Pudarnya Pesona Situs Ramsar Sumatera

PALEMBANG – Pagi itu tidak berbeda dari pagi-pagi hari sebelumnya. Langit di Desa Karang Sari, Kecamatan Banyuasin II, Banyuasin, Sumatera Selata, disesaki asap. Hari-hari penuh kabut asap telah terjadi sejak Agustus. Bagi Rohma, 47, warga yang telah menetap di desa itu sejak 1999, bencana kabut asap saat itu merupakan yang terparah dialaminya. Rohma yang memiliki rumah yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional (TN) Sembilang menjadi saksi bagaimana hutan konservasi di Sumsel tersebut terbakar. Lahan yang terbakar tidak sedikit. Beberapa semak belukar yang sudah lama menjadi lahan terbuka di kawasan rawa gambut juga terbakar.

“Asap di mana-mana, Pagi hari yang paling terasa kabut asapnya,” ujarnya ditemui beberapa waktu lalu di kediamannya.

Ibu dengan sembilan orang anak ini mengatakan, posisi rumah miliknya memang berada paling dekat dengan batas kawasan TN Sembilang. Karena itu, ia mengaku melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana hutan yang menjadi situs Ramsar atau lahan basah yang peran pentingnya diakui dunia tersebut terbakar dengan cepat. Awalnya, kebakaran terjadi di beberapa titik lokasi hutan, terutama di kawasan lahan terbuka, lalu kemudian menyebar ke titik lain yang juga kekeringan.

“Waktu hutan terbakar, saya lihat apinya cepat menjalar tinggi. Petugas TN Sembilang kesulitan memasuki kawasan hutan tersebut. Waktu kejadian kebakaran sebelumnya, malah belum ada petugas kehutanan yang ke sini,” ungkap Rohma.

Kebakaran tidak hanya berlangsung satu hari. Selama berhari-hari kawasan TN Sembilang terbakar dengan hebat. Rohma yang tak menamatkan pendidikan SD itu mengatakan api yang berkobar di kawasan TN Sembilang bahkan lebih tinggi dari rumah berpondasi kayu yang dimiliknya. Hawa panas api terasa hingga ke rumahnya. Apalagi, kawasan TN Sembilang yang dikenal masyarakat sekitar dengan sebutan “hutan” hanya terpisah tanggul di atas anak sungai.

Rohma bercerita saat siang hari, api tidak terlihat tapi uap panasnya terasa hingga ke rumahnya. “Hanya seperti bayangan bara yang mengeluarkan uap panas,” ujarnya.

Rumah kayu beralas tanah ini pun menjadi posko (lokasi) sementara, para personel Balai TN Sembilang guna memantau kebakaran di kawasan hutan saat itu. Rohma bercerita, belasan personel Balai TN Sembilang menginap di rumahnya. Para petugas melakukan pemantauan dan meninjau lokasi kawasan TN Sembilang yang terbakar. Alasannya, karena dari posisi rumah miliknnya, lokasi kebakaran hutan sangat mungkin dijangkau.

“Dulu sebelum dilarang masuk hutan, ada jembatan penghubung antara rumahnya dan hutan. Jembatan itu lebih memudahkan masyarakat ke hutan. Sejak ditetapkan menjadi kawasan hutan, jembatan tersebut dirobohkan,”ujarnya.

Warga asal Tanjung Rayu Kabupaten OKI ini mengatakan penghidupannya lebih banyak diperoleh dari sawah yang diusahakannya di samping rumah. Sementara sang suami menjadi pencari ikan di kawasan pesisir Sungai TN Sembilang. Pasangan ini hidup dan mencari penghidupan di perbatasan kawasan hutan konservasi itu sejak tahun 1991. Sayangnya, saat ditanya, apakah Rohma mengetahui larangan memasuki kawasan hutan TN Sembilang, ia pun sedikit ragu menjawabnya.

Ia menceritakan, sang suaminya bernama Syarwan, 62, merupakan seorang nelayan. Awalnya, hanya Syarwan yang tinggal di lahan tersebut. Dahulu, lahan yang ditempati juga sudah bukan lagi berbentuk hutan dengan tegakan pohon yang tinggi. Lalu, selama dua tahun Syarwan mengubah pondok di lahan tersebut menjadi rumah yang akhirnya dihuni keluarganya itu.

“Lama kelamaan, saya menyusul suami agar bisa membantunya menghidupi keluarga. Sekitar 1991, kami buat rumahnya. Tapi bertahap dulu, kayu demi kayu kami kumpulkan dari sekitar untuk membangun rumah, ada juga yang berasal dari hutan sebelum ditetapkan jadi taman nasional,” ungkapnya.

Tidak hanya membangun rumah, pasangan suami istri ini juga membuka lahan sawah seluas satu hektare di samping rumahnya. Dengan berbekal sedikit uang hasil dari melaut, mereka berlahan dengan membuka tanah rawa menjadi sawah untuk keluarga. Sementara Rohma mengakui baru mengetahui kawasan hutan tersebut terlarang karena sudah menjadi hutan konservasi sejak 2007.

Rohma mengatakan kawasan hutan merupakan lahan milik pemerintah, sehingga tidak diperkenankan untuk ditempati masyarakat. Tetapi masyarakat diperbolehkan untuk melintas untuk melaut dan mengambil kayu, atau mencari burung dan lainnya.

“Batas hutan dan lahan kami, hanya tanggul air. Warga tidak boleh menetap di lokasi tersebut tapi boleh melintas,” katanya.
Syarwan juga kesulitan melaut saat kabut asap menyelimuti Sumsel. Apalagi, kabut asap juga membuat pernapasan menjadi sesak. Syarwan biasanya hanya menggunakan kaos tipis sebagai penutup hidung dan mulut sebagai perlindung nafasnya. Karena ia pun seorang perokok, Syarwan sering batuk-batuk saat melaut.

