Media sosial menjadi medium utama pembangunan jaringan para pendukung ISIS. Beberapa buruh migran di Hong Kong terseret di dalamnya dan bahkan menjadi pemain kunci. Berikut laporan investigasi kolaboratif JARING.id, KBR, dan CNN Indonesia.

Kowloon Park, sebuah taman yang berada di belakang Masjid Tsim Sha Tsui, Hong Kong menjadi salah satu tempat pertemuan komunitas pendukung Negara Islam Irak dan Suriah atau lebih  dikenal dengan sebutan ISIS. Setidaknya hal itu dikatakan oleh Ina (bukan nama sebenarnya), buruh migran Indonesia di Hong Kong yang mengaku sempat diajak bergabung dalam komunitas tersebut.

“Ngumpulnya kadang di taman atas sini. Di samping masjid ini dulu kumpulnya para penganut kayak gitu (ISIS),” ujar Ina menunjuk Kowloon Park, saat kami temui di area Kowloon Park, Hong Kong, Oktober lalu.

Ina sempat diajak bergabung dengan kelompok pengajian buruh migran Indonesia pendukung ISIS. Bermula dari kontak di media sosial, berlanjut dengan ajakan ikut pengajian offline di akhir pekan. “Ada grup WhatsApp, nanti ada ustadnya yang menganut pemahaman itu (ISIS). Mereka mencari teman begitu,” ungkapnya.

Ajakan bergabung ditolak Ina karena dianggap tidak sejalan dengan pemahaman Islam yang dipercayainya. Pandangan itu juga yang disampaikannya untuk menjawab pertanyaan majikan.

Kok orang ISIS itu kenapa pakai (cadar) seperti kamu, tapi membunuh orang? Itu hanya mengaku-ngaku Islam. Islam nggak boleh menyakiti dari ucapan, apalagi (secara) fisik,” tuturnya mengulangi percakapan dengan majikan.

Menuju Daulah

Pertanyaan majikan Ina muncul di tengah mencuatnya kembali isu soal keterlibatan Buruh Migran Indonesia di Hong Kong dalam kelompok pro-ISIS. Musababnya adalah laporan Insitute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) yang dirilis akhir Juli lalu.

Laporan setebal 19 halaman tersebut menyebut 45 orang BMI Hong Kong terlibat dalam berbagai aktivitas pro-ISIS. Meski terhitung kecil dibandingkan dengan jumlah total buruh migran Indonesia yang menembus angka 156 ribu orang tahun ini, tetapi jumlah tersebut bertumbuh sejak kelompok ini terdeteksi muncul pada awal 2015.

Salah satu bukti awal kehadiran kelompok ini adalah sebuah foto yang mendokumentasikan 12 perempuan bercadar mengacungkan telunjuk kanan mereka sembari membentangkan bendera ISIS. Foto ini muncul bersamaan dengan berita soal dugaan keberangkatan seorang BMI di Hong Kong bernama Najma ke Suriah.

Najma dikabarkan berangkat pada akhir Februari 2015, menyusul suaminya Abu Arianto. Foto yang kami dapatkan dari satu akun media sosial pendukung Daulah—sebutan yang digunakan kelompok ini untuk menyebut negara Islam yang dipromosikan Abu Bakar al-Baghdadi—memperkuat dugaan tersebut.

Dalam foto tersebut Abu Arianto duduk di tengah, bersisian dengan Najma yang berada di sisi paling kanan. Selain mereka berdua, seorang lelaki dan empat orang perempuan ikut berfoto. Bagian bawah foto bertuliskan “Memories at 17/8/2014; Masjid TST Hong Kong”.

Abu sempat transit di Hong Kong beberapa hari sebelum terbang menuju Suriah. South China Morning Post, media massa yang berbasis di Hong Kong, menyebutkan Najma menyusul suaminya dalam kondisi mengandung tujuh bulan.

Belakangan, Abu dikabarkan tewas, sedangkan Najma entah rimbanya.

Salah satu bukti awal kehadiran kelompok ini adalah sebuah foto yang mendokumentasikan 12 perempuan bercadar mengacungkan telunjuk kanan mereka sembari membentangkan bendera ISIS

Pulang Lalu Hilang

Langkah Najma menuju Suriah coba diikuti beberapa BMI Hong Kong lainnya. Salah satunya Aya, perempuan asal Batang, Jawa Tengah.

Berdasarkan pengakuannya kepada Sekretaris Desa Surjo, Teguh Kurniawan, Aya berangkat dengan melalui jalur darat.

“Dulu dia sampai Turki itu naik kereta dari Hong Kong. Saya tanya kok tahu situs itu, kok tahu kelompok itu? Saya tanya dapat informasi dari mana? Dari facebook. Akhirnya direkrut di situ (melalui facebook),” terang Teguh saat kami temui September lalu.

