PAD Besar, Perusahaan Harus Lebih Peduli

PALU, MERCUSUAR – Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor tambang galian batuan antara Kota Palu dan Kabupaten Donggala cukup besar. Untuk Kota Palu, pendapatan dari sektor itu berada di urutan keempat terbesar sementara Kabupaten Donggala, pendapatan galian batuan berada di urutan ketiga.

Kabid Pendapatan I DPPKAD Kota Palu, Herman mengungkapkan PAD untuk tambang galian batuan dari tahun ke tahun selalu bertambah. Sementara di tahun sebelumnya, PAD terkesan berfluktuasi. Terkait pajak, pemerintah mewajibkan setiap perusahaan membayar 7,5 persen pada setiap volume yang diangkut perusahaan. Cara perhitungan pajak Kota Palu yakni, volume dikali nilai pasar atau harga pasar dan dikalikan lagi 7,5 persen.

“Hasilnya itu menjadi pendapatan kami. Pajak itu cukup kecil, namun mampu membuat perusahaan-perusahaan sadar membayar pajak,” kata Herman, beberapa waktu lalu.

Ia mengungkapkan, sebelumnya, pajak pertambangan galian batuan di Kota Palu sebesar 10 persen. Namun, karena melihat respons perusahaan membayar pajak masih minim, pemerintah daerah menurunkan angka besaran pajak. Penurunan tersebut langsung direspons baik oleh perusahaan.

“PAD 2010 sebesar Rp 1.782.445.110,00, 2011 realiasi pajak pertambangan galian batuan di Kota Palu sebesar Rp 1.508.919.420,00, tahun 2012 jumlah tersebut naik menjadi Rp 5.484.535.806,00 karena besaran pajak diturunkan menjadi 7,5 persen, naik dua kali lipat dari target sebesar Rp 2.680.000,00,” kata Herman.

Besaran PAD daerah bertambah tahun berikutnya, yakni 2013. PAD tambang galian C mencapai Rp 9.948.212.281 naik melampui target awal yang berjumlah Rp 4.000.000.000.  Pada 2014, pendapatan juga naik, yakni, Rp 11.827.976.086, dan di tahun 2015 bertambah menjadi Rp 12.424.613.449.

“Ini setelah saya memegang kendali bagian pajak galian. Tidak mudah menjadikan pajak naik seperti ini. Butuh ketelitian di lapangan,kita juga harus melihat kemampuann perusahaan,” ujar Herman.

Sementara untuk wilayah Kabupaten Donggala, Wakil Bupati (Wabub), Vera Laruni mengungkapkan pertambangan galian batuan di daerah tersebut menyumbang ketiga terbesar untuk Donggala, setelah pertanian dan konstruksi.

Soal besaran pajak, tahun 2011 daerah itu mematok pajak sebesar 20 persen, namun setelah pergantian Bupati, pajak diturunkan sebesar 12,5 persen.

“Tapi besaran pajak itu masih kecil, kami berencana ingin menaikkannya kembali,” kata Vera, via telepon, Minggu (31/7/2016).

Adapun estimasi besaran PAD 2010 untuk Donggala sebesar Rp 11.482.535.165, 2011 Rp 12.843.444.490, tahun 2012 meningkat menjadi Rp 16.391.670.490, tahun 2013 Rp 19.009.443.250, sementara 2014 Rp 18.803.106.870 dan 2015 meningkat lagi menjadi Rp 19.009.877,170.

Jangan Abaikan Lingkungan

Akademisi Universitas Tadulako (Untad), Anhulaila, menilai secara estetika tambang galian batuan Palu-Donggala sudah merusak lingkungan. Sehingga, dalam pandangannya, kerusakan yang terjadi di wilayah tersebut harusnya menjadi perhatian pemerintah setempat yang sudah menikmati keuntunganya dari sektor PAD.

“Kita akui tambang mendatangkan pendapatan cepat sekali. Pertanyaannya sejauh apa kontribusi perusahaan untuk kita (warga yang tinggal di wilayah tambang),” ungkap Anhulaila.

Ia menjelaskan, kehadiran tambang pada dasarnya akan merusak lingkungan. Hal itu seperti yang terjadi pada galian batuan Palu-Donggala. Pemerintah harus memperhatikan dengan benar dampak yang akan terjadi.

Namun di sisi lain, Anhulaila menilai tambang galian batuan tidak bisa ditutup begitu saja karena sektor tambang memberikan pendapatan untuk daerah.

“Yang perlu diperhatikan dengan benar sejauh apa pemerintah memperhatikan izin tambang tersebut baik Amdal atau UKL-UPL. Karena jawaban seluruh persoalan yang terjadi ada pada dokumen itu,” ungkap Anhulaila.

Ia menyoroti penegakan hukum di sektor pertambangan serta penyaluran anggaran untuk wilayah terkena dampak serta keterbukaan perusahaan terhadap keuntungan yang diperoleh. Menurutnya, penting untuk diketahui namun hinggga hari ini, informasi tersebut sulit diperoleh.

“Jika memang benar pendapatan dari sektor pertambangan itu besar harus kita hitung lagi per kapita. Apakah keuntungan yang mengalir ke masyarakat dan dirasakan merata pada semua orang? Mulai dari anak-anak sampai dewasa,” katanya menerangkan.

Sebaliknya bila perolehan per kapita berkurang maka sudah pasti penyerapan ke masyarakat  tidak akan terjadi. Yang dikhawatirkan jangan sampai pertumbuhan ekonomi di dua wilayah itu hanya menguntungkan dari sudut ekonomi makro.

“Saya ingin warga yang terkena dampak galian batuan itu dijamin masa depan mereka, ada beasiswa, kesehatan dijamin, penyediaan air bersih untuk masyarakat kalau mereka kekurangan air,” paparnya.

Soal penegakan hukum, ia menyarankan harus ada kesepakatan antara masyarakat, pemerintah setempat dan pihak perusahaan untuk mengevaluasi perusahaan tambang. Di sisi lain, bila kontrol masyarakat lemah, penegakan hukum berkaitan dengan persoalan tambang tidak akan terpenuhi.

“Kalau regulasi sudah ada. Tinggal apakah aparat jalan atau tidak? dan bagaimana dengan perusahaan, menaati aturan atau tidak? Regulasi harus diawasi dan dievaluasi. Intinya kontrol harus benar-benar dijalankan,” tutur Anhulaila.

 

Tulisan ini telah diterbitkan di Mercusuarnews.com, 23 Oktober 2016, dan diedit untuk dimuat kembali di Jaring.id.

Ekspansi Pertambangan Nikel Picu Deforestasi

Penambangan nikel di Halmahera Tengah tak hanya mengakibatkan deforestasi. Ia membikin aliran air sungai menjadi keruh, banjir bandang, hingga merampas kehidupan warga yang selama ini

Yang Rusak karena Tambang Nikel Halmahera

Aliran sungai di Halmahera Tengah tercemar akibat deforestasi penambangan nikel. Air sungai terkontaminasi, sehingga tidak lagi bisa dikonsumsi maupun untuk menjalankan ritual keagamaan. Oktaviana Kristin

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.