“Sering juga batuk, asap membuat mata pedih. Jadi, kadang juga tidak jadi melaut, karena jarak melihat di laut gelap ditutupi awan. Karena tidak melaut, kami hanya menggarap sawah, dan itu pun tidak lama pada pagi hari,” ujarnya.

Kebakaran juga tidak hanya terjadi di kawasan TN Sembilang yang berbatasan dengan desa Rohma. Beberapa desa tetangga yang berdekatan dengan kawasan hutan tersebut juga terbakar di antaranya, Desa Sumber Rejeki dan Maju Ria.

Kepala Dusun (Kadus) Majuria, Arifin mengakui kebakaran di kawasan TN Sembilang tahun ini memang terparah yang pernah terjadi. Meski dusunnya tidak banyak berbatasan dengan kawasan rawa hutan TN. Sembilang, warga desanya juga merasakan asap tebal akibat kebakaran tersebut.

“Ada tiga daerah yang paling dekat dengan TN Sembilang yakni Majuria, Karang Sari, dan T. Sumber Rejeki. Selain berbatasan dengan kawasan TN Sembilang, juga berbatasan dengan kawasan transmigrasi. Aktivitas masyarakat rata-rata bersawah, dan nelayan,” ungkapnya.

Ia memperkirakan, di tiga wilayah tersebut terdapat sekitar 2.000 Kepala Keluarga (KK). Awalnya, juga lokasi tersebut merupakan kawasan transmigrasi, sehingga masyarakat sudah banyak membuka lahan guna bersawah. “Dulu di tahun 2007, sempat ada masyarakat peduli api yang dibentuk oleh Balai TN Sembilang. Saya salah satu koordinatornya. Masyarakat diajak untuk menjaga hutan,” ujarnya.
Akan tetapi sayangnya, kewenangan masyarakat menjaga hutan tidak diimbangi dengan ketetapan hukum. Akibatnya, kata warga asal Jawa Barat ini, sangat sulit untuk melarang masyarakat untuk tidak beraktivitas di kawasan hutan.

“Dari dulu juga sudah ada masyarakat peduli api (MPA) yang turut menjaga hutan. Tapi, sulit juga melarang masyarakat masuk ke kawasan hutan,” tambahnya.

Akibatnya, masih juga terdapat masyarakat yang mengambil hasil alam di hutan. Ia mengatakan, pembentukan komunitas yang menjaga hutan harus memiliki kewenangan kuat. Mengingat, kesadaran masyarakat untuk menjaga kawasan hutan juga masih belum maju. Akibatnya, komunitas ini seolah “berperang” dengan warga sendiri. Apalagi, kebanyakan warga juga masih sering mengambil hasil alam hutan.

“Masyarakatnya sudah ada terlebih dahulu sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan. Jadi sudah menjadi kebiasaan. Sulit memang mengubahnya, namun kebakaran tahun lalu juga menjadi media sosialisasi agar masyarakat tidak lagi masuk ke kawasan hutan, meski belum juga kuat. Mereka, warga yang kita kenal. Masih enak gak enak, harusnya ada SK MPA,” ujarnya.

Secara terpisah, Kepala Balai TN Sembilang-Berbak, Agustinus Lempang mengakui terdapat dua lokasi di TN Sembilang yang terbakar di tahun 2015, yakni kawasan yang berbatasan desa Tanah Pilih dan Karang Agung. Jika diperkirakan, sekitar 26.000 hektar (ha) kawasan TN Sembilang yang terbakar di tahun lalu. Dari luas kawasan yang terbakar, sebagian adalah gambut dan hutan daratan. “TN Sembilang terdapat 9% kawasan gambut, atau sekitar 20.000 ha, dan yang terbakar memang kawasan gambut. TN Sembilang yang terbakar berbatasan dengan wilayah Karang Agung, seperti desa Karang Sari, Majuria, Sumber Rejeki dan Purwodadi,” katanya saat ditemui di kantornya.

Akan tetapi, berdasarkan interpretasi citra satelit, Balai Penetapan Kawasan Hutan (BPKH) di Palembang diketahui jika kawasan yang terbakar terdapat di empat lokasi di antaranya, Dusun Perumpung yang berbatasan dengan Muba, kawasan dengan Karang Agung yang di dalamnya terdapat Desa Purwodadi, Karang Sari, dan Desa Tabalajaya yang berbatasan dengan PT Raja Palma, dan Tanah Pilih. Secara keseluruhan, kawasan yang terbakar mencapai 26.362,24 hektare dari luas kawasan TN Sembilang seluas 222.756,132 hektare, atau sekitar 11,835 %.

“Jumlah kawasan yang terbakar cukup besar, di antaranya terdiri atas lahan terbuka, yang mencapai 22.156,20 atau sekitar 9,946 % dari kawasan tersebut. Mengenai penyebab terbakar, pihak TN Sembilang yang akan berwenang untuk mengungkapkannya,” katanya.

 

Tulisan ini telah dimuat di Koran Sindo, Minggu 21 Agustus 2016, dan diedit kembali untuk dimuat di Jaring.id

Ekspansi Pertambangan Nikel Picu Deforestasi

Penambangan nikel di Halmahera Tengah tak hanya mengakibatkan deforestasi. Ia membikin aliran air sungai menjadi keruh, banjir bandang, hingga merampas kehidupan warga yang selama ini

Yang Rusak karena Tambang Nikel Halmahera

Aliran sungai di Halmahera Tengah tercemar akibat deforestasi penambangan nikel. Air sungai terkontaminasi, sehingga tidak lagi bisa dikonsumsi maupun untuk menjalankan ritual keagamaan. Oktaviana Kristin

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.