswandi.

Peran Suami

Mustahil melipat jarak Indonesia dengan Hong Kong. Sebagai penyandang dana, Ika butuh seseorang yang bisa dipercaya menjadi “mata” untuknya di Indonesia.

Kepercayaan diberikan pada Zaenal Akbar, pria yang dikenalnya melalui media sosial. Keduanya tetap hati menikah secara online pada pertengahan 2015 meski tak pernah bertatap muka.

Ikatan perkawinan meyakinkan Ika untuk mendapuk Zaenal menjadi kasir. Sebagian pendapatan Ika di Hong Kong menyalur ke rekening Zainal, lalu dibagi-bagi untuk berbagai pengeluaran di Indonesia, mulai dari hal personal sampai menyokong persiapan aksi teror.

Meskipun bertambah satu-satu, anggota awal kelompok kecil bentukan Ika merupakan anak kemarin sore. Mereka menjadi ekstrim pascadeklarasi ISIS dan tetek-bengek ajarannya tersebar di dunia maya.

Berusaha menambal kekurangan tersebut, Riswandi berinisiatif mempromosikan Abu Jundi, pria yang sempat bergabung dengan Jamaah Anshorut Tauhid pada 2008. Kunjungannya ke Nusakambangan pada akhir 2008 untuk menemui Abu Bakar Baasyir mendorongnya “melompat” ke kelompok Katibul Iman pimpinan Abu Husna. Dalam kelompok tersebut dia berperan merekrut ikhwan untuk melakukan aksi amaliyah.

Bak gayung bersambut, niat Ika memperkuat kelompoknya dengan orang berpengalaman bertemu dengan keinginan Abu Jundi untuk mendapatkan pendanaan. Ika siap mengucurkan dana kepada Jundi asalkan suaminya, Zaenal, diijinkan beranjangsana ke rumah Jundi di Sukoharjo. Syarat tersebut terlaksana awal Desember 2015.

“Abu Jundi ingin memimpin kelompok tersebut, tetapi saya kurang berkenan,” kenang Zaenal mengenai pertemuan tersebut.

Penolakan itu membuat Jundi berang dan balik menuding Zaenal sebagai mata-mata.  Meski tak sreg dengan polah Jundi, tetapi Zaenal tak sanggup menarik kembali janji pendanaan yang sudah dilontarkan istrinya.

“Waktu itu Abu Jundi mintanya Rp 8,5 juta, dia mau secepatnya. Hari itu saya hanya ada Rp 8 juta,” terang Ika.

Insting Zaenal terbukti di kemudian hari. Setelah Jundi memastikan uang yang dijanjikan masuk ke rekening, ia menendang keluar Zaenal dari grup pertemanan yang sedianya dibentuk untuk melakukan koordinasi rencana aksi teror.

Aliran Uang

Akrobat Jundi tak berhenti sampai di situ. Uang yang dikucurkan Ika untuk membeli panah dia gunakan untuk kepentingan lain.

“Hanya membeli Air Softgun M84 seharga Rp 3,35 juta dan selebihnya digunakan untuk membeli printer cannon dan mesin pembuat mie,” ujarnya seperti tertuang dalam salinan putusan No. 576/Pid.Sus/2016/PN.Jkt.Tim.

Jundi berdalih uang yang dikirimkan Ika tak cukup untuk membeli panah. Namun, menurut Zaenal, uang kiriman Ika sejak semula memang diambil Jundi sebagai ongkos sewa Riswandi yang tinggal di kediamannya.

Bukan Jundi seorang yang menilap uang kiriman Ika. Riswandi yang sempat dikirimi uang untuk membeli laptop malah menggunakannya untuk membiayai perjalanan Abu Jundi yang kerap berkeliling Indonesia untuk menarik orang masuk dalam kelompoknya.

Akibat polah tersebut hanya seperempat dari total uang kiriman Ika yang benar-benar digunakan untuk tujuan amaliyah. Celakanya uang tersebut malah berbuntut panjang.

Detasemen Khusus 88 yang mencium ketidakberesan, menggeledah rumah Jundi pada pertengahan Desember 2015. Aparat menemukan beberapa bahan peledak yang dikubur tak jauh dari rumahnya.

