Dandhy Dwi Laksono Keluar dari Batas Regulasi Ruang Redaksi

Dandhy Dwi Laksono terpaksa dibebastugaskan. Pekerjaannya sebagai Head Koordinator Liputan (Korlip) RCTI mustahil dilakukan di tengah keseriusan stasiun televisi tersebut menggarap liputan investigasi soal aktivis Hak Asasi Manusia, Munir Said Thalib yang tewas pada 2004. Dandhy tidak diganggu kerja harian selama empat bulan dalam pengerjaan investigasi.

“Tidak diberi kerja harian selama empat bulan, itu kemewahan, kan? Untuk ukuran TV yang bukan news, itu kemewahan banget. Ada berkali-kali kami liputan investigasi masa itu,” kenang Dandhy dalam obrolan dengan JARING.id di Jakarta, Selasa (2/8).

Tiga tahun di RCTI adalah karier terlamanya sebagai jurnalis di perusahaan TV swasta. Biasanya tiap satu tahun pindah. Bagi Dandhy ada kepuasan tersendiri ketika membuat liputan mendalam, bahkan membuat ketagihan. Meski tidak menjawab tuntas, baginya liputan mendalam menjawab lebih banyak pertanyaan.

“Jadi kalau ada cerita yang nggak lengkap itu rasanya kayak ada yang mengganjal,” kata Dandhy.

Dandhy mengatakan sekitar awal 2000-an, saat media daring tidak sebanyak sekarang, televisi masih sering melakukan liputan investigasi serius. Liputan investigasi yang tidak hanya menonjolkan teknik liputan investigatif, tetapi investigasi yang ingin mengungkap kejahatan yang terjadi secara terstruktur.

Namun sekarang, televisi makin tidak serius dengan investigasi. Alasannya, tidak ada media televisi yang mau memperkerjakan wartawan selama empat bulan untuk satu karya. Dari sisi bisnis media, Dandhy mengatakan ini dianggap merugikan. Selain kehilangan peluang ekonomi, pengerjaan investigasi juga punya risiko hukum.

Liputan investigasi tidak mungkin dilakukan tanpa biaya. Media yang berpeluang melakukan investigasi tentu media yang secara finansial mapan. Tetapi media mapan yang terhubung dengan konglomerasi media pun tak juga melakukan investigasi.

“Media sekarang kan hampir semua berjaringan dengan jaringan konglomerasi. Apakah mereka akhirnya jadi melakukan investigasi? Kan enggak juga,” katanya.

 

Tidak Berkembang

Hampir tidak ada TV non-berita yang mau serius liputan mendalam. Salah satu indikator yang bisa dilihat dari waktu penayangan program in depth reporting yang menjelang dini hari. Kalau media serius, program semacam itu harusnya ada saat prime time.

Bahkan yang serius pun mematok target yang agak berat, misalnya investigasi atau indepth reporting tayang seminggu dua kali. Hasilnya jadi liputan yang semata-mata menggunakan teknik investigatif, bukan karya investigasi. Teknik investigatif hanya menggunakan kamera tersembunyi dan mengungkap hanya satu faktor.

“Kalau mau mengaitkan korelasinya kenapa bertahun-tahun kita dihadapkan obat palsu di pasar Pramuka, misalnya, tetapi tidak pernah terungkap. Nah, liputan teknik investigatif yang deadlinenya semingguan, hanya bisa mengungkap satu dua oknum. Tapi apakah mereka bisa mengungkap siapa supplier-nya?” kata Dandhy.

Aktivitas investigasi sebenarnya sangat didukung teknologi audiovisual yang dimiliki televisi. Jurnalis televisi hanya perlu menyalakan kamera untuk menunjukkan sebuah lokasi tanpa harus repot belajar deskripsi. Kemudahan ini yang tidak dimiliki media cetak.

Karakter media audiovisual tentu punya kelemahan seperti tidak bisa mengurai data kompleks untuk menunjukkan kasus korupsi. Tetapi untuk kejahatan kemanusiaan, kejahatan lingkungan, korupsi infrastruktur seharusnya jadi fokus investigasi televisi.

“TV lah yang harusnya menjadi garda terdepan untuk investigasi,” kata Dandhy.

Media massa juga punya kekuatan menentukan topik mana yang menjadi trending tanpa harus bergantung isu apa yang banyak dibahas di publik. Apalagi kejahatan yang dilakukan terstruktur dan sistematis akan ditutupi dari publik dan tugas media yang mesti membuatnya menjadi trending.

Kalau media tidak mau melakukan ini berarti dia tidak melakukan pekerjaannya. Tapi kebanyakan media hanya mengejar isu trending-nya, tanpa mau menciptakan trending,” katanya.

 

Investigasi Hingga Dokumenter

Dandhy Dwi Laksono (Dok Pribadi/Facebook)
Dandhy Dwi Laksono (Dok Pribadi/Facebook)

Bagi Dandhy, investigasi kematian Munir merupakan pengalaman liputan yang paling berkesan. Perlu waktu berminggu-minggu hanya untuk mencocokkan benar atau tidaknya foto anggota Badan Intelijen Negara (BIN) yang terhubung dengan Polycarpus.

Seluruh data digital anggota BIN di jajaran madya telah dihapus sehingga data yang bisa dicari hanya tersedia dalam bentuk hard copy. Mereka mencari hingga ke almamater, tempat di mana anggota BIN itu pernah kerja, hingga acara apa yang pernah dihadiri.

“Jangankan sampai menemukan siapa pembunuh atau yang mendalangi. Bahkan untuk verifikasi saja perlu waktu yang panjang. Dia seperti mengupas kulit bawang,” ujar Dandhy.

Gara-gara liputan investigasi juga, Dandhy pernah mengendarai motornya dengan kecang tanpa tahu kalau kedua as rodanya longgar. Dia baru tahu kedua rodanya hampir copot saat petugas bengkel memeriksa kondisi motornya. Petugas bengkel bilang mustahil kedua as rodanya longgar tanpa disegaja karena perlu baut khusus.

Sampai sekarang, Dandhy tidak mengetahui dan tidak berusaha mencari tahu. Menurutnya, sabotase yang dialami semacam peringatan bahwa orang yang dihadapi bisa melakukan apa pun dan berbahaya.

Mengawali karirnya sebagai jurnalis pada 1998, Dandhy memutuskan untuk meninggalkan perusahaan media dan bersama mantan pemimpin redaksi KBR Voice of Human Right (VHR), Andhy Panca Kurniawan, Dandhy mendirikan organisasi rumah produksi audio visual bernama WatchDoc pada 2009. Sedikitnya, 165 episode dokumenter telah diproduksi, 715 feature televisi dan 45 video komersial dan nonkomersial.

Dandhy memutuskan keluar dari perusahaan media karena menganggap setiap perusahaan media punya pagar-pagar editorial yang diciptakan media itu sendiri. Belakangan, Dandhy memilih memilih dokumenter sebagai ruang berekspresi.

“Saat ini saya ingin keluar dari semua batas, regulasi dan editorial. Makanya dokumenter,” kata Dandhy.

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.