Keterangan tersebut diragukan seorang pejabat Imigrasi. Menurutnya, potensi kegagalan perjalanan menuju Turki dengan jalur darat sangat besar karena harus melalui pemeriksaan visa di beberapa negara. Jalur paling mungkin yang bisa digunakan adalah menggunakan penerbangan langsung ke Turki, lalu menyeberang ke Suriah.

“Saya tanya kok tahu situs itu, kok tahu kelompok itu? Saya tanya dapat informasi dari mana? Dari facebook. Akhirnya direkrut di situ (melalui facebook),” terang Teguh saat kami temui September lalu.

Aya keburu dicokok kepolisian Turki sebelum  masuk ke Suriah. Jumat 29 Januari 2016, dia dikembalikan ke rumah orang tuanya oleh Kepolisian Resor Bawang dan Musyawarah Pimpinan Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang.

Sepulang dari Turki, Aya tinggal berpindah antara kediaman kakeknya di Desa Sidoharjo atau rumah ayahnya di Surjo. Teguh berusaha menjalin komunikasi dengan warganya tersebut, tetapi beberapa bulan belakangan mereka hilang kontak.

Lia (bukan nama sebenarnya)—BMI di Hong Kong—juga menggunakan Turki sebagai tempat transit sebelum masuk ke Suriah. Heru, ayah Lia, mengatakan anaknya sempat pamit pindah bekerja ke Turki setelah kontrak kerjanya di Hong Kong habis.

“Pak, saya (Lia) mau pamit kerja jauh,” ulang Heru saat kami temui di kediamannya di Kediri, Oktober lalu.

Catatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyebutkan kontrak kerja Lia habis pada 27 Agustus 2016 lalu. Kepada ayahnya, Lia bercerita bahwa ia bekerja di pabrik roti selama berada di Turki. Hal berbeda diceritakan kepada Ayu, adiknya.

“Tidak, Lia cerita tidak bekerja. Cuma baca Al-Quran, terus masak-masak. Kumpul-kumpul sama temannya,” sanggah Ayu.

Ayu yakin betul soal itu. Pasalnya, ketika masih berada di Hong Kong setiap bulan Lia mengirim uang Rp1,5 juta—Rp1,7 juta ke Indonesia. Kiriman seketika macet selepas Lia pergi ke Turki.

Lia hidup berpindah-pindah bersama beberapa orang Indonesia ketika berada di Turki, selebihnya Ayu tak tahu. Setelah dipulangkan Detasemen Khusus (Densus) 88 pada Februari lalu, ia hanya bicara jika ditanya.

“Katanya ada gerebekan, lalu disuruh pulang. (Lia) Ditanya masalahnya apa, tidak cerita apa-apa,” tutur Ayu soal kepulangan kakaknya.

Tujuh bulan setelah pulang, Lia hilang rimbanya.  Meski sempat pamit untuk bekerja di Bandung, hingga kini ayahnya kesulitan menghubungi lewat telepon genggam.

Asmara Dalam Jaringan

Tak semua memutuskan BMI Hong Kong pendukung Daulah tergabung dalam satu jaringan. Ika Puspitasari, BMI asal Purworejo, lebih memilih membangun kontak dengan jaringan pendukung ISIS di Indonesia secara online.

Mulai tertarik dengan kelompok Islam ekstrim pada 2012, Ika berbaiat kepada Daulah di akhir 2014. Instruksi yang dikeluarkan juru bicara ISIS untuk melakukan aksi teror di negara masing-masing sebagai pengganti hijrah ke Suriah mendorongnya membentuk kelompok kecil untuk melaksanakan aksi teror di Indonesia.

Keterlibatan Ika dalam jaringan pelaku teror di Indonesia tercium aparat selepas suaminya, Zaenal Akbar, ditangkap Densus 88 pada 23 Desember 2015 karena merencanakan aksi pengeboman di Bandung.  Ika merupakan penyandang dana untuk aksi bersandi “Konser” tersebut.

Menariknya, sebelum menikah dengan Ika secara online, Zainal Akbar sempat menjalin kedekatan dengan dengan salah satu anggota kelompok BMI Hong Kong pendukung ISIS, sebut saja Wati. Mereka berdua sempat merencanakan pernikahan, tetapi berujung kegagalan.

Namun, Wati kadung meminjamkan uang dalam jumlah besar kepada Zainal. Soal utang-piutang ini kemudian diselesaikan Ika dengan merogoh koceknya. Saat ini, Wati telah menikah dengan seorang pendukung Daulah yang ikut menjadi kombatan di Marawi, Filipina.