Usut punya usut, bahan peledak tersebut dibeli dengan menggunakan uang Ika. Satu-persatu anak buah Jundi dan anggota kelompok kecil bentukan Ika dicokok di berbagai daerah pada periode Desember 2015 hingga Januari 2016.

Menjadi DPO

Kabar penangkapan diketahui Ika setelah inisial namanya disebut dalam berita. Satu persatu anggota kelompoknya angkat bicara soal keterlibatan Ika sebagai penyandang dana hingga ia ditetapkan sebagai DPO.

Kegusaran makin menjadi setelah Zaenal yang sudah meringkuk di tahanan Mako Brimob Kelapa Dua menghubunginya melalui telepon genggam. Ia meminta istrinya tersebut untuk menjauhi media sosial sementara waktu.

Sementara teman-temannya bersiap menghadapi persidangan, Ika rehat sejenak dan memikirkan langkah selanjutnya. Ia tetap menjalani rutinitas hariannya sebagai buruh migran di Hong Kong.

Untuk melacak jejak Ika sebagai buruh migran, kami mendatangi rumah mantan majikan Ika di Tseung Kwan O, Hong Kong pada Oktober lalu. Namun, yang bersangkutan enggan ditemui dan hanya mau berkomunikasi lewat interkom di depan apartemen.

“Ika tidak pernah melakukan kesalahan (sebagai buruh migran), tapi imigrasi tidak kasih dia izin tinggal,” ujar majikan Ika.

Majikannya tak tahu persis apa penyebab permohonan perpanjangan visa kerja anak buahnya ditolak Imigrasi Hong Kong. Lain halnya dengan Ika yang sudah berhitung jauh.

Merasa di ujung tanduk karena terpaksa pulang ke Indonesia, Ika mengontak Nur Solihin. Ibarat menelan ludah sendiri, provokasi Ika kepada Azzam yang dulu dilontarkannya, kini berbalik menyerang dirinya. Ia pulang ke Indonesia sebagai buron pada Oktober 2016.

Sempat Kendor

Ika sempat takut terciduk di bandara saat pulang ke Indonesia. Tapi ketakutannya tak terbukti. Ika berhasil mencapai rumahnya di Purworejo tanpa iringan aparat. Merasa di atas angin, ia kembali mengontak Solihin untuk menanyakan kelanjutan rencana amaliyah.

Di tengah persiapan aksi teror, Robi berusaha menyelami gelapnya kepala Ika. Selepas Maghrib, mereka berdua kerap bercakap soal Islam. Namun, ujungnya tak jauh beda dengan dahulu. Kalau bukan Robi yang emosi, Ika yang terpancing.

“Saya bilang pokoknya dia keluar (dari ISIS). Kalau mau mendalami Islam nggak usah lewat media sosial. Bisa langsung ke tempat mendalami Islam, biar benar-benar tahu dan gak terjerumus lagi. Pokoknya harus berhenti,” tegas Robi.

Usaha keras Robi mulai menunjukkan jalan terang ketika Ika memberikan telepon genggam yang selama ini dia gunakan kepada Robi. Ia juga membakar kartu SIM miliknya untuk memutus kontak dengan Solihin.

Perlahan, Ika mulai mau bergaul dengan tetangga sekitar. Sayangnya, jejak Ika kadung terekam Densus 88 yang mencokoknya di mushola dekat rumah pada Desember 2016. Dia harus menyusul suaminya yang lebih dulu meringkuk di tahanan.

Dua kali gagal menyadarkan Ika, Robi tak patah arang. Ia berharap saudara perempuannya tak dicampur dengan tahanan teroris lain.

Jika boleh memilih, Robi ingin Ika dipindah ke Semarang agar dekat dengan keluarga. Ia bahkan rela jika harus pindah ke Semarang agar sering mengunjungi Ika.

“Setelah dakwaan, saya minta (dia) dipindah (ke) Semarang. Biar saya nanti tinggal di Semarang dan setiap hari ketemu dia. Dia tanggung jawab saya,” pintanya. PN Jakarta Timur menjatuhkan vonis 4 tahun penjara kepada Ika pada tanggal 11 Oktober 2017.

Robi yakin, Ika akan tetap berada di pihak Daulah selama berada di lingkungan yang dipenuhi oleh sesama pendukung ISIS. Buat dia, dukungan keluarga adalah jalan terbaik untuk membawa Ika keluar dari pusaran pendukung aksi teror. ***

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.