Serangan Bunuh Diri dalam Sejarah Teror

Perang global melawan terorisme adalah perang paling lama di masa modern. Dideklarasikan oleh Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, lalu diikuti sekutu Amerika Serikat dan banyak negara di dunia, perang terhadap terorisme berawal dari serangan bunuh diri teroris pada menara kembar WTC di New York dan Gedung Pentagon pada 11 September 2001.

Secara resmi perang global melawan terorisme dihentikan oleh Presiden Amerika Serikat Barrack Obama pada 2013, ditandai dengan penarikan sebagian besar pasukan Amerika Serikat dari Afganistan dan Irak. Namun secara faktual sampai hari ini, perang melawan terorisme masih berlangsung, terutama melawan kelompok-kelompok teror baru yang muncul belakangan seperti ISIS dan kelompok-kelompok afiliasinya, dan juga kelompok-kelompok yang muncul belakangan dengan afiliasi kepada Al Qaeda, serta kelompok-kelompok teror independen atau yang tidak jelas afiliasinya.

Dengan demikian sampai hari ini perang melawan terorisme sudah berlangsung selama 17 tahun dan masih akan terus berlangsung, dengan medan perang hampir di seluruh dunia, meliputi Asia, Afrika, Eropa, Amerika, dan Australia. Berdasarkan laporan riset Physicians for Social Responsibility pada 2017, dalam sepuluh tahun pertama perang global melawan teror sejak 2001-2011, jumlah kematian akibat perang itu antara 1,3 juta jiwa sampai 2 juta jiwa.

Sejarah dan Peta Terorisme
Walau baru dideklarasikan sebagai musuh dunia pada 2001, sebenarnya terorisme memiliki jejak yang sangat panjang di dalam sejarah dunia. Pun demikian dengan serangan bunuh diri dalam aktivitas terorisme, bisa dilacak sampai berabad-abad ke belakang.

Masih jadi perdebatan, secara definisi, siapa yang pertama kali melakukan aksi serangan bunuh diri. Umumnya, serangan bunuh diri akan mengingatkan banyak pengamat teror dan ahli sejarah pada kelompok Hashashin, kelompok Islam Syiah Ismaili radikal, yang lahir dan membentuk kekuatan teror pada abad 11 sampai 13 Masehi. Hashashin dibentuk oleh Hasan Al Sabah, seorang tokoh dalam kelompok Syiah Ismaili, yang memisahkan diri dari kelompok itu dan membentuk kelompok baru yang diberi nama Nizari Ismaili—nama resmi dari kelompok/sekte Hashashin.

Di bawah kepemimpinan Hasan Al Sabah, Nizari Ismaili terkenal sebagai kelompok teror dan sangat ditakuti oleh dua kekuatan besar muslim saat itu, Kekaisaran Seljuk yang berpusat di Istanbul (Turki saat ini) dan Kekhalifahan Abbasid yang berpusat di Bagdad (Irak saat ini). Kelompok Hasan Al Sabah kerap diidentikkan sebagai bagian dari strategi Kekalifahan Fatimid yang berpusat di Kairo (Mesir saat ini), dalam melawan dua pesaingnya, Seljuk dan Abbasid. Hashashin meraih ketenarannya, setelah keberhasilan kelompok itu membunuh wazir Kekaisaran Seljuk, Nizam Al Mulk di tengah balairung istana Seljuk.

Dalam perkembangannya kelompok Hashashin berhasil meraih kekuasaan dan memiliki wilayah yang cukup luas di perbatasan wilayah Fatimid dan Seljuk, dengan berbagai benteng pertahanan di wilayah itu. Walau dikenal sebagai sekte atau kelompok pembunuh, faktanya hanya sebagian kecil saja dalam kelompok Nizari Ismaili yang benar-benar sebagai pembunuh. Anggota kelompok kecil itu dikenal sebagai fida’i, atau orang yang meyakini fondasi keagamaan kelompok itu sepenuh hati. Para fida’i itulah yang menjadi pembunuh terlatih dan siap mati dalam menjalankan tugasnya.