Pernikahan secara online di kalangan pendukung ISIS, khususnya yang melibatkan buruh migran Indonesia di Hong Kong diamini Sofyan Tsauri, pemerhati kelompok Islam ekstrim di Indonesia. “Beberapa anak buah Santoso menikah dengan TKI dari Hong Kong. Beberapa Ikhwan ada juga yang menikah dengan TKI,” ujarnya, Sabtu 18 November 2017.

Terdengar, Tak Tercatat

Meski beberapa aktivitasnya terlacak di dunia maya, tetapi jejak kehadiran kelompok BMI Hong Kong pendukung ISIS di dunia nyata hanya beredar dari mulut ke mulut. Eni Lestari, Ketua Internasional Migrant Alliance, menyebutkan isu ini sudah beberapa kali muncul, tetapi sulit dikonfirmasi.

“Kami dengar (kehadiran BMI pro-ISIS) dua atau tiga tahun yang lalu. Dia (orang) yang melaporkan itu selalu orang ketiga (atau) kempat. Nggak bisa dilacak lagi, itu yang membuat kami tidak bisa mengkonfirmasi keberadaannya,” tuturnya saat kami wawancarai, Minggu 1 Oktober 2017 lalu.

Di tengah sumirnya kabar, laporan IPAC yang menyebutkan 45 orang BMI Hong Kong terlibat dalam berbagai aktivitas pro-ISIS membuat Eni tersentak. Menurutnya, penyebutan angka tersebut tidak merefleksikan kondisi riil di lapangan.

“Hakikatnya laporan (IPAC) itu tidak merefleksikan kenyataan di lapangan.  Ingat, satu kasus orang yang terlibat dengan isu radikalisme itu sudah menjadi berita internasional, apalagi ada angka (45 orang),” imbuhnya.

Konsul Jenderal Republik Indonesia untuk Hong Kong dan Makau Tri Tharyat mengaku tidak memiliki data mengenai jumlah BMI Hong Kong yang terlibat dalam kelompok pendukung ISIS. “Kalau ditanya berapa orang (yang terlibat), saya tidak punya data,” ujarnya, Selasa 3 Oktober 2017. Tri menilai KJRI tidak punya wewenang untuk melakukan investigasi. Meski demikian, lanjutnya, intelijen kepolisian sudah terlebih dahulu bekerja sebelum IPAC merilis laporannya.

Isu radikalisasi bukan pertama kali membuat sibuk Konjen RI di Hong Kong. Ketika Najma berangkat ke Suriah awal 2015 lalu, pejabat Konjen RI untuk Hong Kong Rafail Walangitan sempat memberi pernyataan ke media bahwa dirinya akan menginvestigasi laporan tersebut.

Kami kesulitan mengonfirmasi pernyataan tersebut karena Rafail sudah dipindahtugaskan. Namun, Tri Tharyat mengaku dirinya tidak tahu-menahu soal investigasi yang sempat disinggung koleganya tersebut. “Laporannya tidak pernah saya terima,” ujar Tri ketika disinggung soal laporan tersebut.

Alergi Kritik

Direktur Jenderal Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Muhammad Iqbal memilih meletakkan persoalan radikalisasi terpisah dengan status buruh migran. “Proses radikalisasi itu terjadi di mana-mana, bukan hanya terjadi di kalangan buruh (migran). Yang saya tidak setuju adalah stigmatisasi bahwa teman-teman TKI sudah terpengaruh FTF (Foreign Terrorist Fighter),” ungkapnya kepada kami akhir Agustus lalu.

Meski demikian, Iqbal mengakui bahwa terdapat segelintir BMI Hong Kong yang menjalin komunikasi dengan kelompok pendukung ISIS di Indonesia dan negara lain. Pola tersebut, lanjut dia, dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan.

“Pekerja domestik yang 24 jam berada di rumah, (untuk) keluar harus izin ke majikan. Sehingga mereka lebih banyak berkomunikasi melalui medsos,” lanjut dia.

Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia Alfindra Primaldhi menilai media sosial punya karakter unik untuk memfasilitasi proses radikalisasi. Sistem kurasi hubungan sosial yang dimilikinya berpotensi membuat pengguna media sosial alergi terhadap kritik.

“Kita semakin terpapar dengan hal-hal yang sudah menjadi interest kita dari awal. Kita tidak lagi mendapatkan hal-hal yang tidak sejalan dengan apa yang kita yakini,” jelasnya kepada kami, Oktober lalu.

Ibarat jenis menemukan jenis, para pendukung ISIS berjaringan satu sama lain melalui media sosial tanpa pernah bertatap muka. Beberapa buruh migran di Hong Kong terseret ke dalamnya, bahkan menjadi pemain kunci.

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.