Selama Perang Salib berlangsung, kelompok Hashashin juga memerangi dan banyak membunuh pemimpin Pasukan Salib, dan sangat ditakuti—bahkan dihormati—oleh sebagian pemimpin Pasukan Salib.

Kembali ke pertanyaan siapa yang pertama kali melakukan serangan bunuh diri dalam sejarah, Robert Pape, penulis buku Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism, dalam wawancaranya dengan npr.org, meyakini serangan bunuh diri pertama dilakukan oleh anggota Zealot, gerakan politik Yahudi di abad pertama Masehi yang bertujuan mengusir kekuatan Romawi dari tanah suci mereka. Taktik anggota Zealot biasanya dengan menghampiri seorang tentara Romawi di tengah keramaian, lalu membunuhnya dengan pisau, seringkali dengan menggorok leher tentara itu. Anggota Zealot yang melakukan serangan itu menyadari dirinya akan langsung dibunuh atau dieksekusi oleh para tentara Romawi yang ada di sekitar tempat kejadian.

Walau ada beda pendapat tentang siapa yang pertama kali melakukan serangan bunuh diri dalam sejarah, namun semua pihak mengakui, serangan bunuh diri dengan menggunakan bom terjadi untuk pertama kali di Rusia pada 13 Maret 1881. Pelakunya adalah Ignaty Grinevitsky, anggota kelompok People’s Will (Kehendak Rakyat), organisasi teror sayap kiri yang bertujuan membunuh Alexander II, Kaisar Rusia saat itu.

Pembunuh Alexander II dihukum gantung (sumber: WikiCommons)

People’s Will telah melakukan sejumlah aksi untuk membunuh Alexander II dengan menggunakan dinamit dan bom antara tahun 1879 sampai awal 1881. Semua percobaan pembunuhan itu selalu gagal, sampai akhirnya berhasil dilakukan oleh Grinevistky.

Aksi itu tidak direncanakan sebagai serangan bunuh diri. Grinevitsky dan seorang rekannya berencana melakukan penyergapan terhadap rombongan Alexander II, menggunakan bom kecil yang dilempar tangan, yang radius berbahayanya hanya 1 meter. Rekan Grinevitsky melemparkan bom ke kereta yang membawa Alexander dari jarak dekat, tapi hanya berhasil merusak keretanya saja, dan orang itu langsung ditangkap. Grinevitsky yang masih berada di tempat itu rupanya melihat kesempatan dirinya bisa melemparkan diri ke dalam kereta Alexander II dengan membawa bom. Maka terjadilah aksi serangan bom bunuh diri pertama di dunia, dengan pelaku seorang teroris sayap kiri dan korbannya seorang kaisar.

Sejak aksi Grinevitsky itu, banyak aksi teror untuk membunuh orang penting dilakukan oleh anggota kelompok sayap kiri di Rusia—dan banyak yang melakukannya dengan serangan bunuh diri walau tak selalu berhasil. Tetapi tak bisa dikatakan, serangan-serangan bunuh diri itu sebagai aksi terorganisasi atau diniatkan sebagai aksi bunuh diri.

Pola di Rusia itu sama dengan pola serangan teror kelompok Zealot pada abad pertama Masehi, juga yang dilakukan para fida’i dalam kelompok Nizari Ismaili atau Hashashin, yaitu tidak ada rencana maupun perintah secara organisasional agar pelaku teror melakukan serangan bunuh diri. Serangan bunuh diri dilakukan sebagai keputusan taktis individu terorisnya—di mana situasi lapangan membuatnya harus mengambil keputusan itu—saat melakukan serangan ke targetnya. Juga tidak pernah ada catatan ada organisasi yang merekrut dan mendoktrin anggotanya untuk melakukan tugas khusus serangan bunuh diri. Yang pasti selalu ada alasan ideologis dan politis yang melatari aksi teror itu.

Serangan bunuh diri yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir yang pertama kali terjadi di dunia, justru bukan oleh organisasi teror, tetapi oleh sebuah negara: Jepang. Kita mungkin sudah akrab dengan istilah Kamikaze, yang fenomenal di akhir Perang Pasifik.

Kekaisaran Jepang melancarkan lebih dari 3.000 serangan bunuh diri, yang dilakukan secara sistematis melalui perekrutan orang-orang sipil untuk masuk ke dalam Tokubetsu Kogekitai atau unit serangan khusus. Serangan bunuh diri itu dilakukan dengan menerbangkan pesawat yang didesain menjadi bom terbang dan dikendalikan oleh pilot yang akan menabrakkan pesawatnya ke armada angkatan laut Amerika Serikat. Tujuan serangan bunuh diri itu untuk melemahkan moral lawan, dengan menunjukkan bahwa rakyat Jepang adalah rakyat yang fanatik dan akan melakukan segala bentuk perlawanan jika Amerika Serikat menginvasi Jepang.

Tujuan itu berhasil mereka capai, bukan saja di masa perang, tapi juga sampai hari ini, karena dunia melihat aksi itu sebagai tonggak peringatan bahwa serangan bunuh diri dilakukan bukan saja untuk membunuh musuh, tapi yang paling utama adalah sebuah pesan untuk mengintimidasi lawan atau sebuah ancaman untuk serangan yang lebih berbahaya. Definisi serangan bunuh diri sebagai pesan itulah yang sampai sekarang dipakai oleh para teroris.

Sejak Perang Dunia II berakhir, tidak ada catatan serangan bunuh diri yang sistematis dan terorganisir—baik oleh negara maupun oleh organisasi teror—sampai era 1980-an. Serangan bunuh diri baru terjadi lagi pada 1983, kali ini dilakukan oleh partai politik di Lebanon: Hizbullah (Partai Allah). Serangan itu terjadi pada 23 Oktober 1983 pukul 06.45, dilakukan oleh anggota Hizbullah yang mengendarai truk berisi berton-ton bahan peledak, dan meledakkan diri di gedung yang menjadi markas pasukan marinir Amerika Serikat yang bertugas sebagai pasukan penjaga perdamaian dalam perang saudara Lebanon. Selain sang penyerang, korban tewas adalah 241 tentara Amerika Serikat. Nyaris bersamaan dengan serangan ke markas tentara Amerika Serikat, serangan bom bunuh diri oleh Hizbullah terjadi di markas pasukan parasut Perancis, yang menewaskan 58 orang tentara Perancis.

Walau serangan itu dilakukan oleh Hizbullah, namun banyak pihak—terutama Amerika Serikat dan sekutunya—meyakini yang menjadi otak serangan itu adalah Iran, yang mendesain dan mengorganisasi kelompok Syiah Lebanon untuk menyerang kepentingan Barat dan Israel di wilayah itu. Keyakinan itu diperkuat dengan banyak pernyataan dari para pemimpin Iran yang mengagung-agungkan serangan bom bunuh diri di Lebanon, sekaligus juga terlacak negara itu memberikan pasokan para ahli dan bahan peledak untuk membuat bom mobil. Karenanya, aksi Hizbullah bukan aksi berlatar keyakinan agama saja, tapi aksi yang merupakan perkawinan antar fanatisme relijius dan politik perang antarnegara.

Serangan bom bunuh diri pertama Hizbullah itu mendapat perhatian dunia, dan malah ditiru oleh lawan-lawannya di dalam perang saudara Lebanon, yaitu kubu Kristen dan kubu sekuler. Akhirnya selama bertahun-tahun Lebanon menjadi medan serangan-serangan bom bunuh diri dari berbagai kubu yang berperang, dan baru mereda di akhir dekade 1980-an.

Taktik bom bunuh diri Hizbullah, rupanya memberi ide pula pada kelompok pemberontak di Srilanka, Liberation Tiger of Tamil Eelam (LTTE) atau Macan Tamil. Banyak milisi Macan Tamil yang dikirim ke Lebanon untuk belajar kepada Hizbullah mengenai taktik serangan bom bunuh diri. Gerilyawan Tamil itu lalu mempraktikannya dalam pemberontakan di Srilanka, dan diberi wadah khusus yang diberi nama Macan Hitam.

Sejak 1987 sampai 2003, LTTE melancarkan setidaknya 137 serangan bom bunuh diri. Dari serangan sebanyak itu, mereka berhasil membunuh dua kepala negara, yaitu Perdana Menteri Srilanka, Ranasinghe Premadasa, dan Perdana Menteri India, Rajiv Gandhi. Lima anggota kabinet Srilanka juga tercatat jadi korban serangan bom bunuh diri LTTE.

Serangan bom bunuh diri LTTE berhenti pada 2009, setelah pemimpin mereka, Vellupillai Prabakharan tewas dibunuh pasukan Srilanka. Walau sekarang LTTE telah dimusnahkan, namun organisasi teror itu ikut memberi kontribusi besar bagi peralatan serangan bom bunuh diri, yaitu sabuk bom, yang bisa dikenakan di balik pakaian. Sabuk bom hasil kreasi LTTE itu di kemudian hari ditiru dan digunakan oleh para pelaku bom bunuh diri di Afganistan, Irak, dan Pakistan.

Serangan-serangan bom bunuh diri oleh LTTE juga semakin membuktikan, bukan hanya kelompok fanatik agama yang sanggup melakukan tindakan fatal itu, tapi juga kelompok yang tidak memiliki agenda keagamaan juga sanggup melakukannya.

Memasuki era 1990-an, serangan bom bunuh diri merambah ke Israel, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok perlawanan Palestina, yaitu Hamas dan Jihad Islam. Serangan bom bunuh diri terhadap target-target di Israel itu memiliki kaitan langsung dengan Hizbullah, karena partai itulah yang melatih anggota Hamas dan Jihad Islam dalam melakukan serangan bom bunuh diri yang efektif.

Serangan Hamas dan Jihad Islam, memiliki motif yang sama dengan Hizbullah di Lebanon, yaitu fanatisme agama yang berkelindan dengan kepentingan politik. Namun, pada awal 2000-an, serangan bom bunuh diri terhadap Israel mulai dilakukan oleh kubu sekuler di Palestina, yaitu Fatah melalui Brigade Al-Aqsa sebagai sayap militernya.

Berdasarkan catatan Action On Armed Violence, kelompok-kelompok perlawanan Palestina tercatat melakukan 103 serangan bom bunuh diri ke Israel, dan serangan itu banyak yang ditujukan secara langsung ke penduduk sipil Israel. Total korban serangan bunuh diri Palestina tercatat sebanyak 742 orang, dan melukai 4.899 orang. Namun dalam data pemerintah Israel, antara 2000 sampai 2005 terjadi 147 serangan bom bunuh diri, dan aparat Israel berhasil menggagalkan 450 upaya serangan bom bunuh diri ke Israel.

Palestina mengajukan pembenaran atas serangan bom bunuh diri Palestina ke populasi sipil Israel. Dalam pandangan kelompok perlawanan Palestina, Israel adalah negara militer, karena seluruh warga negaranya wajib mengikuti program wajib militer, dan dengan demikian seluruh warga Israel dapat dipandang sebagai personel militer. Selanjutnya, warga sipil Israel adalah kepanjangan tangan negara Israel dalam program pendudukan dan perluasan permukiman Israel ke wilayah Palestina. Dan yang paling mendasar, kelompok perlawanan Palestina memandang serangan bom bunuh dirinya sebagai aksi balasan atas pembunuhan yang dilakukan militer Israel kepada banyak warga sipil Palestina.

Serangan-serangan bom bunuh diri Palestina menandai era bom bunuh diri yang ditujukan untuk meneror seluruh populasi musuh, tidak hanya militer saja.

Bom Bunuh Diri dan Organisasi Teroris Transnasional
Dalam perkembangan selanjutnya, serangan bom bunuh diri dijadikan metode oleh kelompok teroris transnasional, Al Qaeda. Berbeda dengan Hizbullah di Lebanon, atau Hamas, Jihad Islam, dan Fatah di Palestina, yang melakukan serangan bom bunuh diri demi kepentingan agama, politik, dan wilayah nasional mereka, kelompok teroris seperti Al Qaeda mengobarkan perang dengan alasan agama dan untuk mengusir pengaruh Amerika Serikat dan sekutunya dari negara-negara muslim, tetapi tak ada agenda nasionalisme—bandingkan misalnya dengan Hizbullah, Hamas, dan LTTE. Artinya, Al Qaeda tidak terlihat memiliki kecenderungan untuk melakukan teror demi mendapatkan wilayah teritorial atau untuk mendirikan negara, dan anggotanya berasal dari berbagai negara, juga memiliki organisasi-organisasi afiliasi di berbagai negara.

Ironisnya, Al Qaeda sendiri lahir dari perang antara Uni Soviet (Rusia) dengan Afganistan, di mana Amerika Serikat dan Arab Saudi memberikan dukungan berupa uang dan senjata kepada gerilyawan Afganistan dan milisi-milisi muslim dari berbagai negara—termasuk juga Indonesia—untuk melawan invasi Uni Soviet terhadap Afganistan. Al Qaeda terbentuk dari milisi-milisi itu dan malah menyerang balik kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya, setelah Uni Soviet meninggalkan Afganistan.

Al Qaeda melancarkan serangan bom bunuh diri pertama kali pada 1995 ke markas militer Amerika Serikat di Arab Saudi, yang menewaskan lima orang. Lalu pada 1998 pemimpian Al Qaeda, Osama bin Laden mengeluarkan fatwa yang menyatakan seluruh warga Amerika Serikat adalah target serangan. Pada 7 Agustus 1998 Al Qaeda melancarkan dua serangan bunuh diri secara bersamaan di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania, membunuh 223 orang.

Kemudian pada 11 September 2001, Al Qaeda melancarkan serangan bunuh diri dengan menggunakan dua pesawat maskapai sipil, meledakkan gedung kembar WTC di New York dan Gedung Pentagon, yang menewaskan hampir 3.000 orang, dan membuat dunia terbakar dalam perang melawan terorisme sampai hari ini.

Perang melawan terorisme, yang menempatkan Afganistan sebagai sasaran pertama invasi Amerika Serikat dan sekutunya (karena Al Qaeda dilindungi Taliban, penguasa Afganistan saat itu), berlanjut ke Irak, yang membuat rezim Saddam Husein jatuh. Invasi Amerika Serikat ke Afganistan dan Irak membuat dua negara itu porak-poranda dan menjadi ladang serangan teror yang berkepanjangan.

Di Irak saja, antara 2004 sampai 2010 terjadi setidaknya 1.003 serangan bom bunuh diri yang membunuh 12.000 warga sipil. Warga sipil bukan hanya jadi korban tak sengaja dalam peperangan, tapi memang menjadi target yang sesungguhnya. Serangan teror di Irak terjadi akibat berubahnya peta politik negara itu setelah kejatuhan pemerintahan Saddam Husein, di mana warga minoritas Sunni yang selama Saddam Husein berkuasa menjadi kelompok yang dominan dalam politik dan pemerintahan, digeser oleh mayoritas Syiah mendapat jatah lebih banyak dalam pemerintahan baru Irak.

Konflik antarsekte muslim di Irak itu menandai era pertarungan berdarah baru dalam skala besar, antara Syiah dan Sunni, dan meluas ke seluruh jazirah Arab, bahkan sampai juga ke Indonesia. Kelompok-kelompok teroris, seperti Al Qaeda—yang bermazhab Sunni—membonceng konflik itu, dan membuat peta konflik jadi semakin rumit. Serangan-serangan bom bunuh diri, selain menargetkan pasukan sekutu, juga meluas sampai ke pemboman masjid-masjid dan tempat-tempat suci kelompok Syiah.

Serangan teror kemudian meluas ke seluruh dunia, mulai dari serangan di dalam negeri Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, juga sampai Afrika, dan Asia—termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura. Serangan teror itu, bukan saja ditujukan menyerang institusi negara dan pemerintahan, tapi juga menyerang kelompok yang dianggap musuh, seperti para penganut Syiah dan pemeluk agama lain. Pola serangan seperti itu tercermin dalam aktivitas teroris dan kelompok muslim radikal di Indonesia.

Musim Semi Arab dan Perubahan Peta Teror
Kelompok-kelompok teroris dalam perkembangan selanjutnya menemukan lahan subur baru dalam pergolakan politik Timur Tengah, yang dikenal sebagai fenomena Musim Semi Arab, di mana warga yang lama berada di bawah rezim diktator melakukan pemberontakan. Musim Semi Arab dimulai di Tunisia pada 18 Desember 2010 di mana revolusi rakyat berhasil menjatuhkan rezim diktator Zine el Ebidine el Ali, dan membuat sang diktator lari dan diberi suaka oleh Arab Saudi. Kemudian revolusi menyebar ke Mesir, di mana rezim Hosni Mubarak terguling. Selanjutnya Libya diguncang revolusi berdarah, yang melibatkan pula pasukan sekutu untuk berpihak di kubu pemberontak, dan berhasil menggulingkan dan membunuh Moamar Qadafi sekeluarga.

Lalu revolusi berlanjut ke Suriah, yang bertujuan menggulingkan rezim Bashar Al Assad. Namun kali ini revolusi malah berlarut tak karuan. Revolusi sipil itu malah berujung menjadi konflik sektarian, dengan Arab Saudi dan negara-negara sekutunya di Jazirah Arab mendanai kelompok Sunni untuk melakukan pemberontakan bersenjata kepada rezim Bashar Al Assad yang Syiah. Al Qaeda masuk pula ke dalam konflik ini melalui kelompok-kelompok teroris yang baru lahir di Suriah. Sementara Bashar Al Assad untuk menghadapi serangan musuh-musuhnya di dalam negeri dan di luar negeri dibantu oleh sekutunya, Iran dan Rusia, serta mendapatkan pasokan milisi dari Lebanon, yaitu Hizbullah—yang selama ini mendapatkan bantuan dana dan senjata dari Suriah dan Iran—dan juga pasokan milisi Syiah dari Irak.

Ketika Suriah menjadi medan perang baru antara Sunni dan Syiah, negara-negara yang sebelumnya berhasil menggulingkan para diktator, malah berubah menjadi sarang kelompok-kelompok teroris dan fundamentalis agama, seperti di Tunisia dan Libya. Mesir malah membalik hasil revolusi, di mana militer—yang menjadi tangan kanan rezim Hosni Mubarak—berhasil merebut panggung kekuasaan, dan mengkriminalkan pemerintahan yang didominasi kelompok Ikhwanul Muslimin. Tidak hanya itu, dengan bantuan lobi politik Arab Saudi, Ikhwanul Muslimin malah berubah status: ditetapkan sebagai organisasi teroris dunia oleh Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir.

Sementara itu konflik di Suriah melahirkan situasi baru: di antara pemberontak terjadi perpecahan, dan melahirkan kelompok baru yang merupakan pecahan dari Al Qaeda, yaitu Negara Islam Suriah dan Irak atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau juga dikenal sebagai Islamic State of Iraq and Levant (ISIL). ISIS berubah dengan cepat menjadi monster yang menakutkan, dengan mencaplok wilayah yang luas meliputi perbatasan Suriah dan Irak, perbatasan Suriah dan Mesir, bahkan sampai menguasai sebagian Libya. ISIS juga terkenal dengan kesadisannya memperlakukan musuh.

Lahirnya ISIS membuat peta organisasi-organisasi teroris dunia berubah. Sebagian organisasi teror yang tadinya berafiliasi ke Al Qaeda mengubah afiliasinya ke ISIS, tetapi sebagian lagi tetap bertahan dengan afiliasi ke Al Qaeda. Antara Al Qaeda dan ISIS juga berkobar perang, baik di Suriah, maupun di negara lain, seperti di Afganistan.
ISIS menandai era baru dalam perang global melawan terorisme, di mana sebuah organisasi teroris mendeklarasikan sebuah negara baru dan menyedot pengikut-pengikut baru dari seluruh dunia. Serangan-serangan bom bunuh diri pun dilancarkan oleh ISIS dan kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan ISIS terutama di Iraq, Afganistan, dan Afrika Utara juga serangkaian aksi teror yang menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. (Zaky Yamani, penulis lepas)

Referensi

“A Look at the History of Suicide Attacks”, Opinion, National Public Radio, 19 Juli 2005, https://www.npr.org/templates/story/story.php?storyId=4760240
Ahmed, Nafeez, “Unworthy Victims: Western Wars Have Killed Four Million Muslims Since 1990”, http://www.stopwar.org.uk/index.php/news-comment/2615-unworthy-victims-western-wars-have-killed-four-million-muslims-since-1990
Demirzen, Ismail, “A Sociological Perspective to Suicide Bombing”, Istanbul Universitesi, Ilahiyat Fakultesi, 2011
“Handbook on Children Recruited and Exploited by Terrorist and Violent Extremist Groups: The Role of the Justice System”, United Nations Office on Drugs and Crime, 2017
Hilal, Maha, “The War on Terror Has Targeted Muslim Almost Exclusively”, di dalam Foreign Policy in Focus, 11 September 2017, https://fpif.org/the-war-on-terror-has-targeted-muslims-almost-exclusively/
Horowitz, Michael C, “The Rise and Spread of Suicide Bombing”, di dalam Annual Review of Political Science Vol. 18:69-84, Mei 2015, https://www.annualreviews.org/doi/full/10.1146/annurev-polisci-062813-051049
Lewis, Jeffrey William, “The Human Use of Human Beings: A Brief History of Suicide Bombing”, di dalam Origins Vol. 6, Issue 7, History Departments at The Ohio State University, April 2013, http://origins.osu.edu/article/human-use-human-beings-brief-history-suicide-bombing/page/0/1
Munir, Muhammad, “Suicide Attacks and Islamic Law”, di dalam International Review of the Red Cross, Volume 90 Number 869, Maret 2008
“Number of Casualties Due to Terrorism Worldwide between 2006 and 2016”, Statista The Statistic Portal, https://www.statista.com/statistics/202871/number-of-fatalities-by-terrorist-attacks-worldwide/
“Number of Worldwide Kidnappings Due to Terrorism from 2007 to 2016”, Statista The Statistic Portal, https://www.statista.com/statistics/250557/number-of-kidnappings-due-to-terrorism/
Overton, Iain and Dodd, Henry, “A Short History of Suicide Bombing”, 23 Agustus 2013, https://aoav.org.uk/2013/a-short-history-of-suicide-bombings/
Poushter, Jacob dkk, “Concern about Islamic Extremism on the Rise in Middle East, Negative Opinions of Al Qaeda, Hamas and Hezbollah Widespread”, Pew Research Center, 2014
Sawicki, John, “A Tragic Tren, Why Terrorists Use Female And Child Suicide Bombers”, di dalam jurnal Health Progress, www,chausa.org, Juli-Agustus 2016
“Suicide Bombing Terrorism During The Current Israeli-Palestinian Confrontation (September 2000-December 2005)”, Intelligence and Terrorism Center at the Center for Special Studied, Januari 2006

Riset Soal Jurnalis Perempuan

GIJN telah menyusun daftar berisi laporan teranyar mengenai isu perempuan. Daftar ini diperbarui secara berkala dan Anda bisa memeriksanya kembali agar tak ketinggalan perkembangan terbaru.

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.